China melakukan parade kekuatan militer di Stadion Shenzhen Bay, Shenzhen, sebuah kota yang berbatasan dengan Hong Kong, Kamis (15/8/2019). Intimidasi China atas Hong Kong semakin terasa.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
HONG KONG, KAMIS — China melakukan parade kekuatan militer di Stadion Shenzhen Bay, Shenzhen, sebuah kota yang berbatasan dengan Hong Kong, Kamis (15/8/2019). Intimidasi China atas Hong Kong semakin terasa. Akan tetapi, China perlu berhati-hati agar tidak salah langkah.
Ribuan anggota Polisi Bersenjata Rakyat (PAP) di bawah komando Komisi Militer Pusat mengayunkan bendera merah di dalam sebuah stadion olahraga. Mereka berlari dalam formasi. Anggota lainnya mengendarai sepeda motor.
”Jika mereka tidak mundur dan terus mendorong situasi lebih jauh melebihi titik kritis, kekuatan negara dapat datang ke Hong Kong kapan saja,” tulis Pemimpin Redaksi The Global Times Hu Xijin, sebuah media massa yang dikelola Pemerintah China.
Sejumlah kendaraan bersenjata terlihat diparkir di dalam stadion. Di luar gedung, puluhan truk dan kendaraan lapis baja juga tampak.
Media Pemerintah China lainnya, People’s Daily, menyatakan, PAP bertugas untuk menangani kerusuhan, kekerasan, tindakan kriminal, serangan teroris, dan insiden keamanan masyarakat lainnya. China telah menyebutkan, kerusuhan dalam demonstrasi Hong Kong merupakan aksi terorisme dan para pengunjuk rasa adalah perusuh.
Setelah unjuk rasa pro-demokrasi Hong Kong berlangsung selama 10 minggu, Pemerintah China belum turun tangan secara langsung. Sejauh ini, Beijing hanya menyampaikan dukungan terhadap Otoritas Hong Kong untuk menjaga situasi kondusif.
Sekalipun begitu, China berupaya mengintimidasi pengunjuk rasa secara tidak langsung. Selain mengumpulkan pasukan di perbatasan, China beberapa kali telah merilis video dan foto latihan militer selama aksi protes berlangsung.
”Latihan itu adalah bagian tak terpisahkan dari upaya terkoordinasi Beijing untuk menekan pengunjuk rasa dan masyarakat umum agar menyerah atas tuntutan mereka, termasuk yang untuk hak pilih universal,” ujar Dixon Sing Ming, pengamat politik di Hong Kong University of Science and Technology, dikutip dari South China Morning Post.
Sejak awal Juni, warga Hong Kong melakukan aksi unjuk rasa di berbagai lokasi guna menolak rancangan undang-undang ekstradisi. Para pengunjuk rasa khawatir RUU ini akan mengekstradisi warga Hong Kong ke China yang memiliki pemahaman berbeda mengenai hak asasi manusia.
Meskipun amendemen RUU Ekstradisi ditunda, unjuk rasa akhirnya meluas menjadi gerakan pro-demokrasi. Aksi protes mencapai babak baru setelah pengunjuk rasa menghentikan operasional Bandara Internasional Hong Kong selama 12-13 Agustus 2019.
Para pengunjuk rasa menuntut Pemerintah Hong Kong mencabut RUU Ekstradisi, pembatalan sebutan perusuh terhadap pengunjuk rasa, pembebasan pengunjuk rasa yang ditahan polisi, pengunduran diri Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, penyelidikan kekerasan oleh polisi, serta pemberian hak pilih terhadap pejabat legislatif dan pemimpin Hong Kong.
Unjuk rasa pro-demokrasi serupa sebenarnya telah dilakukan pada 2014, atau yang dikenal sebagai Gerakan Payung. Namun, pada waktu itu, gerakan tersebut gagal. Akibatnya, pengaruh China justru semakin meluas.
China ingin mengancam akan mengirim Tentara Pembebasan Rakyat atau bentuk intervensi lainnya untuk menakuti demonstran. Namun, mengingat tingginya tingkat risiko operasional serta risiko reputasi dan ekonomi, pengiriman PLA akan menjadi langkah berbahaya.
Hong Kong diserahkan Inggris kepada China pada 1997. Dalam perjanjian penyerahan, Hong Kong memiliki sistem pemerintahan sendiri selama 50 tahun sehingga masyarakat dan media relatif lebih bebas ketimbang di China.
Bayangan Tiananmen
Aksi unjuk rasa berakhir ricuh dalam berbagai kesempatan. Polisi Hong Kong menggunakan peluru karet, gas air mata, semprotan merica, dan tongkat untuk membubarkan massa. Pengunjuk rasa membalas dengan lemparan batu.
Namun, korban terus berjatuhan di kedua belah pihak. Kejadian terbaru yang menjadi sorotan internasional adalah polisi diduga menembak mata seorang perempuan pengunjuk rasa, sedangkan pengunjuk rasa sempat menahan seorang jurnalis dari China.
Kekerasan yang terjadi dan ditambah intimidasi keberadaan militer China membuat sejumlah pihak mengkhawatirkan tragedi Lapangan Tiananmen pada 1989 akan berulang.
Tragedi di Lapangan Tiananmen merupakan insiden berlangsungnya pembantaian massal yang dilakukan oleh militer China kepada pengunjuk rasa pro-demokrasi. Diperkirakan, ratusan hingga ribuan pengunjuk rasa tidak bersenjata meninggal. Tidak hanya itu, sekitar 10.000 orang ditangkap dan dipenjara lebih dari 10 tahun.
”China ingin mengancam akan mengirim Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) atau bentuk intervensi lainnya untuk menakuti demonstran. Namun, mengingat tingginya tingkat risiko operasional serta risiko reputasi dan ekonomi, pengiriman PLA akan menjadi langkah berbahaya,” kata Ben Bland, peneliti dari Lowy Institute, Australia.
Pembantaian di Lapangan Tiananmen sempat membuat China dikucilkan dunia internasional. Pertumbuhan ekonomi China sempat stagnan selama dua tahun pasca-insiden.
Penggunaan kekuatan militer terhadap Hong Kong diperkirakan akan memberi dampak negatif lebih besar bagi China. Hong Kong merupakan pusat keuangan internasional Asia yang penting bagi perekonomian China. Selain itu, intervensi di Hong Kong akan memengaruhi ambisi China untuk bersatu dengan Taiwan. (AFP)