Peringatan HUT Ke-74 RI menjadi momen penting masyarakat Indonesia, tak terkecuali Baiq Nuril. Kemerdekaan dan kebahagiaan perempuan yang baru saja mendapat amnesti dari Presiden Joko Widodo itu kian lengkap karena Baiq Raina Asli Hati (16), anak sulungnya, menjadi salah satu anggota Paskibra tingkat Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
Peringatan Hari Kemerdekaan RI Ke-74 menjadi momen penting bagi masyarakat Indonesia, tak terkecuali Baiq Nuril. Kemerdekaan dan kebahagiaan perempuan yang baru saja mendapat amnesti dari Presiden Joko Widodo itu kian lengkap karena Baiq Raina Asli Hati (16), anak sulungnya, menjadi salah satu anggota Pasukan Pengibar Bendera tingkat Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Ketika barisan Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) memasuki Lapangan Bumi Gora Kantor Gubernur NTB sekitar pukul 10.00 Wita, Baiq Nuril yang duduk di antara puluhan orangtua lain menegakkan badan. Suaminya, Lalu Isnaini, dan anak bungsunya, Lalu Muhammad Raffi Saputra, melakukan hal serupa.
Ketika melihat sang anak yang berada di lajur kanan pada urutan kedua paling belakang, Nuril lantas mengambil ponsel pintar. Ia kemudian merekam setiap pergerakan sang anak bersama anggota Paskibra lainnya. Hanya beberapa saat, mata Nuril berkaca-kaca. Tangisnya pecah.
Rasa haru itu ternyata tidak hanya ketika proses pengibaran bendera berlangsung. Ketika berkesempatan bertemu Raina seusai upacara, Nuril kembali menangis.
Dengan penuh kasih sayang dan rasa bangga, Nuril memeluk sang anak. Raina yang masih mengenakan pakaian lengkap Paskibra membalas pelukan ibunya. Pertemuan yang mengharukan itu menjadi perhatian orang-orang di dekat mereka.
”Dari dia masuk pintu gerbang, air mata ini tidak berhenti. Itu karena rasa bangga... bangga yang luar biasa,” kata Nuril sambil terisak.
Situasi emosional yang dirasakan Nuril berasalan. Kesempatan melihat putrinya menjadi salah satu anggota Paskibra adalah ”kemerdekaan” lain yang akhirnya bisa didapatkan mantan tenaga hononer SMAN 7 Mataram itu.
Sebelumnya, selama hampir lima tahun, Nuril harus berjuang mencari keadilan atas kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjeratnya.
Kasus itu berawal pada 2014 ketika Nuril dilaporkan M, kepala sekolah di tempatnya bekerja. Tuduhan bagi Nuril adalah pencemaran nama baik (Kompas, 6/7). Nuril merekam pembicaraan telepon dengan M karena merasa dilecehkan. Sebab, M menceritakan hubungan asmaranya dengan seorang wanita lain yang mengarah ke pornografi. Rekaman itu belakangan disebarluaskan rekan Nuril dan berujung laporan M ke Polres Mataram pada awal 2017.
Nuril pun didakwa menggunakan UU ITE karena mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Nuril ditahan 2 bulan, kemudian dituntut 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta oleh jaksa penuntut umum. Majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram menjatuhkan vonis bebas kepada Nuril.
Jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Pada 26 September 2018, MA menjatuhkan vonis kepada Nuril 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara. Nuril kemudian menggunakan upaya hukum terakhir dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Akan tetapi, Jumat (5/7), MA melalui juru bicaranya menyatakan perkara PK dengan pemohon Baiq Nuril Maknun ditolak. Ini berarti MA menguatkan putusan pemidanaan yang dijatuhkan kepada Nuril.
Penolakan itu tidak membuat Nuril dan kuasa hukum menyerah. Mereka melanjutkan perjuangan untuk mendapatkan satu-satunya jalan terakhir, yakni amnesti dari Presiden Joko Widodo. Upaya mereka, ditambah desakan yang terus datang dari berbagai pihak, akhirnya berbuah hasil ketika Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2019 tentang Pemberian Amnesti untuk Baiq Nuril.
”Sekarang saya benar-benar merasakan arti kemerdekaan itu. Merdeka dari intimidasi. Merdeka dari tekanan batin saya sendiri,” kata Nuril yang menurut rencana mulai Senin, 19 Agustus, bekerja di Satuan Polisi Pamong Praja Kota Mataram.
”Kemerdekaan itu juga semakin lengkap karena hari ini bisa melihat secara langsung anak saya ikut mengibarkan bendera. Dia memang sejak SMP sudah ikut Paskibra dan ketika SMA (SMA 1 Praya, Lombok Tengah), dia ikut seleksi dan lolos,” lanjutnya.
Sekarang saya benar-benar merasakan arti kemerdekaan itu. Merdeka dari intimidasi. Merdeka dari tekanan batin saya sendiri.
Kemerdekaan itu, menurut Nuril, tidak hanya dirasakannya sendiri, tetapi juga orang-orang terdekat, seperti keluarga serta pihak-pihak yang mendukungnya selama ini. Ia berharap, perempuan-perempuan lain, termasuk yang menjadi korban pelecehan seksual, juga bisa sampai pada tahap itu.
”Asal jangan takut untuk melapor. Harus berani,” ujar Nuril yang menyatakan keinginan untuk membuka tempat pengaduan bagi perempuan korban pelecehan seksual.
Lalu Isnaini, suami Nuril, juga merasakan hal serupa. Melihat sang istri yang sudah terbebas dari jeratan hukum dan hadir bersamanya melihat Raina membuat peringatan HUT ke-74 ini kian istimewa.
”Saya merasa bahwa benar-benar merdeka dari semua belenggu. Momen ini menjadi kemenangan bagi saya dan keluarga,” kata Isnaini.
Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalillah saat bertemu dengan Nuril seusai upacara juga menyampaikan apresiasi atas terpilihnya Raina sebagai anggota Paskibra. ”Selamat, hebat,” katanya.
Sitti juga menyampaikan selamat atas amnesti yang diterima Nuril. Menurut dia, perjalanan kasus Nuril harus menjadi pembelajaran. ”Selamat karena sudah berhasil (mendapat amnesti). Selamat karena sudah berbahagia. Semoga (kasus Nuril) menjadi pembelajaran bagi kita semua,” tutur Sitti.
Dalam kesempatan itu, Sitti juga berpesan agar Nuril ke depan semakin baik. ”Nuril harus tangguh, harus bisa menatap masa depan dengan optimistis. Beliau adalah orang yang hebat dan pasti lebih baik lagi baik di karier, usaha, dan lainnya,” kata Sitti yang memastikan perlindungan perempuan sebagai salah satu program Pemerintah Provinsi NTB.