Romo Sindhunata: Pak Swantoro, Eksekutor, dan Peletak Jurnalisme Sejarah ”Kompas”
Pak Swan itu wartawan. Bukan wartawan namanya jika ia tidak bergulat dengan kerapuhan manusiawinya. Dan, Pak Swan tidak pernah menutup-nutupi hal itu. Tapi di sisi lainnya, ia adalah orang yang setia dan ingin menghayati kesetiaannya sesuai dengan janji imannya.
Pak Swan adalah generasi awal bagi kelahiran Kompas. Ia setia sampai usianya tidak memungkinkan lagi untuk menjalankan pengabdiannya. Kita kehilangan.
Bersama kepergiannya, kita mengenang kembali hidupnya.
Pak Swan percaya bahwa Kompas menjadi besar bukan hanya karena prestasi kerja keras karyawan-karyawannya. Tapi, Kompas besar juga karena campur tangan Tuhan.
Maka Pak Swan sering memandang Kompas ini sebagai biji sesawi. Kata Injil, ”Biji sesawi itu paling kecil dari segala jenis benih tetapi apabila sudah tumbuh maka sesawi itu lebih besar daripada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
Bagi Pak Swan, Kompas bermula dari kecil seperti biji sesawi. Jika Pak Swan bicara Kompas sebagai biji sesawi, ia hanya ingin mengingatkan agar Kompas tidak sombong dengan kebesarannya.
Bagi Pak Swan, Kompas bukan hanya sekadar lahan pengabdian jurnalistiknya. Tapi, Kompas adalah lahan tempat ia bekerja bersama Tuhan-nya untuk membesarkan biji sesawi itu.
Pak Swan itu pekerja keras dan tegas. Tidak banyak basi-basi. Marah, ya, marah. Ia tidak menolak kalau disebut sebagai Ontoseno, yang srogal-srogol, apa adanya dan to the point. ”Saya sering tidak sabar sama Mas Jakob,” beberapa kali ia berkata demikian.
Justru karena itu, Pak Swan adalah pelengkap yang sangat pas dan tepat untuk Pak Jakob. Pak Jakob meletakkan arahannya, sedangkan Pak Swan adalah eksekutornya.
Pak Jakob meletakkan arahannya, sedangkan Pak Swan adalah eksekutornya.
Dan, itu berjalan ideal karena Pak Swan selalu menemani kami bekerja sampai larut malam. Kerja wartawan memang sedang panas-panasnya pada malam hari. Kita butuh Pak Swan yang dapat memberikan penegasan terhadap berbagai hal yang terjadi.
Pak Swan itu wartawan. Bukan wartawan namanya jika ia tidak bergulat dengan kerapuhan manusiawinya. Dan, Pak Swan tidak pernah menutup-nutupi hal itu. Tapi di sisi lainnya, ia adalah orang yang setia dan ingin menghayati kesetiaannya sesuai dengan janji imannya.
Baca Juga : Kepergian Swantoro, Kepergian Seorang Yogi
Pak Swan adalah wartawan. Wartawan bukan pekerjaan yang suci dan Kompas sendiri juga bukan tempat yang suci. Di tempat demikian ini, Pak Swan jatuh-bangun menghidupi dirinya.
Jasa terbesar Pak Swan untuk Kompas kiranya ada dua. Pertama, ia telah memberi contoh bahwa wartawan itu harus membaca. Buku adalah pegangan utama bagi kewartawannya.
Hanya dengan membaca buku, wartawan dapat memperdalam dan memperluas wawasannya. Wartawan tidak boleh tanpa buku.
Karyanya, Dari Buku ke Buku adalah pusaka bagi keyakinannya itu.
Kedua, Pak Swan telah berjasa membuat jurnalisme Kompas sebagai jurnalisme sejarah. Pak Swan sendiri adalah wartawan sekaligus sejarawan.
Pak Swan telah berjasa membuat jurnalisme Kompas sebagai jurnalisme sejarah.
Waktu bekerja di majalah Basis, ia sudah memperlihatkan betapa ia menguasai sejarah. Tidak segan-segan ia membalik-balik sejarah, sampai menemukan kutipan yang begitu mengena.
Ia pernah, misalnya, menulis tentang Romo Van Lith yang ramalannya tentang kejatuhan bangsa kulit putih (di Indonesia) sungguh menjadi kenyataan.
Pernyataan Romo Van Lith, yang dipetik oleh Pak Swan adalah, ”.... Orang tidak boleh lupa bahwa angkasa raya seisinya berputar, dan Pulau Jawa terputar pula”.
”Kini, masa penjajahan ras putih telah berlalu. Tidak satu pun bangsa kulit putih akan dapat bertahan menghadapi 100 juta bangsa Asia. Akuilah hak-hak bangsa asli, apalagi kalian ingin hak-hak kalian diakui juga nantinya...,” kutip Pak Swan, lagi.
Baca Juga : Mengantar Kepergian Pak Swantoro dengan Ave Verum
Tulisan Pak Swan sarat dengan nada-nada sejarah yang profetik itu. Jurnalisme sejarahnya sungguh memberi warna dan kedalaman bagi jurnalisme humanistik yang telah diletakkan oleh Pak Ojong dan Pak Jakob.
Jurnalisme sejarahnya sungguh memberi warna dan kedalaman bagi jurnalisme humanistik yang telah diletakkan oleh Pak Ojong dan Pak Jakob.
Bersama jurnalisme sejarah Pak Swan, kami, para wartawan Kompas ini, kiranya dapat selalu mengingatkan para politikus terlebih pada zaman reformasi ini. Mengingatkan agar mereka sadar bahwa manusia-manusia politik adalah manusia yang paling keras kepala untuk menolak sejarah.
Kekuasaan para politikus, kata Pak Swan, membuat mereka tidak mau belajar sejarah. Akibat kekerasan kepala mereka itu, ditambahkan Pak Swan, akhirnya mereka sendiri juga terjungkal dari cita-citanya.
Itu tidak hanya terjadi sekali, tetapi berulang kali terjadi sama serupa dengan sebelumnya. Begitulah, bukan sejarah yang siklis, tapi kekuasaan dan politiklah yang menjadikan sejarah ini siklis.
Kekuasaan juga telah menjadikan sejarah ini bergerak seperti digerakkan oleh hukum karma. Yang sekarang terjungkal karena sebelumnya ia menjungkalkan lawannya.
In het heden ligt het verleden, in het nu wat komen zal. Dalam masa sekarang ini mendapati masa lalu, dalam masa sekarang juga kita mendapati apa yang akan datang. Historia docet, sejarah itu mengajar. Itulah kata-kata kesayangan Pak Swan.
Pak Swan telah menjadi sejarah bagi Kompas. Karena itu, janganlah sampai kita melupakannya. Itulah kiranya janji yang boleh kita ucapkan untuk mengantar kepergiannya.
Sekarang, Pak Swan telah bisa ”bernyanyi” dengan doa Kidung Simeon kegemarannya. ”Nunc dimittis servum tuum, Domine, secundum verbum tuum in pace.... Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan sabda-Mu....”
SINDHUNATA, Wartawan; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta.
___
Catatan Redaksi:
Disarikan dari Homili Romo Sindhunata, SJ, pada Misa Requeim Pak Swantoro di Gedung Kompas, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
RYO