Atan Bintang dan Bonita adalah harimau yang dilepasliarkan. Keduanya korban konflik dengan manusia. Wartawan ”Kompas”, Insan Alfajri, turut menyaksikan proses pelepasliaran kedua harimau sumatera itu dengan segala suka dukanya. Aum... aum... aum....
Oleh
INSAN ALFAJARI
·4 menit baca
Ketika ditugaskan meliput pelepasliaran harimau, yang saya bayangkan adalah wartawan diajak masuk ke hutan lebat lalu memanjat pohon tinggi. Pintu kandang harimau diangkat.
Aum... aum... aum.... Harimau lantas keluar kandang dan berlari menuju rimba. Kami lalu pulang dengan riang gembira karena telah menjadi saksi ikhtiar perbaikan ekosistem.
Harapan itu satu hal. Fakta adalah hal lain. Prosesi pelepasliaran harimau yang saya kira bakal digelar di tengah hutan ternyata dilakukan di tengah kebun sawit milik PT Tidar Kerinci Agung, Senin (29/7/2019). Di sana terdapat Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PR-HSD), Sumatera Barat.
Panitia memboyong lebih dari 20 wartawan dari Jakarta. Kami menginap di Muaro Bungo, Jambi. Dari lokasi penginapan ke PR-HSD berjarak 4 jam perjalanan. Di sepanjang jalan, pemandangan penuh hamparan sawit.
Bahkan ada sawit ”senior” yang sudah setara tingginya dengan pohon kerambil. Jalanan berlubang di musim kemarau menghasilkan debu yang masuk ke dalam mobil meskipun kacanya tertutup rapat.
Perjalanan darat dengan roda empat paling mengkhawatirkan buat saya. Maklum, tidak terbiasa naik mobil. Awal Mei dulu, ketika saya mengikuti rombongan Menkominfo Rudiantara ke NTT, jalan berkelok-kelok di Ende membuat perut terasa tidak keruan.
”Berhenti dulu, Pak,” kata saya kepada sopir karena saya tidak mampu menahan perut yang bergolak.
Untungnya, dalam perjalanan kali ini ke Dharmasraya, saya cuma merasa mual. Duduk di samping sopir ternyata memberi keuntungan. Saya jadi bisa sering bisik-bisik. ”Pelan-pelan, ya, Pak. Saya mabukan.” ”Siap,” katanya.
Beruntung saat itu yang ditumpangi adalah minibus yang goncangannya lebih halus ketimbang mobil penumpang. Ditambah minum pil antimabuk dan mengantongi minyak angin, selamatlah saya dari deraan mabuk daratan.
Tiba di lokasi, terlihat dua tenda lengkap dengan susunan kursi dan mimbar pidato untuk seremoni acara. Dari tempat ini, Atan Bintang dan Bonita, kedua harimau yang akan dilepasliarkan, dibawa ke sebuah lokasi rahasia di hutan Riau yang berjarak sekitar 7 jam perjalanan darat. Dirahasiakan, katanya, agar aman dari penciuman pemburu liar.
Mengapa di hutan Riau? Sebab, keduanya berasal dari situ. Namun, kemudian, keduanya berkonflik. Bonita bahkan diduga pernah menewaskan dua warga Indragiri Hilir, Riau, sehingga keduanya kemudian ditangkap. Rusaknya habitat harimau menyebabkan sumber makanan mereka berkurang yang mendorong mereka mendekati wilayah permukiman penduduk.
Sebelum dilepasliarkan, harimau dibius dulu. Wartawan diberi waktu 2 menit untuk melihat pembiusan harimau. Berbekal kamera mirrorless yang saya beli sehari sebelumnya, Atan Bintang pun menjadi ”bintang” di kamera saya. Ada puluhan jepretan Atan Bintang yang tersimpan.
Namun, ketika saya cek hasil jepretan itu. Di layar kamera tertera card error. Celaka, tidak ada satupun foto yang selamat.
Dengan wajah setengah malu, saya perlihatkan kamera itu kepada salah satu wartawan foto. ”Wah, memorinya rusak. Gue tawar sejuta, ya? Ha-ha-ha,” kata rekan wartawan itu tanpa sungkan.
Perjalanan pun berakhir di sini. Kami tidak bisa ikut mengantar sampai ke dalam hutan yang disebutkan berjarak 7 jam perjalanan itu.
”Kalau rehabilitasi manusia, dari liar menjadi jinak. Kalau rehabilitasi harimau, dari jinak menjadi liar,” kata pembawa acara.
Melihat kedua harimau itu, terkenanglah saya pada pemberitaan media berbahasa asing tentang kelakuan orang super kaya di Teluk Persia. Di sana, rupanya tumbuh tren unik di kalangan elite mudanya.
Demi prestise dan atas nama tradisi leluhur, mereka memelihara berbagai hewan liar yang kemudian dipamerkan di akun Instagram.
Di sini, terutama di pedalaman Sumatera, terdapat kepercayaan bahwa hewan liar, terutama harimau, punya demarkasi dengan manusia. Kalau sampai terjadi konflik, berarti ada yang melanggar demarkasi itu. Entah itu manusia yang ingin mendapat manfaat ekonomi dari berburu hewan liar atau harimau yang merangsek ke permukiman karena habitatnya terusik.
Oleh orang super kaya di Teluk Persia, demarkasi itu dibabat. Insting liar si ”kucing besar” dibunuh. Sikapnya dibentuk menjadi hewan patuh. Inilah dasar argumen rehabilitasi, yakni agar insting hewani mereka kembali tumbuh supaya mereka tidak mati kelaparan karena lupa cara memburu mangsa.
Dalam kasus di Sumatera, rehabilitasi juga menyasar hubungan antara harimau dan manusia. ”Inyiak”, panggilan khas harimau di Sumatera Barat, harus diterapi agar tidak melihat manusia sebagai seonggok makanan.
Diharapkan, manusia pun begitu, kembali pada naluri welas asih kemanusiaannya dengan tidak lagi membalak hutan atau memburu harimau untuk diperdagangkan.