Arifin (17), siswa kelas XII SMAN 21 di Batam, Kepulauan Riau, awalnya tak tahu kata ”konservasi”. Ia mengenalnya seusai mengikuti perkemahan Jambore Nasional Konservasi Alam 2019 di Taman Wisata Alam Muka Kuning, Batam, 5-8 Agustus 2019.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
Arifin (17), siswa kelas XII SMA Negeri 21 di Batam, Kepulauan Riau, awalnya tak tahu kata ”konservasi”. Ia mengenalnya seusai mengikuti perkemahan Jambore Nasional Konservasi Alam 2019 di Taman Wisata Alam Muka Kuning, Batam, 5-8 Agustus 2019.
Pengakuannya agak mengejutkan mengingat Arifin merupakan Wakil Dewan Saka Kalpataru Gerakan Pramuka Batam. ”Soal konservasi baru tahu. Hal yang bisa disimpulkan, konservasi itu menjaga alam, termasuk satwa,” ujarnya, Rabu (7/8/2019).
Ia bersama anggota regunya yang berjumlah tujuh orang baru pertama kali mengikuti kemah konservasi. Kesempatan pertama itu dimanfaatkan dengan mengikuti kegiatan lapangan berupa jelajah hutan (jungle trekking).
Kegiatan itu ialah mengikuti jalan setapak dari Desa Trembesi Bengkel menuju lokasi perkemahan dalam rangka peringatan Hari Konservasi Alam Nasional di TWA Muka Kuning. Jaraknya sekitar 5 kilometer jika ditarik garis lurus tanpa memperhitungkan jarak naik-turun dan kelok-kelok perbukitan yang dilintasi.
Tak heran, jarak 5 kilometer itu ditempuh selama 2-2,5 jam oleh peserta, termasuk tim media yang mengikuti kegiatan tersebut. Sepanjang perjalanan, para peserta mendapat tugas untuk menginventarisasi tumbuhan ataupun satwa yang dijumpai.
Mereka diajari penggunaan fitur Google Lens, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk membaca algoritma visual tumbuhan sehingga mengenali nama dan jenis tanaman itu. Sayangnya, tugas itu tak bisa total dikerjakan Arifin karena telepon seluler pintarnya tak bisa lagi menerima aplikasi baru. ”Yang saya kenal ada tanaman putri malu dan tanaman kantong semar,” ucapnya.
Berbeda halnya dengan Retno Kumoro (16), siswi kelas X SMA Globe Nasional Plus Barat, yang mampu memanfaatkan kecerdasan buatan itu. Namun, saat ia dan timnya masuk kian dalam di belantara TWA Muka Kuning, kendala ketiadaan sinyal membuat aplikasi tak bisa mengenali obyek yang difoto.
Meskipun demikian, Retno mengatakan menikmati kegiatan itu. Apalagi, meski lahir dan besar di Batam, ia baru mengetahui Batam memiliki hutan seperti TWA Muka Kuning seluas 901,79 hektar yang hanya berjarak 2-3 kilometer dari pusat kota.
Hibatullah Nur M dari Saka Wanabakti yang menjadi pendamping dalam jelajah hutan itu mengungkapkan, inventarisasi bertujuan agar peserta mengenal jenis serta manfaat tumbuhan dan satwa yang dijumpai. ”Kalau tak mengenal, bagaimana bisa sayang,” kata Hibatullah yang duduk di kelas XII SMA Negeri 17 Batam itu.
Selain mengenal tumbuhan dan alam sekitar, peserta juga diajak untuk bersikap arif saat berinteraksi dengan alam. Setidaknya itu tampak dari penanaman tanggung jawab pribadi pada sampah yang dihasilkan saat berkegiatan di dalam hutan.
Selain tak membuang sampah di hutan, mereka juga dibekali kantong untuk memungut aneka sampah yang dijumpai di jalur trekking. Regu Arifin mendapat dua plastik besar sampah dari perjalanannya.
Fungsi ekosistem
Hakim Syahreza Lubis (28), guru Geografi Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia Batam, menuturkan, kegiatan lapangan sangat penting untuk menggugah kesadaran para murid terhadap fungsi ekosistem bagi manusia. ”Mereka menghirup udara dari hutan. Karena itu, hutan harus dijaga. Mereka minum air dari hutan dan lingkungan sehat,” kata Hakim yang juga pembina santri pencinta alam ini.
Ia menyarankan agar kegiatan pengenalan konservasi seperti itu ditanamkan sejak pendidikan dasar melalui kurikulum terstruktur. Semakin dini, pengenalan akan alam dengan konteks yang sesuai merupakan investasi bagi pembentukan perilaku generasi mendatang.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengatakan, generasi milenial saat ini memiliki pengaruh besar dalam membantu perlindungan alam. Generasi yang amat dekat dengan gawai (gadget) serta berelasi di media sosial dinilai ampuh menjadi pembawa pesan konservasi.
”Konservasi menjadi tanggung jawab masa kini di tengah kebutuhan kualitas hidup dan perkembangan teknologi yang cepat,” ujarnya.
Konservasi menjadi tanggung jawab masa kini di tengah kebutuhan kualitas hidup dan perkembangan teknologi yang cepat.
Keterlibatan aktif anak-anak milenial itu ditunjukkan Wiratno pada sejumlah kasus kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup. Laporan kejahatan tumbuhan dan satwa liar, seperti perdagangan satwa dilindungi, perburuan fauna liar, dan perlakuan menyimpang dari kesejahteraan satwa, berulang kali didapatkannya dari generasi milenial yang menjelajah dunia maya.
Apabila anak-anak milenial tak dibekali dengan nilai dan pengetahuan konservasi, berbagai kasus tersebut bisa dianggap eksistensi atau aktivitas biasa. Padahal, data Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK menunjukkan, dari 536 operasi pengamanan atau penangkapan pelaku peredaran ilegal satwa liar, 113 kasus dilakukan secara daring.
Kaum milenial yang lekat dengan kehidupan daring dapat menjadi agen-agen konservasi dengan melaporkan kejahatan kehutanan dan lingkungan di dunia itu kepada aparat. Untuk memaksimalkan potensi generasi milenial itu, Jambore Nasional Konservasi Alam yang diikuti 400 peserta digelar untuk memeriahkan Hari Konservasi Alam Nasional.
Lokasi penyelenggaraan di TWA Muka Kuning ini bukan tanpa sebab. Sebagai satu-satunya hutan konservasi di Pulau Batam, areal itu memiliki fungsi penting sebagai pengelola tata air dan mutu lingkungan bagi pulau tersebut. Fungsi lain adalah menjadi sarana ekowisata dan edukasi terkait ekosistem hutan.
Tema ”Spirit Konservasi Alam Milenial” menggambarkan bahwa semangat konservasi alam menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk generasi masa kini, di tengah kemajuan teknologi, pola hidup, pikiran terbuka, keterbatasan waktu, dan tuntutan mutu hidup yang meningkat. Hal-hal yang dibalut konservasi alam itu diharapkan menjadi kebanggaan dan kebutuhan bagi masyarakat, termasuk generasi milenial.