Usulan Kenaikan Iuran Bebani Rakyat, Menkeu Sebaiknya Mengkaji Ulang
›
Usulan Kenaikan Iuran Bebani...
Iklan
Usulan Kenaikan Iuran Bebani Rakyat, Menkeu Sebaiknya Mengkaji Ulang
Defisit yang terjadi juga disebabkan kegagalan pengendalian biaya, khususnya kecurangan baik di BPJS Kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota, serta fasilitas kesehatan.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menaikkan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional menuai keberatan dari sejumlah pihak, terutama rakyat. Meski kenaikan bertujuan untuk menunjang keberlanjutan program dan menekan defisit klaim pembayaran, pemerintah perlu mengkaji ulang tingkat kenaikan yang diusulkan agar tidak diprotes rakyat.
”Besaran kenaikan yang diusulkan, terutama di segmen peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas 1 dan 2, sangat ekstrem. Besaran itu harus dikaji ulang. Konsumen tidak siap sehingga justru bisa menimbulkan risiko menunggak yang sangat besar. Padahal, saat ini tunggakan untuk segmen PBPU saja masih tinggi, yakni sekitar 54 persen,” kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi saat dihubungi di Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja di Komisi IX DPR, Jakarta, Selasa (27/8/2019), mengusulkan kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) untuk semua segmen peserta. Bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI), baik PBI yang dibayarkan melalui APBN maupun APBD, iuran naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000 per orang. Adapun segmen PBPU kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per orang, kelas 2 naik dari Rp 51.000 jadi Rp 110.000 per orang, dan kelas 1 naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per orang.
Adapun iuran peserta penerima upah badan usaha yang semula 5 persen dari penerimaan upah dengan batas atas upah Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta. Untuk peserta penerima upah pemerintah, iuran yang sebelumnya 5 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga menjadi 5 persen dari seluruh upah yang diterima.
Tulus menilai, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan semestinya membereskan tunggakan iuran peserta segmen PBPU atau mandiri tersebut untuk memaksimalkan pemasukan yang diterima. Selama 2018, BPJS Kesehatan mencatat tunggakan iuran peserta JKN-KIS sekitar Rp 2,1 triliun, paling banyak pada segmen PBPU.
Kontraproduktif
Secara terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, dampak kenaikan juga bisa kontraproduktif dengan pemasukan BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran yang sangat signifikan di kelas 1 dan kelas 2 pada segmen PBPU akan mendorong peserta turun ke kelas 3. Jika hal ini terjadi, potensi penerimaan iuran dari kelas 1 dan 2 pun akan turun.
”Kenaikan yang tinggi bisa turut meningkatkan potensi utang iuran dari peserta. Sementara penegakan hukum kita belum baik. Layanan BPJS Kesehatan sendiri juga kurang mendukung peserta untuk membayar premi. Perlu ada kajian dan uji publik agar kejadian pada 2016, yakni iuran yang sudah naik jadi turun kembali karena ada protes masyarakat, tidak terulang,” kata Timboel.
Timboel menambahkan, kenaikan iuran dinilai tidak otomatis menyelesaikan masalah defisit BPJS Kesehatan. Defisit yang terjadi juga disebabkan oleh kegagalan dalam pengendalian biaya, khususnya kecurangan baik di BPJS Kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota, serta fasilitas kesehatan. Kebijakan mengenai pemberian dana kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) juga perlu ditinjau kembali.
Sementara itu, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni menuturkan, usulan besaran kenaikan iuran bagi semua segmen peserta JKN telah dibahas sesuai dengan perhitungan aktuaria. Hitungan tersebut juga telah dibahas bersama para ahli dari asosiasi profesi yang terkait.
”Ada banyak komponen pertimbangan dalam perhitungan. Kami lihat, antara lain utilitas peserta tiap segmen serta biaya tiap peserta tiap bulan. Jika melihat pertimbangan Menkeu atas usulan kenaikan iuran itu juga mempertimbangkan luncuran defisit BPJS Kesehatan,” katanya. Sampai akhir tahun 2019, luncuran defisit BPJS Kesehatan diproyeksi sampai Rp 32,8 triliun.
Layanan belum merata
Guru Besar Kebijakan dan Administrasi Kesehatan Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro menuturkan, pemerintah juga perlu memastikan layanan kesehatan yang diterima masyarakat sebagai peserta JKN-KIS sudah mumpuni. Kondisi saat ini, kualitas dan ketersediaan layanan kesehatan belum merata. Sementara biaya yang harus dibayarkan peserta JKN sama di semua daerah, baik di daerah dengan fasilitas dan akses kesehatan yang memadai maupun yang kurang.
Menurut dia, asas gotong royong yang selama ini ditekankan dalam program JKN-KIS juga belum maksimal. Asas ”yang sehat membiayai yang sakit, yang kaya membiayai yang kurang mampu” justru terjadi sebaliknya. ”Anggaran pemerintah yang seharusnya untuk membiayai masyarakat kurang mampu justru untuk menutup kerugian di segmen PBPU,” katanya.