Tumpahan minyak akibat kebocoran pada anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java menyebabkan ratusan ribu pohon mangrove atau bakau di sepanjang pesisir utara tercemar. Sejumlah penanganan diupayakan untuk menyelamatkan tanaman bakau.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
KARAWANG, KOMPAS — Tumpahan minyak akibat kebocoran pada anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java menyebabkan ratusan ribu pohon mangrove atau bakau di sepanjang pesisir utara tercemar. Sejumlah penanganan diupayakan untuk menyelamatkan tanaman bakau.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Karawang Wawan Setiawan, Sabtu (24/8/2019), mengatakan, sepanjang 2014-2019, sebanyak 935.000 pohon mangrove ditanam di sepanjang pesisir utara Karawang. Penanaman dilakukan pemerintah daerah dan beberapa korporasi melalui kegiatan tanggung jawab sosial.
”Adapun yang tercemar (tumpahan minyak) ada 232.000 pohon bakau. Meski demikian, belum ada pohon yang mati,” kata Wawan.
Berdasarkan data Dinas Perikanan Kabupaten Karawang, terdapat 10 desa yang terindikasi terdampak tumpahan minyak, yakni Cemarajaya, Sedari, Sukajaya, Sukakerta, Muara, Tanjungpakis, Tambaksari, Muara Baru, Pusakajaya Utara, dan Sumberjaya. Luasan total lahan terdampak sekitar 13.503 hektar.
Terkait penanganan bakau yang tercemar minyak, Wawan mengungkapkan, terdapat sejumlah cara, antara lain jika kondisi bakau masih di air, cemaran akan disedot menggunakan alat khusus. Kemudian, tumpahan limbah yang melekat di bakau akan dibersihkan secara manual dengan mengumpulkan ceceran demi ceceran. Tanaman bakau yang mati nantinya akan diganti dengan tanaman baru.
Wawan tidak tahu pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pembersihan lingkungan pesisir. Upaya maksimal akan terus dilakukan untuk mencegah dampak meluas. ”Kami masih menunggu dulu penyelesaian penutupan sumber pencemarannya,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki Paendong menyebutkan, tumpahan minyak di perairan laut dan pantai Karawang mengancam sumber-sumber kehidupan dan keberlanjutan alam. Untuk itu, dia mendesak Pertamina menuntaskan pemulihan ekosistem laut, pantai, dan mangrove yang terdampak tumpahan minyak.
Menurut Muhammad Reza Cordova, peneliti pencemaran laut dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, laut yang tercemar limbah tumpahan minyak dapat berpengaruh terhadap kehidupan ikan dan ekosistem di dalamnya. Pada saat terpapar tumpahan minyak, ikan bisa langsung pergi menjauhi kawasan yang tercemar tersebut. Namun, minyak yang tercampur di air akan membuat ikan terpapar secara tidak langsung.
Laut yang tercemar limbah tumpahan minyak dapat berpengaruh terhadap kehidupan ikan dan ekosistem di dalamnya.
Minyak juga memberikan dampak buruk pada terumbu karang, lamun (tumbuhan yang hidup di laut dangkal), dan mangrove. ”Minyak yang menutupi permukaan individu karang, lamun, dan mangrove akan menyebabkan stres dan ekosistem laut terganggu. Jika ekosistem laut terganggu, otomatis ikan akan pergi atau mati,” kata Reza.
Agar ekosistem ini kembali pulih, Reza menyarankan, laut harus bersih dulu dari minyak karena menghalangi difusi oksigen dari udara ke air atau sedimen yang terdampak pencemaran. ”Harus dibersihkan total agar tidak terendap dan akhirnya bisa terakumulasi di biota,” ujarnya.
Sementara itu, PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java mengatakan terus berkomitmen melestarikan lingkungan pesisir dengan melibatkan seluruh pekerja dan masyarakat desa. Salah satunya melalui program Orang Tua Asuh Pohon (OTAP) yang digagas sejak 2013 di bantaran Sungai Sedari dan Dusun Karang Sari dengan penanaman tahap awal sekitar 10.000 bibit mangrove.
Vice President Relations Pertamina Hulu Energi Ifki Sukarya dalam keterangan tertulisnya menyebutkan, saat ini program OTAP sudah dilakukan di lima desa, yaitu Sedari, Ciparage, Pasir Putih, Pusaka Jaya Utara, dan Cilamaya. Tercatat jumlah mangrove di kelima desa tersebut mencapai 195.000 pohon dengan luasan konservasi 195 hektar. Upaya konservasi ini melibatkan ratusan pekerja.
Ifki menambahkan, mangrove dipilih karena merupakan salah satu komponen ekosistem pesisir yang memegang peranan penting dalam memelihara produktivitas perairan pesisir dan menunjang kehidupan penduduk sekitar.
Secara ekologi dan fisik, keberadaan hutan mangrove berfungsi sebagai daerah asuhan berbagai larva biota perairan, seperti ikan, udang, dan biota lain, serta sumber produktivitas perairan.
Mangrove menjadi jalur hijau di sepanjang pantai atau muara sungai yang dapat mempertahankan kualitas ekosistem pertanian, perikanan, dan permukiman di belakangnya dari gangguan abrasi, angin, dan intrusi air laut.