Suhu dan Oksigen Berlebih Picu Ubur-ubur Mati Massal
›
Suhu dan Oksigen Berlebih Picu...
Iklan
Suhu dan Oksigen Berlebih Picu Ubur-ubur Mati Massal
Peningkatan suhu dan kadar oksigen terlarut di perairan menjadi pemicu terdampar dan matinya ribuan ubur-ubur di Nagari Sungai Pinang, Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Peningkatan suhu dipicu aktivitas iklim samudra, sedangkan peningkatan kadar oksigen dipicu ledakan populasi fitoplankton.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Perubahan kondisi perairan, antara lain suhu dan kadar oksigen terlarut, memicu terdamparnya dan matinya ribuan ubur-ubur bulan di Nagari Sungai Pinang, Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Peningkatan suhu dipicu aktivitas iklim samudra, sedangkan peningkatan kadar oksigen dipicu ledakan populasi fitoplankton.
Demikian kesimpulan penelitian tim Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Padang. Penelitian dilakukan pada Jumat (9/8/2019) di Pantai Erong, Nagari Sungai Pinang, tempat paling banyak ditemukan ubur-ubur terdampar dan mati empat bulan terakhir.
Peneliti Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir KKP Padang Ulung Jantama Wisha, Minggu (11/8/2019), mengatakan, suhu perairan di lokasi relatif tinggi, berkisar 27-32 derajat celsius. Begitu pula kadar oksigen terlarut yang berkisar 6-8,5 miligram per liter. Adapun kondisi normal suhu dan kadar oksigen terlarut di sekitar perairan itu idealnya 27-28 derajat celsius dan 5 miligram per liter.
”Ubur-ubur bulan (Aurelia aurita) memang sensitif terhadap suhu dan kandungan oksigen. Suhu dan kadar oksigen ideal bagi ubur-ubur tersebut 6-31 derajat celsius dan 2-5 miligram per liter,” kata Ulung dihubungi dari Padang.
Menurut Ulung, ubur-ubur bulan akan mati setelah proses reproduksi karena memicu kerusakan beberapa jaringan tubuh sehingga mudah terinfeksi bakteri. Namun, kondisi lingkungan yang tidak ideal, seperti kadar oksigen terlalu tinggi yang mengganggu proses respirasi, memperparah hal tersebut.
”Makanya, kematian massal ubur-ubur itu bisa terjadi di Nagari Sungai Pinang,” ujar Ulung. Terdampar dan matinya ubur-ubur itu didukung pula oleh gelombang tinggi laut beberapa waktu terakhir.
Ulung melanjutkan, tim belum dapat memastikan penyebab perubahan aktivitas iklim dan meledaknya populasi fitoplankton yang memicu peningkatan suhu dan kadar oksigen terlarut. Namun, ledakan populasi fitoplankton dapat dipicu polusi zat hara di perairan.
Tim juga belum dapat memastikan penyebab anomali musim ubur-ubur di lokasi itu yang mencapai empat bulan—biasanya hanya sebulan saat musim panas. ”Butuh penelitian terintegrasi dan lebih lanjut. Sejauh ini kami belum ada rencana,” ujar Ulung.
Dari penelitian tersebut, tim menghitung pula sebaran ubur-ubur yang terdampar dan mati. Hasilnya, jumlah individu yang mati sekitar 1.100 tiap luasan 500 meter persegi. Pengukuran dengan aplikasi Google Earth, Jumat lalu, panjang areal Pantai Erong yang dipenuhi ubur-ubur sekitar 500 meter dengan lebar ke arah laut 4-5 meter.
Sementara itu, berdasar pengakuan para nelayan, selain Nagari Sungai Pinang, ubur-ubur juga ditemukan terdampar dan mati di nagari lain, seperti Sungai Nyalo dan Mandeh.
Ditambahkan Ulung, fenomena ubur-ubur terdampar dan mati pernah terjadi di pesisir Yogyakarta dan wilayah lain di pesisir selatan Jawa beberapa tahun lalu. Ulung menduga kejadian ubur-ubur terdampar berkaitan dengan wilayah pesisir yang berhadapan dengan samudra. Pesisir selatan Jawa dan pesisir barat Sumatera berhadapan dengan Samudra Hindia.
Ketua Kelompok Sadar Wisata Andespin Davit Hidayat mengatakan, hingga Sabtu (10/8) sore, ubur-ubur masih terdampar dan mati di Pantai Erong dan kawasan pesisir Nagari Sungai Pinang lainnya. Jumlahnya tidak jauh berbeda dibandingkan beberapa hari terakhir.
”Perkiraan saya, hingga Minggu sore ini masih banyak ubur-ubur terdampar, apalagi sekarang sedang badai. Ubur-ubur terseret ombak ke pesisir,” kata David.
Keberadaan ubur-ubur bulan di sekitar pesisir sebenarnya tidak membahayakan keselamatan warga karena kadar racunnya rendah. Jika tersentuh saat berenang, kata David, ubur-ubur itu hanya menyebabkan sedikit gatal, itupun mudah hilang. Ubur-ubur yang mati tidak menimbulkan gatal sama sekali.
Fenomena munculnya ubur-ubur tersebut mengganggu para nelayan Nagari Sungai Pinang menangkap ikan. Ubur-ubur yang bobotnya mencapai 5 kilogram dengan diameter maksimal 30 sentimeter sering terseret pukat. Nelayan yang kesulitan menarik pukat karena beratnya beban akhirnya membuka pukat dan terpaksa melepas ikan yang sudah terjaring.
”Mudah-mudahan musim ubur-ubur segera berlalu. Sudah terlalu lama saya tidak melaut,” kata Jasman (44), nelayan Nagari Sungai Pinang, ketika ditemui pada Jumat (9/8) lalu.
Sejak kemunculan ubur-ubur, Jasman jarang melaut dan beralih menggarap sawah. Sementara sebagian nelayan lainnya masih melaut meskipun hasil tangkapan merosot. Mayoritas warga Nagari Sungai Pinang bekerja sebagai nelayan.