Pulang Kampung ke Ubud
Ubud seperti negeri dongeng. Kisah-kisah manusia dari sejumlah bangsa yang hilir mudik menjadi drama yang tak berkesudahan. Di Ubud, manusia-manusia yang mengalami kekeringan batiniah seolah mendapatkan gairah hidup baru.
Dongeng tentang Ubud seperti tak habis dikisahkan. Bukan hanya cerita tentang raja-raja dan para permaisurinya yang cantik jelita, melainkan juga tentang sebuah desa ”tradisional” dengan para penghuninya yang berasal dari sejumlah bangsa.
Penyanyi jazz Dira Sugandi, begitu memasuki atmosfer Ubud, merasa pulang kampung. Penulis kebudayaan asal Perancis, Jean Couteau, setiap kali datang ke Ubud, merasa malas beranjak kembali ke Denpasar.
Perhelatan Ubud Village Jazz Festival (UVJF), 16-17 Agustus 2019, di ARMA Museum of Art Ubud, dipenuhi kaum ekspatriat yang bermukim di sekitar Ubud dan sekitarnya. Bukan itu saja, para penampilnya, seperti Aaron Goldberg dan Leon Parker, dua musisi asal New York, Amerika Serikat, memang berkelas dunia. Kedua nama ini dikenal luas dalam berbagai forum jazz internasional.
”Di Ubud, mereka sama dengan ekspat lain, berbaur dengan warga, tidur di vila sederhana,” kata Co-Founder UVJF Anom Darsana di sela-sela keriuhan penonton.
UVJF barangkali cuma satu dari sederet peristiwa yang menjadikan Ubud selalu memancarkan aura perdesaan yang lorong-lorongnya gelap, pepohonan yang rindang, dan padi-padi hidup bahagia di hamparan persawahan.
Masih ada peristiwa lainnya, seperti Ubud Writers dan Readers Festival (UWRF), yang sudah dihelat selama 16 tahun. Jangan dilupakan pula Bali Spirit Festival (BSF) yang digelar sejak lebih dari 10 tahun lalu. Tentu saja yang paling anyar, Ubud Food Festival yang menghamparkan kekayaan kuliner Nusantara.
Mengapa Ubud selalu menjadi magnet?
Jean Couteau mencoba menganalisis ini dengan berbalik melihat fenomena merebaknya New Age di dunia Barat. ”Orang ke Ubud seolah mendapatkan kesembuhan spiritual,” katanya.
Jika itu pangkal soalnya, bisa dimengerti mengapa penulis sekaliber Elizabeth Gilbert sampai perlu menulis buku Eat Pray Love setelah kunjungannya ke Ubud. Buku yang terbit tahun 2006 ini bahkan menjadi best seller dan difilmkan dengan bintang tak kalah populer: Julia Roberts.
Liz, demikian tokoh dalam film itu, setelah mengalami perceraian menyakitkan di Amerika, berkelana ke Italia, India, dan Bali. Jika di Italia ia mendapatkan keragaman kuliner, di India memperoleh aura spiritualisme, maka di Ubud, ia mendapatkan kembali cintanya.
Orang ke Ubud seolah mendapatkan kesembuhan spiritual.
Bukan hanya soal cintanya yang kembali, Liz juga bertemu balian (dukun) sakti bernama Ketut Liyer. Pada dukun tradisional inilah ia belajar mengenai berbagai pandangan hidup, terutama dalam menjalin relasi antarmanusia. Liyer tentu saja hanya satu dari banyak ”dukun” yang kini menggejala di Ubud.
Banyak resor dibangun khusus untuk menampung gelegak spiritualisme dari para wisatawan yang tak mungkin didapat di negara asalnya. Itulah mengapa Bali Spirit Festival selalu disambut dengan penuh gairah oleh masyarakat wisatawan di Ubud.
Di Ubud, manusia-manusia yang mengalami kekeringan batiniah, seperti Liz, seolah mendapatkan gairah hidup baru. Ketika kembali ke negaranya, mereka seperti manusia yang lahir kembali dan siap menjalani rutinitas yang kian menantang dengan perasaan bahagia.
Ubud memang seperti negeri dongeng. Kisah-kisah manusia dari sejumlah bangsa yang hilir mudik menjadi drama yang tak berkesudahan. Narasi tentang sepotong surga di timur laut Kota Denpasar itu telah dibangun sejak awal 1930-an. Waktu itu secara berurutan hadir duo Eropa: Rudolf Bonnet (Belanda) dan Walter Spies (Jerman).
Keduanya bertemu di Ubud dan mengajak Tjokorda Gede Agung Sukawati, Raja Ubud, membentuk perkumpulan pelukis bernama Pita Maha. Pada saat berbarengan, Walter Spies mengajak I Wayan Limbak untuk menggubah tari Sanghyang yang sakral menjadi koreografi baru bernama tari Cak, belakangan sering disebut tari kecak.
Narasi tentang sepotong surga di timur laut Kota Denpasar itu telah dibangun sejak awal tahun 1930-an.
Pita Maha dengan tokoh-tokoh sentralnya, seperti I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, I Gusti Ketut Kobot, dan I Dewa Putu Bedil, melahirkan dua mazhab penting dalam perkembangan seni rupa di Bali.
Pertama, Gaya Ubud dengan corak lukisan flora fauna dan kemudian Gaya Batuan dengan komposisi bidang yang rapat dan menggarap tema-tema kontemporer. Dua gaya lukisan ini sekarang dengan sangat mudah kita temukan di art shop atau pasar seni.
Dalam dunia seni pertunjukan, Spies dan Limbak melahirkan tari kecak yang diwarisi oleh masyarakat Bali sekarang ini. Bahkan, banyak yang tidak tahu kalau tari kecak hasil koreografi seniman Barat bernama Tuan Sepis, begitu Walter Spies dipanggil oleh orang-orang Bali.
Kelahiran seni rupa dan seni pertunjukan di Ubud berpadu dengan keuletan Raja Ubud menggarap dunia industri pariwisata. Tjokorda Gede Agung Sukawati, misalnya, menampung Rudolf Bonnet di tanah milik keluarga puri (keraton). Pada saat itu, Puri Ubud sudah mulai menggelar berbagai jenis tarian tradisional untuk para wisatawan.
Baca juga: Museum Waktu yang Meleleh
Bonnet dan Spies ibarat dua agen turis Eropa dengan tujuan berwisata ke Ubud. Bonnet tak henti-henti menawarkan karya-karya para pelukis Pita Maha kepada para kolektor Barat. Sementara Spies menggelar pertunjukan tari kecak kepada para sahabat Eropa-nya.
Secara perlahan, cara hidup masyarakat Ubud di perdesaan yang dipresentasikan lewat karya seni (lukisan, patung, dan seni pertunjukan) serta berbagai jenis upacara keagamaan menjadi magnet yang kuat untuk menarik migrasi para seniman. Pada awal 1970-an, pelukis old master Srihadi Soedarsono membangun studio di Ubud.
Sebelumnya dan kemudian secara bersamaan dengan itu muncul pelukis-pelukis Barat, seperti Miguel Covarrubias, Arie Smit, Antonio Blanco, dan Willem Gerard Hofker. Mereka sebagian besar pernah mencecap aura perdesaan Ubud. Bahkan, Blanco dan Arie Smit menetap di Ubud pada masa tuanya. Secara dramatis pula, Bonnet yang meninggal dalam perjalanan menuju Belanda, minta agar abu jasadnya dikembalikan ke Ubud.
Jika kemudian perhelatan seperti UWRF, UVJF, dan BSF menjadi warna paling kontemporer yang selalu disambut secara gegap gempita oleh publik, sudah pada tempatnya, dongeng tentang keindahan dan keramahan Ubud, telah dikonstruksi selama berpuluh-puluh tahun. Orang-orang penting seperti Dira Sugandi, Elizabeth Gilbert, Jean Couteau, (mungkin) juga aktris sekelas Julia Roberts, telah menjadi agen-agen kontemporer yang memperkaya narasi besar tentang Ubud.
Baca juga: Perlawanan Pramoedya Ananta Toer
Sangat bisa dipahami jika sebagian penulis muda, di Jakarta dan beberapa kota lain, sangat ingin menjadi sukarelawan untuk perhelatan-perhelatan kebudayaan di Ubud. Narasi besar yang diciptakan oleh Bonnet, Spies, dan Tjok Sukawati telah tumbuh menjadi semacam dongeng kontemporer. ”Kalau belum pergi ke UWRF, Anda belum mencicipi aura desa yang bergerak mengglobal,” kata kurator UWRF I Wayan Juniarta.
Anehnya, siapa pun yang pernah menginjakkan kaki ke Ubud selalu merasa seperti datang ke rumah sendiri. Oleh sebab itu, diam-diam kita selalu berharap suatu saat akan pulang kampung ke Ubud….