Lomba balap sepeda jalan raya di Indonesia bisa memberikan dua manfaat sekaligus terhadap perkembangan atlet dan daerah yang dilibatkan. Namun, masih banyak hal yang perlu diperbaiki.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·6 menit baca
Adalah Tour de Java, yang digelar tahun 1958, yang menjadi embrio lomba balap sepeda jalan raya di Tanah Air. Sebanyak 70 pebalap waktu itu menempuh 1.262 kilometer dari Bandung ke Surabaya, pergi dan pulang, selama 12 hari. Pebalap asal Jawa Barat Munaip Saleh mencatat sejarah sebagai pemenang lomba yang digelar untuk menyambut Kemerdekaan RI itu.
Seiring waktu, lomba balap sepeda di Indonesia mengalami pasang surut. Setelah berganti nama menjadi Tour de ISSI (Ikatan Sport Sepeda Indonesia) pada 1968, Tour de Java sempat hidup lagi pada 1983. Akhirnya lahir nama baru, Tour de Indonesia pada tahun 1991.
Namun, ajang tersebut tidak berlangung lama dan berganti lagi menjadi Tour de ISSI. Hingga menjadi Tour d’Indonesia pada tahun 2004 dan untuk pertama kalinya diakui UCI (Persatuan Balap Sepeda Internasional).
Setelah berlangsung rutin setiap tahun, masalah pun muncul. TdI tidak digelar pada tahun 2007 karena tidak ada sponsor. Lalu vakum lagi mulai 2012 hingga 2017 karena masalah internal PB ISSI. Para atlet pun menyayangkan hal ini karena mereka membutuhkan kompetisi sebanyak mungkin.
Tonggak baru sejarah balap sepeda jalan raya akhirnya tertancap ketika PB ISSI kembali menggulirkan TdI pada 2018. Lomba ini untuk pertama kalinya mendapat level 2.1 UCI. Artinya, TdI sejak 2018 merupakan lomba dengan level tertinggi di Indonesia. Ajang lain di Indonesia yang diakui UCI seperti Tour de Singkarak, Tour de Ijen Banyuwangi, Tour de Flores, atau Tour de Siak mendapat level 2.2 UCI.
Dengan menyandang level 2.1, TdI semakin bergengsi dan menawarkan persaingan lebih ketat. Lomba pada level ini diikuti lebih banyak tim pro continental, sedangkan klub sepeda biasa tidak bisa ikut. Jika pebalap tuan rumah ingin mencari prestasi atau mengukur kemampuan terbaik, TdI adalah wadahnya.
Oleh karena itu, kepastian lomba ini kembali digelar dengan tajuk Bank BRI TdI 2019 pada 19-23 Agustus menjadi kabar gembira. Sebanyak 18 im yang terdiri atas 90 pebalap dari 22 negara ikut serta. Termasuk da tiga tim peringkat lima besar UCI Asia Tour, yakni Team Sapura Cycling, Terengganu Inc TSG Cycling Team, dan HKSI Pro Cycling Team. Lalu ada ProTouch Continental Pro Cycling, tim terkuat di Afrika.
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto pun memberikan apresiasi tinggi karena sangat memahami besarnya tantangan menggelar lomba balap multitahapan ini. ”Lomba seperti TdI hanya bisa dilakukan oleh orang-orang gila,” katanya saat peluncuran lomba tersebut, Selasa (6/8/2019).
Kesadaran daerah
Tantangan terbesar adalah masalah logistik dan penyiapan rute, karena TdI 2019 terbagi atas lima etape dengan total jarak tempuh 825,2 km dari Magelang ke Bali. Kelima etape itu adalah Magelang-Ngawi, Madiun-Batu, Batu-Jember, Jember-Banyuwangi, dan Gilimanuk-Bangli. Keberhasilan lomba pun ditentukan kesadaran daerah yang dilewati.
Hal ini wajar karena panitia harus bisa mensterilkan jalan yang akan dilalui peserta dan rombongan ke semua titik etape. Panitia harus bisa memastikan jalan raya tertutup bagi umum beberapa menit sebelum hingga sesudah peserta melintas dengan kecepatan yang bisa mencapai lebih dari 45 km per jam. Warga di daerah yang dilalui harus rela terjebak macet dan aktivitasnya terganggu.
Koordinasi matang dengan kepolisian setempat menjadi syarat mutlak. Jika jalan aman dilalui, panitia bisa memboyong bus, truk perlengkapan, dan kendaraan media atau tamu penting dengan mudah.
Masalah logistik ini, kata Ketua PB ISSI Raja Sapta Oktohari, sangat menguras biaya dari total anggaran senilai Rp 15 miliar. Adapun biaya TdI 2018 yang terbagi empat etape membutuhkan biaya hingga Rp 12 miliar. Sponsor menjadi jantung dari lomba ini.
”Kami sudah ada sponsor potensial. Namun, kami masih harus meyakinkan mereka bahwa lomba ini bisa terus berjalan,” kata Okto. Kevakuman pada 2012-2017 membuat sponsor masih ragu membuat kerja sama jangka panjang. PB ISSI maupun pihak sponsor saat ini masih mengevaluasi TdI 2019.
Keamanan
Kurangnya keamanan menjadi salah satu masalah TdI 2019. Ketika jalan steril dan pebalap hendak melintas, masih ada beberapa kejadian saat warga dengan mudah menyeberang. Di garis finis, masih ada pula warga yang bandel melintasi garis pengaman untuk melihat pebalap yang sedang melakukan sprint terakhir.
Karakter jalanan di Indonesia juga banyak persimpangan membuat panitia dan polisi harus memastikan tidak ada kendaraan lain yang tiba-tiba nyelonong masuk. Pada etape terakhir, tampak beberapa kendaraan masuk ke dalam rombongan mobil peserta. Bahkan, Benjamin Dyball (Team Sapura Cycling), juara etape itu, harus waspada karena ada mobil yang melaju di depannya saat mendekati garis finis.
Keamanan pebalap juga terancam di Lereng Gunung Ijen, Banyuwangi. Di tempat itu terdapat tanjakan maut yang dinamai Tanjakan Erek-Erek, sekitar 7 km dari finis. Ketika para pebalap kesusahan mendaki, warga setempat lantas mendekat dan mendorong pebalap.
Tidak hanya itu, setelah mendorong, warga juga mengambil bidon atau botol air yang menjadi bekal vital para pebalap. Bidon itu menjadi incaran karena harganya mahal.
”Seharusnya orang itu bisa dihukum polisi. Baru di sini kami mengalami hal seperti ini,” ujar Pelatih tim KSPO Bianchi, Kang San-beul.
Bagi atlet tuan rumah, ancaman datang dari kondisi jalan yang buruk. Pebalap senior timnas Indonesia Projo Waseso terjatuh karena menabrak lubang jalan dan tangannya cedera pada etape ketiga. Projo pun tidak bisa mengikuti dua etape terakhir. ”Saya kecewa sekali karena mengincar poin di etape ketiga ini,” ujarnya.
Derita Projo berlanjut karena tidak ada atlet Indonesia lain di atas podium pada setiap etape. Hanya Aiman Cahyadi (PGN Road Cycling Team) yang mampu merebut peringkat kedua pebalap Asia terbaik.
”Dengan lomba ini, kami jadi tahu kualitas atlet Indonesia masih di bawah para juara. Namun, lawan-lawan yang kuat ini membantu atlet mempersiapkan diri menghadapi SEA Games 2019,” kata pelatih tim nasional balap sepeda Dadang Haries Purnomo.
Meski ajang balap sepeda jalan raya sudah ada di Indonesia sejak 61 tahun lalu, berbagai kekurangan yang ada menjadi pengingat, sebenarnya perkembangan ajang ini masih berada pada tahap awal. Banyak hal perlu dikerjakan untuk mewujudkan mimpi PB ISSI menaikkan kelas lomba ini menjadi 2.0 HC, setara dengan Tour de Langkawi di Malaysia.
Hal ini tidak mustahil karena UCI sudah mendukung. ”Kami ingin memperluas tur di Asia. Indonesia sebenarnya menjadi target penting,” kata Direktur Pusat Sepeda Dunia (WCC) UCI Frederic Magne yang melihat langsung TdI 2019.
Dengan nama TdI, PB ISSI juga punya kesempatan mengeksplorasi daerah lainnya agar lomba ini lebih berwarna. Lagipula, daerah yang dilintasi secara tidak langsung ikut terpromosikan dan dan kepala daerah tidak perlu ragu lagi untuk terlibat.