Pembentukan Kementerian Investasi Belum Tentu Selesaikan Masalah
›
Pembentukan Kementerian...
Iklan
Pembentukan Kementerian Investasi Belum Tentu Selesaikan Masalah
Perubahan nomenklatur Badan Koordinasi Penanaman Modal menjadi Kementerian Investasi dinilai tidak akan serta-merta memuluskan masuknya investasi asing ke Tanah Air. Pembenahan pada aspek struktural dibutuhkan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan nomenklatur Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM menjadi Kementerian Investasi dinilai tidak akan serta-merta memuluskan masuknya investasi asing ke Tanah Air. Pembenahan pada aspek struktural dibutuhkan untuk membersihkan hambatan investasi.
Vice Director Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, hambatan masuknya investasi asing tidak semata diakibatkan oleh masalah kelembagaan. Padahal, pembenahan arus investasi ke dalam negeri perlu dilakukan dari hulu hingga hilir.
”Wacana pembentukan Kementerian Investasi dinilai bukanlah jawaban atas hambatan PMA (penanaman modal asing) di Indonesia karena permasalahan utamanya ada pada aspek struktural, bukan hanya kelembagaan,” ujarnya di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Dari sisi global, meski tren pertumbuhan investasi asing terus melambat, negara berkembang masih dianggap menjadi pasar yang menarik bagi investor. Data United Nations Conference on Trade and Development pada 2018 menunjukkan secara global, PMA di seluruh dunia mengalami penurunan sebesar 13 persen menjadi 1,29 triliun dollar AS.
PMA di negara maju yang meliputi 54 persen dari keseluruhan aliran modal asing turun sebesar 27 persen menjadi 557 miliar dollar AS. Sementara untuk negara berkembang tumbuh 2 persen atau menjadi 706 miliar dollar AS.
Eko menilai, pemerintah seharusnya memperbaiki masalah struktural yang menghambat masuknya investasi asing ke Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mampu menangkap peluang tren masuknya PMA ke negara berkembang.
”Secara umum, problem investasi berkaitan dengan aspek ketenagakerjaan, aspek lahan, aspek berbelit-belitnya perizinan di daerah, dan lain-lain,” ucapnya.
Meski BKPM memiliki jaringan di daerah berupa BKPM Daerah, lanjut Eko, pada kenyataannya sinergi antara antara pusat dan daerah belum berlangsung dengan baik. Hal ini disinyalir terjadi karena Undang-Undang Otonomi Daerah menyebabkan BKPM daerah hanya bertanggung jawab kepada pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.
”Contohnya, sejumlah inovasi seperti OSS (Online Single Submission) justru kadang bermasalah saat diimplementasikan di daerah. Hilirasi kebijakan agar bisa diterapkan lintas daerah ini yang harus dibenahi,” katanya.
Kalaupun terbentuk Kementerian Investasi, Eko berharap, lembaga tersebut dapat menyelesaikan permasalahan struktural yang ada sehingga pertumbuhan PMA bisa di atas 15 persen per tahun. Nilai pertumbuhan ini sebenarnya masih lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan investasi di India yang mencapai 30 persen per tahun dan Vietnam yang mencapai 120 persen.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, apabila BKPM ditingkatkan menjadi kementerian, pemerintah pasti akan menambah fungsi lain, misalnya untuk menangani urusan investasi digital. Dengan meningkat ke level kementerian, fungsi eksekusi BKPM dinilai bisa lebih kuat.
”Kalau BKPM benar-benar menjadi Kementerian Investasi, wewenang lembaga akan semakin luas hingga dapat membuat regulasi, misalnya yang berhubungan dengan insentif fiskal,” ujarnya.
Intensi baik
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai wacana pembentukan Kementerian Investasi sebagai intensi baik pemerintah untuk mendorong investasi yang saat ini dibutuhkan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, pertumbuhan ekonomi nasional masih akan stagnan berada di kisaran 5 persen dalam beberapa tahun ke depan.
Walau begitu, Piter mengingatkan, pembentukan Kementerian Investasi tidak secara otomatis menyelesaikan masalah yang ada. Pasalnya, persoalan yang menghambat investasi selama ini membutuhkan introspeksi dan mengevaluasi segala kebijakan yang sudah berjalan selama ini.
”Pemerintah selama ini cenderung defensif dan tidak mau mengakui bahwa kebijakan yang sudah diambil belum optimal sehingga siapa pun yang mengisi posisi menteri investasi, arogansi pejabat harus dihilangkan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Investasi Aberdeen Standard Investments Bharat Joshi dalam kunjungannya ke Redaksi Harian Kompas, Senin siang, mengungkapkan, ada tiga portfolio kementerian penting yang dilihat investor di kabinet Presiden Joko Widodo pada periode keduanya. Investor akan melihat sosok yang dipercaya Presiden Jokowi untuk mengisi tiga kementerian tersebut.
”Investor akan melihat siapa orang yang dipilih Presiden Jokowi untuk duduk di Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Perdagangan. Mungkin investor juga akan melihat siapa menteri BUMN, tapi tiga kementerian tadi yang paling penting,” tutur Bharat.
Bharat mengatakan, periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi sebenarnya sangat mungkin bagi Indonesia untuk bisa menarik investasi asing dalam jumlah besar. Ini mengingat pada periode sebelumnya pemerintah menggenjot besar-besaran pembangunan infrastruktur, sesuatu yang dibutuhkan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Pekerjaan rumah Presiden Jokowi pada periode kedua ini, menurut Bharat, tinggal membereskan daftar negatif investasi. Pemerintah, lanjutnya, perlu merelaksasi beberapa daftar negatif investasi sehingga investor tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
”Sekarang Indonesia tengah bersaing dengan Vietnam, Thailand, dan Filipina. Pemerintah rasanya perlu merelaksasi sejumlah daftar negatif investasi agar Indonesia bisa lebih bersaing,” ujarnya.