Pada hari raya Idul Adha, kaum Muslim di La Paz, Bolivia, memotong hewan kurban dan dagingnya dibagi-bagikan. Pada hari Idul Adha pula kaum Muslim diundang makan siang di masjid.
Oleh
M Subhan SD
·4 menit baca
Minggu (11/8/2019), sekitar pukul 07.15 waktu setempat, jalanan di kota La Paz, Bolivia, masih lengang. Maklumlah hari libur. Suhu udara pagi itu amat dingin, sekitar 2 derajat celsius. Tubuh menggigil walaupun sudah dibalut jaket ketika dibonceng sepeda motor oleh Pablo Rene Taboada Orozco, warga kota La Paz, yang juga menantu saya.
Perjalanan dari apartemen tempat menginap dalam tiga pekan ini di Avenida 6 de Agosto cuma memakan waktu kurang dari 15 menit sudah sampai di Masjid As-Salam di Calle Fernando Guachalla, Sopocachi. Masjid As-Salam adalah tempat Asosiasi Islam Bolivia (Asociacion Islamica de Bolivia).
Begitu tiba, Masjid As-Salam sudah terbuka dan siap digunakan untuk shalat Idul Adha 1440 Hijriah walaupun masih terlihat sepi, kecuali beberapa orang tengah berwudu. Berselang beberapa menit, jemaah Idul Adha mulai berdatangan.
Memang shalat Idul Adha dimulai sekitar pukul 08.30. Sambil menanti shalat Id, para jemaah melantunkan takbir, ”Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar....”
Jumlah jemaah yang shalat Id memang tak banyak. Sebab, jumlah Muslim di Bolivia amat sedikit.
Dan, sebagian juga merupakan orang asing. Pagi itu jumlah jemaah shalat Id tidak lebih dari 40 orang. Mereka berasal dari sejumlah bangsa: Palestina, Mesir, Irak, Lebanon, India, dan tentu Bolivia. Saya adalah satu-satunya orang Indonesia. Dan, sesama Muslim cepat akrab dan saling memperkenalkan diri dalam percakapan. Bahkan sempat mengobrol agak lama dengan warga Mesir yang bekerja di kedutaan. Ia terperanjat saat tahu ada Muslim dari Indonesia karena ia pernah bertugas di Jakarta.
Khotbah Idul Adha
Ketika waktunya tiba, imam dan sekaligus khatib Ayman Altaramsi memimpin shalat Id. Seperti biasa sebagaimana di Indonesia, imam mengingatkan tata cara shalat Id bahwa pada rakaat pertama ada tujuh takbir dan rakaat kedua lima takbir.
Dalam khotbah Idul Adha, yang disampaikan dalam bahasa Spanyol sebagai bahasa resmi di Bolivia, selain menceritakan peristiwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, khatib Ayman menekankan pentingnya persatuan umat Islam. Jangan berpecah-pecah, pereratlah persatuan. Seusai shalat Id, para jemaah bersalam-salaman dan bersilaturahmi yang kemudian menikmati sarapan bersama-sama.
Ayman Altaramsi sehari-hari berprofesi sebagai dokter. Ia berasal dari Palestina dan kuliah ilmu kedokteran di Bolivia. Ia pentolan di Asosiasi Islam Bolivia, menjadi imam, mengajar Al Quran dan bahasa Arab, dan lain-lain. Dr Ayman sangat humble. Dua kali saya bertemu dan mengobrol dengannya seusai shalat Jumat pekan-pekan sebelumnya. Kala itu, ia memberitahukan mengenai jadwal shalat Idul Adha, termasuk makan siang bersama dan kurban.
Masjid As-Salam adalah bangunan berlantai tiga. Ruang shalat berada di lantai paling atas, kira-kira berukuran 9 x 7 meter persegi yang terbagi antara ruang laki-laki dan perempuan dengan pembatas tirai. Ada ruang pertemuan, ruang belajar, dapur, dan lain-lain. Masjid ini merupakan tempat dakwah dan tempat belajar Islam. Tak sedikit juga warga setempat menyatakan memeluk Islam di masjid ini. Masjid As-Salam merupakan masjid kedua di La Paz. Satu lagi Masjid Yebel An-Nur di Casimiro Corrales yang diresmikan pada 2004. Masjid ini yang membuat Islam terdengar di La Paz.
Minoritas
Islam memang minoritas di Bolivia yang penduduk terbesarnya pemeluk Kristen (Katolik 76 persen dan Protestan 17 persen). Populasi Muslim cuma 0,017 persen dari total penduduk sekitar 11,2 juta jiwa. Islam berkembang di Bolivia setelah kedatangan imam Mahmud Amer Abusharar dari Palestina pada 1974. Tahun 1986, berdirilah Pusat Islam Bolivia (Centro Islámico Boliviano/CIB) di Santa Cruz, Sucre, dan Cochabamba. Pada 1992 dibentuk komisi untuk pembangunan masjid pertama di Bolivia. Masjid di kota Santa Cruz itu rampung pada 1994.
Sebagai minoritas, Muslim di La Paz, dan umumnya Bolivia tentulah banyak tantangan. Contohnya soal makanan halal, bukan perkara yang gampang. ”Di sini sulit mencari makanan halal. Kita berserah saja kepada Allah,” kata Marcello, Muslim asli Bolivia. Makanan halal cuma diperoleh di masjid.
Pada hari raya Idul Adha, kaum Muslim di La Paz memotong hewan kurban dan dagingnya dibagi-bagikan. Pada hari Idul Adha pula kaum Muslim diundang makan siang di masjid. ”Nanti makan siang di masjid, pukul 14.00, ya,” ujar Ayman mengingatkan orang per orang seusai salat Idul Adha pagi harinya.
Idul Adha 1440 H merupakan pengalaman yang menarik. Suasana amat berbeda dengan di Indonesia yang mayoritas Muslim. Dengan merasakan kondisi itu, saya dapat merasakan persaudaraan sesama Muslim yang tidak mengenal perbedaan bangsa, ras, dan asal-usul. Islam itu mempersatukan, bukan saling mencari perbedaan hingga terpecah belah. Itulah pesan Islam yang hakiki.