Ekspor minyak sawit dan produk turunannya asal Indonesia masih dibutuhkan di India. Akan tetapi, persoalan perbedaan tarif masuk barang antara Malaysia dan Indonesia masih belum tuntas hingga kini.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·3 menit baca
NEW DELHI, KOMPAS — Ekspor minyak sawit dan produk turunannya asal Indonesia masih dibutuhkan di India. Akan tetapi, persoalan perbedaan tarif masuk barang antara Malaysia dan Indonesia masih belum tuntas hingga kini.
Dipanker Gyan, Senior Research Analyst Commodities Agriwatch, Selasa (20/8/2019), mengatakan, Indonesia dan Malaysia masih jadi pemasok terbesar minyak sawit dan produk turunannya ke India. Agriwatch adalah perusahaan India di bidang riset dan konsultan produk pertanian.
Data Kementerian Perdagangan India, pada Januari-Juni 2019, impor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya dari Indonesia 2,13 juta ton. Adapun dari Malaysia 2,14 juta ton.
VP Consulting Agriwatch Santosh Jhanwar menambahkan, India menetapkan tarif masuk CPO dari Indonesia dan Malaysia sejak tahun ini sama, yakni 40 persen. Namun, tarif masuk untuk produk turunan minyak sawit berbeda, yakni 45 persen untuk Malaysia dan 50 persen untuk Indonesia.
”Ini adalah kebijakan Pemerintah India. Mereka sudah memperhitungkan segala aspek, termasuk perlindungan terhadap petani lokal. Kemungkinan besar, tarif masuk tidak bisa turun,” ujarnya saat diwawancara di Kedutaan Besar RI di New Delhi, India.
Petani India memproduksi produk substitusi minyak sawit, antara lain minyak kedelai dan bunga matahari (rapeseed). Sebagian besar minyak sawit Indonesia diolah menjadi minyak goreng.
Menurut Dipanker, kualitas dan kuantitas minyak sawit Indonesia sudah bagus. India juga tidak punya masalah lingkungan terkait minyak sawit sehingga perdagangan minyak sawit diyakini terus berlanjut.
Bagi Indonesia, impor minyak sawit dan produk turunannya ini menempati posisi kedua impor terbesar asal Indonesia setelah batubara.
Kompetitif
Duta Besar RI untuk India, Sidharto Reza Suryodipuro, Sabtu, menyebutkan, pihaknya masih berusaha agar minyak sawit asal Indonesia tetap kompetitif dibandingkan dengan Malaysia.
”Kami masih bernegosiasi agar pihak India mau menurunkan bea masuk minyak sawit Indonesia, setidaknya agar sama bea masuk Malaysia,” katanya.
Terkait isu lingkungan, Sidharto mengatakan, pihak KBRI menjalin kerja sama dengan India untuk menghasilkan teknologi hijau.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, volume ekspor minyak sawit dan turunannya pada Januari-Juni 2019 sebanyak 16,84 juta ton. Jumlah ini naik 10 persen dibandingkan dengan Januari-Juni 2018 yang sebanyak 15,3 juta ton.
Sementara nilai ekspor minyak sawit pada semester I-2019 sekitar 8,3 miliar dollar AS atau 11,2 persen dari nilai ekspor nonmigas semester I-2019.
Seluas 2.800 hektar lahan kebun kelapa sawit dan karet PTPN V di Desa Senama Nenek, Kecamatan Tapung Hulu, Kampar, Riau akan diserahkan kepada warga menyusul keputusan Presiden Joko Widodo pada awal Mei 2019. Pada Jumat (5/7/2019), lahan dimaksud diserahkan pleh PTPN V kepada negara untuk selanjutnya diserahkan kepada warga Senama Nenek. Foto merupakan salah satu lahan PTPN V di Kampar pada Oktober 2018.
Ekspor karet
Di sisi lain, Sidharto menambahkan, Indonesia masih berpeluang meningkatkan ekspor komoditas lain ke India, antara lain berupa produk jadi atau setengah jadi. ”Pasar di sini untuk produk-produk serupa itu masih sangat besar.”
Selain minyak sawit, produk pertanian asal Indonesia yang masuk ke India adalah karet. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan India, impor karet India dari Indonesia pada 2018 senilai 469,52 juta dollar Amerika Serikat atau sekitar 2,92 persen dari total impor tahun 2018.
Sidharto berpendapat, apabila karet bisa diolah menjadi produk, seperti sarung tangan, pasar di India masih terbuka. Produk itu juga bisa memberikan nilai tambah bagi ekspor Indonesia.
CP Ratra, Managing Director perusahaan dagang CPR Enterprises Pvt Ltd, mengakui, kualitas produk karet dari Indonesia tergolong baik. ”Karet dari Indonesia kami kirim ke perusahaan-perusahaan di India, antara lain perusahaan pembuat ban,” katanya, Senin.
Ia mengatakan, perusahaannya mengambil produk Indonesia lewat penghubung di Singapura. Setelah itu, barang baru dikirim ke India.
Terkait hubungan dagang kedua negara, Ratra berpendapat, Indonesia dan India memiliki potensi karena kedua negara ini berpenduduk besar. Ia tengah berusaha menawarkan ekspor beras dan gula mentah dari India ke Indonesia.