Pengungsi: Tanggung Jawab Siapa?
Seseorang menjadi mengungsi karena situasi. Akan tetapi, status sebagai pengungsi masih harus diperjuangkan agar diakui.
Pengungsi merupakan sebutan kepada seseorang karena situasi mereka. Akan tetapi, pengungsi juga merupakan status yang harus diperjuangkan. Pada praktiknya, agar diakui sebagai pengungsi, mereka harus mengajukan permohonan terlebih dahulu.
Mereka yang telantar dan mencari perlindungan (refuge) ini harus memenuhi definisi yang ditetapkan oleh PBB dan disetujui oleh UNHCR atau oleh negara-negara yang telah meratifikasinya.
Sebegitu pentingnya mendapatkan status pengungsi, apa yang sebenarnya ingin dijamin dengan status tersebut? Siapa yang bertanggung jawab mengurusi pengungsi?
Konvensi 1951
Pengungsi didefinisikan sebagai orang yang karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial dan partai politik, berada di luar negaranya dan menginginkan perlindungan dari negara tersebut.
Definisi tentang pengungsi tersebut tertuang dalam hasil Konvensi tentang Status Pengungsi yang diselenggarakan di Geneva, Swiss, pada 1951. Hingga 2015, terdapat 145 negara yang telah menandatangani persetujuan tentang status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951.
Mengikuti definisi status pengungsi, muncul juga istilah pencari suaka. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut mereka yang ingin dan sedang mengajukan permohonan untuk mendapatkan status sebagai pengungsi.
Dari definisi tentang pengungsi, dapat dilihat juga mereka yang bukan pengungsi. Pengungsi dan bukan pengungsi dibedakan terutama oleh alasannya. Perbedaan alasan tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menegaskan istilah atau membuat penggolongan bagi mereka yang masuk dalam arus besar migrasi.
Mereka yang melakukan migrasi untuk bekerja sementara di negara lain disebut pekerja migran. Mereka yang melakukan perpindahan negara secara permanen untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik disebut imigran. Mereka ini juga sering disebut pengungsi ekonomi.
Baca juga: DKI Surati UNHCR dan Pemerintah Pusat
Pengungsi ekonomi dibedakan dengan pengungsi yang didefinisikan oleh Konvensi 1951 karena pengungsi ekonomi tidak mengalami ancaman terhadap hidup ataupun kebebasannya ketika dipulangkan.
Mereka yang disebut pengungsi meninggalkan negara asal mereka untuk mendapatkan tempat perlindungan (refuge) baru karena negara asalnya tidak dapat atau tidak mau memberikan perlindungan tersebut. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dikembalikan lagi ke negara asalnya (non-refoulement). Inilah prinsip dasar penanganan pengungsi.
Non-Refoulement
Prinsip non-refoulement yang menjadi dasar penanganan pengungsi ternyata juga disetujui dalam Konvensi 1951. Prinsip tersebut berarti bahwa pengungsi tidak boleh dikembalikan ke negara yang mengancam kebebasan dan hidup mereka. Ketika mereka dikembalikan ke negara asalnya, hal itu sama dengan mengembalikan mereka ke situasi yang mengancam kebebasan dan kemanusiaan mereka.
Lama-kelamaan, prinsip ini dipahami sebagai aturan umum dalam hukum internasional dalam menangani pengungsi. Pengungsi tidak dikembalikan ke negara asalnya atau ke negara yang mengancam kebebasan dan kemanusiaanya.
Para pencari suaka harus mendaftarkan diri kepada lembaga imigrasi dari negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
Prinsip non-refoulement kemudian memunculkan semacam situasi ”keharusan” bahwa pengungsi harus diterima oleh negara tujuan sang pengungsi. Akan tetapi, hanya negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi 1951 dan pembaruannya dalam Protokol 1967 yang memiliki ”keharusan” untuk menerima para pengungsi tersebut.
Terdapat 148 negara yang telah meratifikasi baik Konvensi 1951 maupun Protokol 1967. Jumlah tersebut mencapai 75 persen dari total jumlah 198 negara di dunia. Sebaliknya, terdapat 25 persen negara di dunia yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 termasuk Indonesia.
Walaupun ada ”keharusan” untuk tidak mengembalikan pengungsi ke negara asalnya, tak ada keharusan bagi suatu negara terutama yang belum meratifikasi persetujuan di atas untuk menerima pengungsi. Akibatnya, status pengungsi menjadi tidak jelas.
Di satu sisi, komunitas internasional menyetujui prinsip untuk tidak mengembalikan mereka yang berstatus pengungsi ke negara asalnya. Di sisi lain, tampak keengganan pemberian status pengungsi dan penerimaan dari negara yang telah meratifikasi Konvensi 1951 karena pemberian status pengungsi merupakan hak dan bukan kewajiban bagi suatu negara.
Keenganan tersebut dapat disimpulkan dari lamanya waktu penerimaan status pengungsi sejak dari pendaftaran hingga panggilan wawancara serta keputusan. Selama menunggu, para pencari suaka akan ditampung di rumah penampungan sementara.
Jangka waktu menunggu ini bisa sangat lama, bahkan bisa beberapa tahun. Akibatnya, biaya yang harus ditanggung tiap negara untuk memberikan sarana kehidupan standar bagi pencari suaka semakin besar. Hal ini kemudian memicu perdebatan di negara-negara tujuan favorit pencari suaka.
Para pengungsi dan pencari suaka dari negara-negara yang sedang dilanda konflik seperti Afghanistan dan Irak berunjuk rasa di depan Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Jakarta, Kamis (1/8/2019). Mereka mengharapkan kejelasan nasib dan kepastian untuk segera mendapatkan pemukiman kembali ke negara tujuan.Kewajian penerima
Sebenarnya, kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga negara berada di tangan pemerintahan negara asal pengungsi. Akan tetapi, ketika negara tersebut tidak dapat atau tidak mau memberikan perlindungan terhadap warganya, komunitas internasional diharapkan menjadi tempat perlindungan yang baru.
Komunitas internasional mulai mengelola pengungsi dengan menetapkan kerangka kerja yang disepakati bersama. Hal ini dimulai dengan menyepakati definisi yang sama tentang siapa yang disebut sebagai pengungsi. Dari definisi tersebut, diturunkan juga hak dan kewajiban bagi mereka yang mendapat status pengungsi serta bagi negara yang meratifikasi.
Hak yang dimiliki oleh seorang pengungsi meliputi beberapa hal. Pertama, hak untuk mendapatkan perlindungan yang aman, sekurangnya hak dan kewajiban seperti orang asing yang secara legal tinggal di negara tersebut. Selain itu, pengungsi juga berhak untuk mewujudkan hak ekonomi, sosial, akses kesehatan, akses sekolah, dan hak untuk bekerja.
Sebaliknya, pengungsi wajib untuk mengikuti dan taat terhadap undang-undang dan peraturan di negara tempat mereka mencari perlindungan.
Selain negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi 1951, pengelolaan pengungsi juga dikawal oleh lembaga bentukan PBB untuk pengungsi, yakni Komisariat Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Lembaga ini menjalin kerja sama dengan semua negara, entah yang telah meratifikasi Konvensi 1951 maupun yang belum, untuk menjamin agar hak pengungsi dapat dihargai dan dilindungi.
Butuh Waktu
Dengan adanya definisi tentang pengungsi, setiap orang yang melakukan migrasi dan ingin mencari perlindungan ke negara lain harus mendapatkan status pengungsi. Permohonan mendapatkan status pengungsi tersebut melewati serangkaian proses.
Para pencari suaka tersebut harus mendaftarkan diri kepada lembaga imigrasi dari negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Bila para pencari suaka masuk ke negara transit yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, seperti misalnya Indonesia, mereka harus mendaftarkan diri kepada UNHCR. Di sini, UNHCR bertindak atas nama negara untuk menjalankan prosedur penentuan status pengungsi (Refugee Status Determination/RSD).
Setelah mendaftar, para pencari suaka akan mendapatkan jadwal atau undangan untuk melakukan wawancara oleh UNHCR atau imigrasi negara tujuan secara individual dengan pendampingan penerjemah yang kompeten. Penentuan jadwal ini tidak memiliki jangka waktu, bisa dalam hitungan bulan atau tahun.
Dari hasil wawancara, akan diputuskan apakah seseorang memenuhi kriteria sebagai seorang pengungsi atau tidak. Dari data pendaftaran dan wawancara, akan diputuskan apakah seseorang masuk ke dalam kriteria pengungsi atau tidak. Selain itu, dilihat juga kemungkinan ketidaksesuaian hasil wawancara pemohon dengan kenyataan.
Bila permohonan diterima, mereka akan dicarikan solusi jangka panjang oleh UNHCR di negara tujuan pengungsi. Mereka juga bisa ditempatkan di negara ketiga karena alasan keamanan. Secara umum, pengungsi tidak dapat memilih negara ketiga tempat mereka akan dikirim kecuali jika terdapat keluarga mereka di negara terpilih.
Mereka yang ditolak akan diminta meninggalkan negara transit atau negara tujuan, atau melakukan satu kali banding dalam waktu tiga puluh hari. Mereka ini secara politis diperlakukan sebagai warga negara asing yang masuk ke negara lain secara ilegal sehingga dapat dideportasi ke negara asal.
Lepas Tangan
Persoalan akan muncul ketika banyak pencari suaka tidak bersedia meninggalkan negara tempat mereka singgah atau negara tujuan mereka. Hal tersebut berpotensi meningkatkan hunian rumah detensi imigrasi (rudenim) dan menimbulkan persoalan sosial dengan warga sekitar.
Walaupun telah disanggah para peneliti ekonomi, para pencari suaka ini masih dianggap mengganggu perekonomian suatu negara. Mereka juga sering dianggap mengancam keamanan nasional suatu negara meski anggapan tersebut juga dimentahkan oleh para pengamat dan analis keamanan.
Hal itu tampak dari berkembangnya dukungan terhadap partai berhaluan kanan di Eropa. Para politisi sayap kanan di Eropa menggunakan kedatangan pengungsi sebagai jualan politik untuk mendapatkan simpati dari para pemilih. Mereka getol menggunakan sentimen anti imigran sebagai kampanyenya. Bagi partai-partai tersebut, masuknya imigran sama dengan kurangnya kesempatan bagi warga negara untuk mendapatkan kesejahteraan.
Penolakan ”halus” juga dilakukan oleh beberapa negara yang sering menjadi tujuan para pencari suaka. Caranya, mereka mencegat para pencari suaka agar tidak berhasil sampai ke wilayahya. Hal itu terjadi karena memang tak ada kewajiban bagi negara untuk menerima para pencari suaka. Selain itu, mereka juga dihadapkan pada keharusan untuk mengembalikan para pencari suaka yang masuk ke wilayah mereka.
Di sisi lain, mereka menggunakan alasan kedaulatan. Beberapa negara mencegah pencari suaka masuk ke negaranya karena dianggap melakukan tindakan ilegal, masuk tanpa dokumen resmi. Oleh karena itu, sebelum sampai ke perbatasan, terutama di lautan, negara tujuan berusaha agar para pencari suaka tidak mencapai perbatasan mereka sambil tetap memberikan bantuan makanan atau pengawalan.
Berbagi tanggung jawab
Mengingat pengungsi merupakan masalah bersama, Majelis Umum PBB menegaskan perjanjian global tentang pengungsi (Global Compact on Refugee) pada 17 Desember 2018. Persetujuan ini merupakan kerangka kerja untuk berbagi tanggung jawab dan mencari solusi jangka panjang bagi persoalan pengungsi secara internasional.
Dengan empat tujuan umum, persetujuan ini ingin mengubah cara pandang terhadap pengungsi agar memberi manfaat bagi pengungsi dan negara tuan rumah. Empat tujuan tersebut meliputi, mengurangi tekanan pada negara tuan rumah, meningkatkan kemandirian pengungsi, memperluas akses ke solusi negara ketiga, dan dan menciptakan kondisi pendukung di negara asal agar dapat menerima pengungsi dengan selamat dan bermartabat.
pengungsi wajib untuk mengikuti dan taat terhadap undang-undang dan peraturan di negara tempat mereka mencari perlindungan.
Walaupun persetujuan tersebut tidak mengikat secara hukum bagi negara anggota PBB, akan tetapi langkah tersebut memberikan masukan bagi negara anggota PBB untuk mengelola pengungsi dan menjadikannya tanggung jawab bersama.
Meskipun Indonesia tidak ikut menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol Pengungsi 1967, sebagai anggota komunitas internasional, Indonesia menyambut baik persetujuan tersebut. Indonesia ikut menghargai prinsip non-refoulement dan ikut memastikan para pengungsi dapat diakui dan dapat dimukimkan di negara ketiga.
Para praktiknya, Indonesia juga memberi tempat tinggal, makanan, pakaian, serta sarana kesehatan bagi para pencari suaka dan pengungsi atas nama kemanusiaan. Dengan adanya perjanjian PBB di atas, langkah Indonesia dapat semakin diperkuat dengan ikut memastikan terwujudnya tujuan perjanjian global tentang pengungsi. (LITBANG KOMPAS).
Baca Juga Besok: Pengungsi Juga Manusia.