Pengusaha Perkebunan Sawit Bakal Dibebani Kewajiban Jaga Habitat Orangutan
›
Pengusaha Perkebunan Sawit...
Iklan
Pengusaha Perkebunan Sawit Bakal Dibebani Kewajiban Jaga Habitat Orangutan
ara pengusaha kelapa sawit kini bertanggung jawab menjaga kelestarian habitat orangutan sebagai syarat sertifikasi produk mereka.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pengusaha kelapa sawit kini bertanggung jawab menjaga kelestarian habitat orangutan sebagai syarat sertifikasi produk mereka. Pemerintah juga perlu mengintensifkan komunikasi dan kerja sama dengan pihak non-pemerintah untuk menjamin kelestarian habitat orangutan yang sebagian besar berada di area nonkonservasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) menyusun Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan 2019-2029. SRAK tersebut merupakan hasil evaluasi dari SRAK 2007-2017.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Ditjen KSDAE KLHK Indra Eksplotasia mengatakan, selain mengungkap data populasi, SRAK juga berisi strategi-strategi konservasi orangutan teranyar. Strategi tersebut diupayakan lebih inovatif dan menyasar multisektor.
”Contohnya, peran pengusaha kelapa sawit dalam memperhatikan habitat orangutan bukan lagi sekadar sukarela, melainkan juga kewajiban,” ungkapnya saat peluncuran SRAK Orangutan 2019-2029 di Jakarta, Senin (12/8/2019).
Jika lahan dari perkebunan kelapa sawit tersebut diketahui menjadi habitat orangutan, para pengusaha bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
SRAK orangutan 2019-2029, di antaranya berisi aturan tentang perlindungan habitat di dalam dan di luar kawasan konservasi, pelatihan konservasi orangutan dan habitatnya, serta membangun dukungan konservasi atau peraturan teknis perlindungan orangutan. Menurut Indra, komitmen tersebut sudah diterapkan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Direktur Jenderal KSDAE KLHK Wiratno mengatakan, SRAK tersebut akan menjadi rujukan bagi semua pihak dalam mendukung konservasi orangutan secara terpadu. Hanya saja tantangannya ialah mengimplementasikan panduan tersebut menjadi aksi nyata.
”Harus dipastikan dokumen ini tidak menjadi macan kertas, langkah konkretnya menjadi jauh lebih penting,” katanya.
Peran pengusaha kelapa sawit dalam memperhatikan habitat orangutan bukan lagi sekadar sukarela, melainkan juga kewajiban.
Berdasarkan Population Habitat Viability Assessment (PHVA) orangutan 2016, diperkirakan terdapat 60.060 orangutan yang tersisa di Sumatera dan Kalimantan. Sementara itu, lebih dari 70 persen sebaran habitat orangutan berada di luar kawasan konservasi.
Menurut Wiratno, dibutuhkan kerja sama pemerintah pusat hingga daerah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lainnya untuk menjawab tantangan konservasi orangutan. Komunikasi harus dilakukan secara keberlanjutan sehingga urgensinya bisa meluas.
”Komunikasi menjadi kunci karena SRAK sebelumnya kurang berhasil membangun komunikasi dan kerjasama dengan para pihak di luar pemerintah,” ujarnya.
Kerja sama tersebut dimaksudkan agar konservasi orangutan tidak terus-menerus melalui penyelamatan, tetapi juga pencegahan. Hal tersebut dilakukan mengingat biaya rehabilitasinya yang mahal. Pada Desember 2017, ada lebih dari 1.000 orangutan yang direhabilitasi di Sumatera dan Kalimantan. Biaya setiap bulannya Rp 3 juta per orangutan.
Ketua Majelis Perwalian Anggota Forum Orangutan Indonesia (Forina) Wahjudi Wardojo menyatakan, dalam konservasi orangutan, kemitraan menjadi sebuah keniscayaan. Ada tiga prinsip yang harus dipegang teguh, yakni respek, kepercayaan, dan benefit.
”Sejauh ini, pemerintah cenderung lemah dalam berkomunikasi dan bekerjasama dengan pihak lain,” katanya.