Presiden Joko Widodo sadar, dia kalah pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di wilayah ini, perolehan suara Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin kurang dari 15 persen suara, sedangkan pasangan rivalnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, meraih lebih dari 65 persen suara. Namun, kenyataan ini tidak membuatnya membedakan provinsi ini dengan daerah lain.
Oleh
Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
Presiden Joko Widodo sadar, dia kalah pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di wilayah ini, perolehan suara Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin kurang dari 15 persen suara, sedangkan pasangan rivalnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, meraih lebih dari 65 persen suara. Namun Jokowi tetap ingin menyapa warga NTB di panggung kenegaraan.
Jokowi sengaja melakukan di podium saat membacakan pidato kenegaraan di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019). Dia membuka pidatonya dengan bahasa Sasak, suku yang mendiami provinsi itu. Secara sengaja, pagi itu dia mengenakan baju adat Sasak berwarna coklat keemasan.
”Tadi banyak yang menanyakan kepada saya, pakaian yang saya pakai ini dari daerah mana? Nunas nurge tiang matur (mohon maaf saya mengatakan), ini pakaian dari Sasak, Nusa Tenggara Barat, dari Bumi Sasak. Berembe kabar pelungguh de senamean (bagaimana kabar saudara semua)?” kata Jokowi di depan hadirin.
Hadirin bertepuk tangan, sebagian tersenyum, seperti yang dilakukan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang juga wakil rakyat asal NTB. Saat Presiden berpidato, dia berada di belakangnya, di jajaran kursi pimpinan DPR. Beberapa pimpinan menyalami Fahri saat mereka tahu Presiden mengenakan baju adat Sasak. Pembicaraan tentang baju adat itu pun ramai di media sosial.
Melalui penampilannya itu, Jokowi seakan menegaskan bahwa semua wilayah di Indonesia menjadi perhatiannya, tidak terkecuali di provinsi di mana dia kalah dalam pemilu 2019. Kepala negara sengaja ingin membangun identitas nasional. Hal ini sejalan dengan pandangan Jean Gelman Taylor, dalam The Politics Of Dress In Asia And The Americas (Sussex Academy Press, 2008). Menurut Taylor, para pemimpin pasca-kemerdekaan berusaha menggunakan pakaian untuk membangun rasa identitas nasional yang bisa menyatukan berbagai kelompok etnis bangsa.
Melalui penampilannya itu, Jokowi seakan menegaskan bahwa semua wilayah di Indonesia menjadi perhatiannya, tidak terkecuali di provinsi di mana dia kalah dalam pemilu 2019
Hal senada disampaikan Ari Dwipayana, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi. Ari menjelaskan, penggunaan pakaian adat itu karena menjadi simbol identitas bangsa yang beragam. Presiden ingin menunjukkan keragaman baju adat Nusantara. Hal serupa dilakukan Presiden di sejumlah acara lain, seperti penampilannya di acara Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Bali. ”Pak Jokowi kalah (saat pemilu di NTB) di sana. Tetapi, Pak Jokowi tetap mencintai masyarakat NTB,” kata Ari.
Efek baju adat
Bima Widiatiaga, Kurator Museum DPR menyatakan pakaian adat Sasak yang dipakai Presiden itu berjenis pegon, yang biasa dipakai bangsawan Sasak untuk upacara adat. Pegon merupakan akulturasi pakaian Eropa berbentuk jas yang disesuaikan dengan mode lokal. Akulturasi pakaian jas yang dipakai bangsawan lazim dipakai daerah-daerah lain, seperti beskap langenharjan di Solo. Adapun ikat kepala yang disebut sebagai sapuk secara bentuk tidak berbeda jauh dengan ikat kepala Bali.
Nama Suku Sasak pertama kali ditemukan pada Abad ke-11 lewat Prasasti Pujungan yang ditemukan di Tabanan, Bali, oleh filolog Belanda, JG de Casparis. Penjelasan ini dikutip dari Hikayat Indarjayakarya Lalu Wacana, Nyoman Argawa, Renggo Astuti, dan Lalu Gde Supraman (1994).
Konsentrasi suku Sasak hidup di Pulau Lombok. Selain suku Sasak, di NTB terdapat Suku Samawa di Sumbawa Barat, Suku Mbojo di Sumbawa Tengah dan Timur, serta suku Bali Lombok. Baik Sasak, Samawa, maupun Mbojo banyak berhubungan dengan suku bangsa di sekitarnya, terutama suku Jawa, Bali, dan Makassar. Interaksi ini memengaruhi budaya warga setempat, salah satunya adalah cara berpakaian.
Nama suku Sasak pertama kali ditemukan pada Abad ke-11 lewat Prasasti Pujungan yang ditemukan di Tabanan, Bali, oleh filolog Belanda, JG de Casparis.
Dalam buku Pakaian Tradisional Daerah NTB (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1993), warga Sasak dikenal sebagai penghasil kain pelekat, kait tenun songket, dan kain lurik. Adapun bahan-bahan kain itu dari bahan alam sekitar warga. Penggunaan bahan pakaian dari kapas pada mulanya berkembang pada abad ke-18, saat Belanda mendatangkan kapas dari India. Kemudian, pembuatan pakaian tradisional makin berkembang pada abad ke-19 saat warga mulai menggunakan bahan kapas lokal.
Evi Apita Maya, anggota Dewan Perwakilan Daerah terpilih dari NTB, bangga dengan penampilan presiden dengan baju Sasak. Dia merasa, presiden menaruh perhatian serius pada daerahnya. ”Presiden punya perhatian khusus terhadap NTB. Selama jadi presiden, beliau sudah beberapa kali beliau datang ke Lombok,” kata Evi.
Walau bangga dengan penampilan presiden, Evi mengingatkan pekerjaan rumah yang mendesak dilakukan di NTB. Provinsi ini, perlu mengatasi ketertinggalan dengan wilayah lain. Pembenahan infrastruktur, misalnya, perlu perhatian serius terutama untuk memulihkan kondisi pascagempa yang berkali-kali melanda NTB. Tampiasih, terima kasih.