Lewat Visinya, Jokowi Menjawab Tantangan Teknologi Digital
›
Lewat Visinya, Jokowi Menjawab...
Iklan
Lewat Visinya, Jokowi Menjawab Tantangan Teknologi Digital
Bagaikan nakhoda kapal dengan kompasnya, begitu pula kepala negara dengan visinya dalam memimpin negara. Kini, samudra luas itu bernama teknologi digital yang penuh peluang sekaligus tantangan. Lantas, sejauh mana kesiapan Indonesia di tangan Joko Widodo dalam mengarungi terjangan gelombang digital?
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
·6 menit baca
Bagaikan nakhoda kapal dengan kompasnya, begitu pula kepala negara dengan visinya dalam memimpin negara. Kini, samudra luas itu bernama teknologi digital yang penuh peluang sekaligus tantangan. Lantas, sejauh mana kesiapan Indonesia di tangan Joko Widodo dalam mengarungi terjangan gelombang digital?
Arah pembangunan, selain berpegang pada cita-cita bangsa, juga disesuaikan dengan perkembangan zaman. Bidang teknologi menjadi salah satu aspek pembangunan yang sangat dinamis. Meskipun demikian, arah program dan kebijakan pemerintahan terkait teknologi mengikuti visi pemerintah pada periode tertentu.
Perkembangan teknologi digital yang begitu cepat dalam beberapa dekade terakhir dan akan makin canggih ke depannya membuat penting untuk melihat kesiapan bangsa ini. Salah satu cara untuk membacanya adalah dengan melihat dalam visi presiden.
Visi dan misi kepala pemerintahan ini penting karena dari sanalah akan ditentukan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk lima tahun ke depan. Dari RPJMN itulah, program-program prioritas nasional akan diterjemahkan dan menjadi arah kebijakan selama masa pemerintahan presiden yang bersangkutan.
Dalam sejarah pemerintahan, Indonesia baru memiliki dua presiden dengan visi misinya karena melewati tahapan pemilihan presiden secara langsung, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo (Jokowi). Menilik kembali visi dan misi di periode pertama (2004-2009) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agenda mengenai teknologi digital belumlah muncul.
Pada periode kedua pemerintahannya (2009-2014), Yudhoyono dan Boediono terlihat sudah berusaha memasukkan unsur teknologi dalam beberapa agenda penting visi dan misinya.
Pemikiran Yudhoyono dan wakilnya, M Jusuf Kalla, mengenai teknologi berpusat pada pertumbuhan ekonomi. Pembahasan inovasi teknologi saat itu memang tidak menjadi fokus karena Yudhoyono masih perlu membuktikan bahwa pihak koalisi dan oposisi dapat berjalan berdampingan setelah amandemen UUD 1945.
Pada periode kedua pemerintahannya (2009-2014), Yudhoyono dan Boediono terlihat sudah berusaha memasukkan unsur teknologi dalam beberapa agenda penting visi dan misinya. Setidaknya, teknologi informasi sudah dimasukkan dalam pengembangan pendidikan dan muncul di bidang lainnya, seperti kesehatan dan birokrasi publik.
Meski begitu, masih belum ada upaya yang ditunjukkan dalam melihat peluang penggunaan internet di bidang-bidang strategis.
Pada pemerintahan Jokowi yang pertama (2014-2019), perhatian kepada teknologi semakin besar dan spesifik. Upaya penggunaan teknologi dalam bidang-bidang penting, seperti politik, pendidikan, riset, hukum, dan energi, disebutkan secara eksplisit. Gagasan agar Indonesia tidak lagi menjadi pasar bagi industri teknologi informasi dan komunikasi asing turut tertuang dalam visi misinya.
Ketika kembali mengajukan diri bersama Ma’ruf Amin untuk periode keduanya menjabat (2019-2024), Jokowi semakin serius menggarap teknologi.
Melanjutkan Nawacita sebelumnya, kesiapan menyongsong Revolusi Industri 4.0 diupayakan melalui pembangunan infrastruktur digital, riset dan inovasi teknologi, serta revitalisasi science technopark. Selain itu, pengembangan e-government dan fasilitas ekonomi digital turut dijanjikan kepada masyarakat.
Dalam penelusuran visi dan misi kedua presiden di atas kurang tepat jika dilihat sebagai suatu perbandingan antara Yudhoyono dan Jokowi saat memimpin Indonesia. Sebabnya, kedua presiden tersebut memiliki konteks sosial politik Indonesia yang berbeda satu sama lain. Lebih baik, gagasan para pemimpin negara ini dipandang sebagai proses Indonesia dalam menanggapi kemajuan teknologi informasi.
Implementasi
Berdasarkan catatan, koneksi internet di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Joseph Luhukay pada 1983 dengan mengembangkan jaringan UINet di kampus Universitas Indonesia.
Pada 1990-an, muncullah para penggemar radio dan akademisi yang mengembangkan jaringan komputer menggunakan radio. Kemudian pada 1994, para akademisi dan penggemar radio ini mendirikan internet service provider (ISP) pertama di Indonesia.
Memang, temuan itu kemudian terasa lambat direspons pemerintah karena pembangunan Proyek Palapa Ring baru dimulai pada 2016-2017.
Proyek ini merupakan proyek pembangunan jaringan tulang punggung serat optik dengan panjang 36.000 kilometer dan menghubungkan 440 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Targetnya, proyeknya ini selesai pada 2019 sehingga masyarakat dapat menikmati pemerataan infrastruktur jaringan telekomunikasi.
Salah satu implementasi teknologi digital di pemerintahan ialah penerapan e-government yang juga dimasukkan Jokowi ke dalam salah satu misi pada periode kedua ini.
Menurut laporan E-Government Development Index (EGDI) yang diberikan oleh PBB, Indonesia berada di peringkat ke-107 dari 193 negara di 2018. Posisi ini naik 9 peringkat dibandingkan dengan posisi pada 2016 yang di peringkat ke-116.
Hasil ini terbilang belum cukup baik karena nilai rata-rata EGDI Indonesia masih berada di bawah rata-rata regional Asia Tenggara. Indonesia berada pada angka 0,5258, sedangkan rata-rata EGDI di kawasan Asia Tenggara adalah 0,5555. Adapun yang dinilai oleh PBB ialah penyediaan jasa daring, jaringan komunikasi yang saling terhubung, dan kapasitas warga negara (modal sosial).
Sementara itu, dari indeks partisipasi masyarakat, posisi Indonesia terbilang cukup baik, yakni peringkat ke-92 dari 193 negara yang dinilai. Pada 2018, Indonesia memperoleh nilai 0,6180 dan berada tipis di atas nilai rata-rata Asia Tenggara 0,6126.
Penilaian ini terdiri dari tiga aspek, yakni penyediaan informasi publik, keterlibatan publik dalam pembentukan suatu kebijakan atau layanan, dan keterlibatan publik hingga penentuan peraturan.Pemeringkatan di atas kiranya memberikan gambaran sejauh mana Pemerintah Indonesia menjalankan e-government di mata dunia.
Tentu saja, salah satu faktor penting dari pemeringkatan tersebut ialah faktor keterlibatan masyarakat. Maka, pertumbuhan ekonomi kreatif yang memanfaatkan teknologi digital dapat menjadi sarana dalam mengedukasi masyarakat untuk menerapkannya dalam keseharian.
Ekonomi kreatif
Lantas, bagaimana ekonomi kreatif dapat menjadi sarana edukasi masyarakat dalam penggunaan teknologi digital? Penggunaan jasa transportasi daring dapat menjadi contoh untuk menjawab pertanyaan ini.
Ketika ingin menggunakan jasa transportasi daring, pengguna akan memesan melalui aplikasi yang terkoneksi dengan penyedia layanan (pihak usaha dan pengemudi).
Setidaknya, ada beberapa hal yang saling terhubung secara langsung, yaitu jaringan internet, lokasi pemesan (peta digital), nomor telepon pengguna, aplikasi pengguna, dan aplikasi pengemudi. Begitulah teknologi digital bekerja dalam ekonomi kreatif dan, lambat laun, pengguna atau masyarakat turut terbiasa dalam menggunakan sistem ini.
Begitulah teknologi digital bekerja dalam ekonomi kreatif dan, lambat laun, pengguna atau masyarakat turut terbiasa dalam menggunakan sistem ini.
Contoh dalam penggunaan jasa transportasi daring hanyalah salah satu dari ekonomi kreatif yang sedang dikembangkan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan pihak ketiga (swasta). Bahkan, penggunaan teknologi digital telah mampu mengantarkan beberapa start-up mendapat status Unicorn di Indonesia. Mereka adalah Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak.
Dalam Bekraf Outlook 2019 terdapat delapan tren teknologi digital yang akan memengaruhi ekonomi dunia, yaitu internet of things (IoT), drone, robot, 3D printing, artificial intelligence (AI), blockchain, virtual reality, dan augmented reality. Kedelapan tren inilah yang saat ini dan ke depan akan terus disinergikan dengan inovasi-inovasi barang dan jasa sebagai bagian dari ekonomi kreatif.
Sebagai perbandingan, Bekraf turut memaparkan strategi yang dilakukan Korea Selatan dalam menggarap sektor ini. Pemerintah Korea Selatan memulainya pada 2009 dengan mendirikan agensi untuk mengawasi dan mengoordinasi industri kreatif di sana. Hasilnya mulai terlihat pada 2016, ekspor konten kreatif Korea Selatan (seperti film, musik, dan gim) meningkat 9,7 persen meskipun ekonomi negara mengalami pelambatan.
Oleh sebab itu, misi Jokowi dalam mendorong peran ekonomi digital yang disertai pembangunan infrastruktur digital sudah sepatutnya dilanjutkan.
Setelah infrastruktur siap, pematangan e-government dan dunia ekonomi kreatif menjadi tantangan selanjutnya. Bukan tidak mungkin, 100 tahun setelah kemerdekaannya, kesejahteraan warga dapat ditingkatkan seiring kemajuan teknologi digital Indonesia. (LITBANG KOMPAS/YOHANES MEGA HENDARTO)