Komisi Kejaksaan harusnya proaktif supaya korupsi tidak terjadi terus. Program TP4 itu tujuannya bagus, tetapi memang perlu pengawasan ketat dari Komisi Kejaksaan karena ini dapat menjadi ajang yang bisa disalahgunakan.
Oleh
Sharon Patricia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dari unsur Kejaksaan Agung, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Johanis Tanak dan pensiunan jaksa M Jasman Panjaitan, mengakui masih ada kelemahan dari Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan atau TP4, baik pusat maupun daerah. Batasan kerja dan pengetatan pengawasan dinilai penting untuk mencegah program TP4 menjadi lahan baru bagi korupsi Kejaksaan.
Anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK), Hendardi, menyampaikan, ada anggapan bahwa peran jaksa melalui TP4 menjadi area baru bagi jaksa untuk korupsi. Anggapan ini terbukti dari dua jaksa yang telah ditetapkan tersangka oleh KPK.
”Apa pendapat Anda? Kemudian ketika terpilih apakah akan menjadikan kinerja TP4 sebagai prioritas utama untuk memastikan kejaksaan bebas dari korupsi,” kata Hendardi dalam uji publik dan wawancara kepada Johanis Tanak, Rabu (28/8/2019), di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat.
Uji publik dan wawancara merupakan tahap akhir dari proses seleksi capim KPK yang akan berlangsung hingga Kamis (28/9/2019). Selain Johanis, ada enam kandidat lain yang diuji hari ini.
Keenam kandidat lainnya adalah advokat Lili Pintauli Siregar, Luthfi Jayadi Kurniawan (dosen), M Jasman Panjaitan (pensiunan jaksa), Nawawi Pomolango (hakim); Neneng Euis Fatimah (dosen); Nurul Ghufron (dosen); dan Johanis Tanak (jaksa).
Johanis menyampaikan bahwa pada dasarnya program TP4 adalah baik untuk mengawal agar anggaran pemerintah dapat terimplementasi dan digunakan secara optimal untuk membangun proyek-proyek di daerah. Namun, memang pada praktiknya masih ditemukan jaksa yang tidak memiliki integritas.
”Mungkin saja jaksanya tidak punya integritas kepribadian yang baik sehingga terjadi penangkapan yang dilakukan terhadap para jaksa. Kasus ini tidak bisa digeneralisasi (bahwa semua jaksa melakukan korupsi),” ujarnya.
Sebelumnya, pada 20 Agustus 2019, KPK menetapkan dua jaksa sebagai tersangka penerima suap terkait lelang proyek pada Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta Tahun Anggaran 2019. Proyek yang dimaksud adalah lelang pekerjaan rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo, Yogyakarta, dengan pagu anggaran sebesar Rp 10,89 miliar.
Kedua jaksa yang ditetapkan sebagai adalah Eka Safitra, dari Kejaksaan Negeri Yogyakarta sekaligus anggota TP4D, dan Satriawan Sulaksono dari Kejaksaan Negeri Solo, Jawa Tengah. Eka menerima suap dari Direktur Utama PT Manira Arta Mandiri (Mataram) Gabriella Yuan Ana. Perusahaan yang akan menjadi salah satu peserta lelang proyek di Dinas PUPKP Kota Yogyakarta 2019.
Eka telah menerima 3 persen dari 5 persen komitmen komisi yang disepakati, yaitu Rp 221,74 juta. Sementara jumlah suap yang diterima Satriawan, yang mengenalkan Eka kepada Gabriella, masih didalami penyidik KPK.
Menempel pada proyek
Johanis menyampaikan bahwa pimpinan Kejaksaan Agung hanya bisa mengingatkan pentingnya integritas kepribadian. Misalnya, jangan melakukan apa pun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Karena itu, perlu pimpinan yang melakukan perubahan koordinasi agar batasan kerja dari para pejabat TP4 menjadi jelas. Artinya, pejabat TP4 akan melakukan pendampingan, bukan ”menempel” dalam setiap proses yang ada.
”Tugas dari TP4 bagaimana memberikan pandangan hukum apakah disikapi secara tegas atau koreksi agar proses dalam proyek pembangunan sesuai dengan aturan. Jadi, jaksa itu tidak begitu menempel yang kemudian dekat dengan kontraktor dan sebagainya,” ujar Johanis.
Selain itu, M Jasman Panjaitan menyampaikan, memang benar bahwa korupsi di daerah masih banyak terjadi, khususnya dalam pelaksanaan berbagai proyek pemerintah. Untuk itu, koordinasi, terutama aparat pengawasan, perlu dimaksimalkan.
Jasman menyampaikan bahwa Komisi Kejaksaan seharusnya proaktif supaya korupsi tidak terjadi terus. Program TP4 itu tujuannya bagus, tetapi memang perlu pengawasan ketat dari Komisi Kejaksaan karena ini dapat menjadi ajang yang bisa disalahgunakan.
”KPK juga harusnya berperan (dalam pengawasan) kalau kita mau membuat bangsa ini antikorupsi. Intelijen KPK perlu ditingkatkan untuk melakukan penyelidikan kalau ada potensi korupsi maka bisa dicegah,” ujar Jasman.
Namun, memang perlu adanya perbaikan kinerja dari KPK untuk dapat melakukan supervisi pada Kejaksaan Agung agar betul-betul terjadi soliditas dan sinkronisasi. Menurut Jasman, selama ini masih ada ego sektoral sehingga terlihat jalan sendiri-sendiri.
”KPK merasa kami hebat. Kejaksaan merasa sebagai nenek moyang. Ini harus dibuang ego sektoralnya, jangan ada yang merasa lebih hebat. Membuang ego sectoral itu berarti harus berwawasan keilmuan dan religius. Selalu minta bimbingan Tuhan,” ujarnya.
Operasi tangkap tangan
Terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang biasa dilakukan KPK, Johanis menyampaikan selama ini ada kekeliruan dalam penerapannya. Sebab, operasi dan tangkap tangan adalah dua hal yang bertentangan.
”Operasi itu kegiatan terencana. Sementara menurut ilmu hukum, tangkap tangan itu suatu peristiwa pidana yang terjadi yang seketika itu juga pelaku tindak pidananya ditangkap. Jadi, tidak ada rencana untuk ditangkap. Kalau direncanakan itu bukan lagi tangkap tangan,” kata Johanis.
Menurut dia, jika operasi dengan penyadapan dan kemudian mengetahui bahwa orang itu akan melakukan penyuapan, akan lebih baik kalau yang bersangkutan dipanggil untuk membuat surat pernyataan. Langkah ini juga untuk mencegah agar uang negara tidak banyak keluar untuk membiayai proses pemeriksaan.
”Saya akan memberi masukan ini kepada pimpinan lain bahwa (OTT) tidak sesuai teori hukum. Dengan begitu, uang negara bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat,” tuturnya.
Begitupun yang disampaikan oleh Jasman bahwa selama ini KPK hanya menonjolkan OTT tanpa melihat adanya kelemahan bahwa nilai pengembalian negara dari hasil OTT tidak sebesar tindakan korupsi yang dilakukan.
”Jangan hanya mengandalkan OTT yang ’ngintip-ngintip’. Penegakan hukum itu bukan ’ngintip’, harus ada perbuatan lebih nyata untuk mengumpulkan alat bukti,” kata Jasman.