Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk penambahan jumlah pimpinan MPR masih terus diupayakan oleh sejumlah fraksi partai politik. Namun, sejumlah fraksi, seperti PDI-P, kokoh menolak penambahan pimpinan tersebut. Pimpinan MPR diusulkan ditambah menjadi 8 hingga 10 pimpinan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk penambahan jumlah pimpinan MPR masih terus diupayakan oleh sejumlah fraksi partai politik. Mereka terus meyakinkan fraksi partai yang tak setuju dengan ide penambahan itu. Salah satunya saat pembahasan tata tertib pemilihan pimpinan MPR 2019-2024.
Seperti diketahui, Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menyebutkan, jumlah pimpinan MPR yang terdiri atas satu ketua dan tujuh wakil ketua hanya berlaku setelah UU No 2/2018 disahkan hingga akhir masa jabatan MPR periode 2014-2019 pada akhir September 2019.
Untuk pimpinan MPR periode selanjutnya, kembali ke komposisi semula sebelum UU No 2/2018 lahir, yaitu satu ketua dan empat wakil ketua.
Namun, belakangan, kembali muncul usulan dari sejumlah fraksi partai politik agar pimpinan MPR pada periode selanjutnya ditambah. Sejumlah fraksi menginginkan jumlah pimpinan tetap berjumlah delapan orang. Tak sedikit pula yang menginginkan jumlahnya menjadi sepuluh orang.
Sekalipun Badan Legislasi DPR sebelumnya menyatakan belum ada rencana merevisi UU MD3 untuk penambahan pimpinan MPR, sejumlah fraksi partai tetap berusaha meyakinkan fraksi yang menolak penambahan untuk menyetujui penambahan. Salah satunya saat rapat Badan Pengkajian MPR yang sejatinya hanya membahas tata tertib pemilihan pimpinan MPR 2019-2024.
Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR dari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Rabu (21/8/2019), tidak menampik hal itu.
Rapat membahas tata tertib digelar di Denpasar, Bali, 19-20 Agustus 2019. Selanjutnya, rapat dilanjutkan oleh tim kecil yang terdiri atas perwakilan seluruh fraksi partai politik dan kelompok anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Surabaya, Jawa Timur, 21-22 Agustus 2019.
Namun, menurut Hendrawan, tidak semua fraksi menyetujui penambahan. Oleh karena itu, rapat hanya menyerap aspirasi fraksi yang menginginkan penambahan. Selanjutnya, aspirasi tersebut akan dibahas lebih lanjut saat rapat gabungan pimpinan MPR dan pimpinan fraksi partai politik dan kelompok DPD. Menurut rencana, rapat digelar pada 28 Agustus 2019.
Revisi UU MD3
Berdasarkan informasi yang diperoleh Kompas, penambahan jumlah pimpinan MPR itu, di antaranya didorong oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
”Saat ini kami sedang mengusulkan (pimpinan MPR terdiri dari) satu ketua dan sembilan wakil. Kami berharap agar itu diterima. Kalau diterima, berarti diubah UU MD3-nya,” kata anggota MPR dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay.
Menurut dia, revisi UU MD3 masih mungkin dilakukan meski masa jabatan DPR 2014-2019 tersisa tak sampai dua bulan lagi. ”Bisa saja karena hanya dua pasal dalam UU MD3 (yang direvisi),” ujar Saleh.
Ketua Fraksi PKS di DPR Jazuli Juwaini berpendapat, MPR sebagai lembaga permusyawaratan yang diisi oleh anggota DPR dan DPD akan lebih baik jika komposisi pimpinannya merepresentasikan semua partai yang lolos ambang batas parlemen plus kelompok DPD.
Pada Pemilu 2019, ada sembilan partai yang lolos ambang batas parlemen. Dengan ditambah kelompok DPD, PKS setuju jika jumlah pimpinan MPR periode selanjutnya berjumlah total sepuluh orang.
Penolakan
Namun, fraksi PDI-P yang akan memiliki jumlah kursi terbanyak di DPR, pada periode 2019-2024 tetap bersikukuh menolak penambahan pimpinan MPR.
Wakil Sekjen PDI-P, yang juga anggota MPR/DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo mengatakan, UU MD3 baru direvisi pada 2018. Karena itu, tidak tepat jika hanya berselang satu tahun, UU MD3 kembali direvisi. Selain itu, revisi UU MD3 juga tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019.
Hal lain, jumlah pimpinan MPR yang hanya lima orang sudah sesuai dengan tujuan UU MD3, yaitu menyederhanakan sistem kepartaian. ”Sistem yang kita bangun ini menuju sistem presidensial yang efektif berbasis multipartai sederhana, refleksinya ada pada komposisi DPR dan MPR,” ujarnya.
Ditambah lagi, PDI-P khawatir revisi UU MD3 akan mengubah pasal lainnya yang berpotensi menimbulkan kegaduhan politik nasional dan jalannya pemerintahan Presiden-Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, lima tahun ke depan.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, yang juga anggota DPR/MPR dari Fraksi Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, juga menilai belum ada urgensi untuk merevisi UU MD3. Apalagi jumlah pimpinan MPR lebih dari delapan orang, dilihatnya terlalu banyak. ”Rasanya terlalu mahal jika hanya untuk menunjukkan kesan kebersamaan dalam wadah MPR,” tambahnya.
Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo menegaskan tak ada rencana untuk revisi UU MD3. ”Saya tetap berpegang kepada posisi sebagai Ketua DPR yang telah menyelesaikan UU MD3. Saya tidak mau terlibat lagi dalam perubahan UU MD3,” ujarnya.