Peningkatan anggaran belanja negara dalam delapan tahun terakhir belum mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal. Salah satu penyebabnya adalah kualitas belanja kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang rendah.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan anggaran belanja negara dalam delapan tahun terakhir belum mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal. Salah satu penyebabnya adalah kualitas belanja kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang rendah.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, realisasi belanja negara sepanjang tahun 2011-2018 terus meningkat, sementara pertumbuhan ekonomi melambat. Hal itu karena belanja negara yang dialokasikan melalui kementerian/lembaga dan transfer ke daerah belum sepenuhnya tepat sasaran.
Mengutip data Bappenas, grafik pertumbuhan ekonomi dan belanja negara periode 2011-2018 membentuk kurva U. Belanja negara meningkat 75,34 persen dari Rp 1.294 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp 2.269 triliun pada tahun 2018. Namun, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat dari 6,16 persen pada 2011 menjadi 5,17 persen pada 2018.
”Belanja yang tepat sasaran adalah belanja yang punya efek bagi ekonomi secara makro. Tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengurangi kemiskinan dan menurunkan kesenjangan,” kata Bambang dalam seminar nasional bertajuk ”Kualitas Belanja Negara dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi dan Mengurangi Ketimpangan”, di Jakarta, Senin (12/8/2019).
Dari hasil kajian Bappenas, setiap 1 persen kenaikan belanja kementerian/lembaga memiliki andil terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06 persen. Sementara setiap 1 persen kenaikan transfer dana ke daerah secara agregat dapat meningkatkan 0,016 persen pertumbuhan ekonomi daerah.
Bambang mengatakan, kenaikan belanja negara belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal. Pada 2017-2018, misalnya, kenaikan belanja negara sebesar 11 persen hanya memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,24 persen. Padahal, andil belanja negara mestinya 0,66 persen.
”Berarti selisihnya sebesar 0,42 persen adalah belanja yang belum tepat sasaran dan belum memberikan dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Bambang.
Pada 2017-2018, misalnya, kenaikan belanja negara sebesar 11 persen hanya memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,24 persen. Padahal, andil belanja negara mestinya 0,66 persen.
Menurut Bambang, misinterpretasi regulasi bisa jadi penyebab belanja tidak tepat sasaran. Misalnya, belanja modal diartikan sebagai pengelolaan aset sehingga dapat digunakan untuk membeli perangkat komputer, pembangunan gedung, atau penyewaan mobil pejabat. Belanja modal untuk itu tidak memberikan dampak berganda bagi perekonomian.
Di tingkat daerah, penggunaan yang tidak tepat sasaran kerap terjadi pada dana alokasi umum (DAU). Penyaluran DAU sejatinya untuk mengurangi ketimpangan fiskal horizontal antardaerah. Namun, sebagian besar DAU digunakan pemerintah daerah untuk belanja modal dan operasional sehingga tidak mendorong perekonomian.
”Setiap rupiah yang dibelanjakan harus punya dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Bambang.
Sebagian besar DAU digunakan pemerintah daerah untuk belanja modal dan operasional sehingga tidak mendorong perekonomian.
Direktur Keuangan Negara dan Analisis Moneter Bappenas Boediastoeti Ontowirjo menambahkan, peningkatan kualitas belanja menjadi fokus pemerintah 5 tahun ke depan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024, setiap kementerian/lembaga akan mempunyai target pembangunan sektoral yang ditransmisikan ke tingkat daerah.
Desentralisasi fiskal
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Benedictus Raksaka Mahi, mengatakan, desentralisasi fiskal membuka tantangan efisiensi belanja pemerintah daerah untuk mencapai target-target yang ditetapkan. Oleh karena itu, diperlukan terobosan kebijakan untuk memperbaiki efisiensi belanja pemerintah daerah.
”Kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola ekonomi sudah layak secara aturan. Namun, yang terpenting bagaimana pemerintah daerah dapat menyejahterakan masyarakat,” kata Raksaka.
Total transfer dana ke daerah pada 2005-2018 rata-rata tumbuh 11,45 persen per tahun. Pada 2018, komposisi transfer dana ke daerah terdiri dari 61 persen DAU, 26 persen dana alokasi khusus (DAK), dan 13 persen dana bagi hasil. Sumber penerimaan pemerintah daerah lainnya dari pajak dan retribusi daerah.
Menurut Raksaka, DAK berperan penting untuk memperbaiki efisiensi belanja daerah. Hal itu karena alokasi dan penggunaan dana sudah ditentukan pemerintah pusat sehingga bisa berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. DAK biasanya untuk membangun infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan.
”Melihat hasil positif DAK, maka perlu ada perbaikan dalam pemantauan dan evaluasi terhadap jenis transfer daerah lainnya,” kata Raksaka.
Lead Adviser Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Perekonomian (PROSPERA) Graeme Page menambahkan, salah satu aspek terpenting dalam pengelolaan anggaran adalah transparansi. Pemerintah pusat dan daerah harus memublikasikan hasil, proses, dan besaran penggunaan anggaran ke masyarakat.
Transparansi menjadi pemicu untuk memperbaiki kualitas belanja,” ujar Page.