Dukungan agar Presiden Jokowi mencoret calon pimpinan KPK bermasalah terus bergulir sejak enam hari terakhir. Hingga Jumat (30/8/2019), melalui petisi Change.org, sudah lebih dari 72.000 tanda tangan terkumpul.
Oleh
Sharon Patricia
·5 menit baca
Dukungan agar Presiden Jokowi mencoret calon pimpinan KPK bermasalah terus bergulir sejak enam hari terakhir. Hingga Jumat (30/8/2019), melalui petisi Change.org, sudah lebih dari 72.000 tanda tangan yang terkumpul. Warganet pun memberikan alasannya menandatangani petisi berjudul ”Presiden Jokowi, Coret Capim KPK Bermasalah!” itu.
Fajar Farianto, seorang warganet, menyampaikan, ”Saya ingin pimpinan KPK yang bersih dan berintegritas. Tidak memihak mana pun dalam memberantas korupsi. Bahkan Presiden sekalipun kalau terindikasi korupsi, TANGKAP.”
Adapun Nurul Nyh menuliskan, ”Karena saya generasi milenial yang akan menjadi penerus bangsa saya tidak ingin bangsa menjadi rusak karena oknum yang kurang patuh hukum, kita harus bangun Indonesia bersama.”
Petisi di Change.org ini merupakan inisiasi dari Koalisi Kawal Capim KPK. Mereka adalah Indonesia Corruption Watch, Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, serta Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama.
Melalui petisi tersebut, Koalisi Kawal Capim KPK meminta, ”Presiden Joko Widodo segera perintahkan Panitia Seleksi (Pansel) KPK untuk tidak meloloskan calon pimpinan KPK yang terbukti tidak berkualitas ataupun berintegritas. Paling enggak, para calon pimpinan KPK yang tidak melaporkan harta kekayaannya, punya konflik kepentingan, dan rekam jejak buruk di masa lalu tidak diloloskan dalam seleksi.”
Kegusaran Koalisi Kawal Capim KPK beserta masyarakat sipil berawal sejak proses seleksi capim KPK yang meloloskan sejumlah nama kandidat dengan rekam jejak buruk. Khususnya terkait pelanggaran kode etik dan kepatuhan pelaporan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Kandidat bermasalah tersebut lolos hingga tahap akhir proses seleksi, yaitu uji publik dan wawancara. Setelah tahap ini, 20 kandidat akan kembali disaring oleh Pansel menjadi 10 nama yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada Senin (2/9/2019) depan. Kemudian, Presiden akan mengajukan 10 capim KPK pilihan Pansel kepada DPR untuk selanjutnya dipilih menjadi lima unsur pimpinan KPK.
Saya ingin pimpinan KPK yang bersih dan berintegritas. Tidak memihak mana pun dalam memberantas korupsi. Bahkan Presiden sekalipun kalau terindikasi korupsi, TANGKAP.
Ahli hukum pidana Agustinus Pohan menyampaikan, memang Pansel akan menyerahkan 10 nama kepada Presiden. Namun, pilihan tersebut bukan hak veto dari Pansel karena seharusnya sudah dikompromikan dengan Presiden.
”Presiden setiap saat bisa mengintervensi karena dalam undang-undang jelas itu (menentukan 10 nama) adalah kewenangannya, Pansel itu untuk membantu Presiden. Kalau Pansel enggak mau dengar masukan publik, Presiden wajib mempertimbangkan karena pada akhirnya tanggung jawab itu akan dipikul oleh Presiden,” kata Agustinus.
Dalam Pasal 30 Ayat 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dijelaskan bahwa paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari Pansel, Presiden menyampaikan nama calon yang ditentukan Pansel sebanyak dua kali jumlah jabatan yang dibutuhkan kepada DPR.
Agustinus mengatakan, pemilihan pimpinan KPK juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program Presiden. Salah satunya dalam hal mengembangkan investasi asing yang tidak akan terjadi kalau tingkat korupsi Indonesia tinggi.
Senada dengan itu, ahli hukum pidana Saor Siagian juga menyerukan, Presiden harus menggunakan kewenangannya kalau dianggap ada hal yang tidak sesuai dengan harapan dan masukan publik. Presiden bukan sekadar terlibat, melainkan juga bertanggung jawab.
”Kalau KPK ke depan tidak dapat bekerja dengan benar karena pimpinan yang tidak benar, yang salah itu nanti Presiden. Bahwa tanggung jawab KPK itu kepada publik, maka masukan publik harus didengar dan dipertimbangkan,” kata Saor.
Urgensi pimpinan berintegritas
Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi jelas disebutkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi beberapa persyaratan.
Tiga di antara 11 persyaratan yang diwajibkan antara lain tidak pernah melakukan perbuatan tercela; cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; serta mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selama proses seleksi uji publik dan wawancara, para capim KPK yang dikatakan bermasalah diberikan ruang untuk menyampaikan klarifikasi atas pemberitaan yang beredar tentang dirinya. Beberapa di antaranya Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Inspektur Jenderal Antam Novambar dan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Firli Bahuri.
Presiden Joko Widodo segera perintahkan Pansel KPK untuk tidak meloloskan calon pimpinan yang terbukti tidak berkualitas dan berintegritas. Paling enggak, para calon pimpinan KPK yang tidak melaporkan harta kekayaannya, punya konflik kepentingan, dan rekam jejak buruk di masa lalu tidak diloloskan dalam seleksi.
Pada hari pertama uji publik dan wawancara, Selasa (27/8/2019), Antam secara tegas membela Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan yang pernah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Antam pun membantah pernah mengintimidasi penyidik KPK saat lembaga antirasuah tersebut menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka.
Begitu juga Firli yang diduga melanggar kode etik saat dirinya menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK karena terkait pertemuannya untuk bermain tenis dengan Tuanku Guru Bajang Zainul Majdi yang saat itu menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat.
Pertemuan itu terjadi saat KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi dalam divestasi PT Newmont Nusa Tenggara kepada PT Amman Mineral Internasional dan Zainul menjadi salah satu pihak yang diperlukan keterangannya. Firli kemudian ditarik oleh Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian agar kembali bertugas di Polri saat diperiksa Direktorat Pengawas Internal KPK.
Dalam uji publik dan wawancara, Firli mengatakan, itu bertemu, bukan mengadakan pertemuan. ”Saya tidak mengadakan hubungan dan pertemuan. Saya bertemu iya, tetapi mengadakan pertemuan enggak,” ujarnya.
Selain itu, terkait kepatuhan pelaporan LHKPN, Antam Novambar tercatat terakhir melaporkan LHKPN pada 31 Desember 2018 dengan total kekayaan Rp 6,6 miliar. Sementara Firli, saat menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Resor Lampung Tengah pada 2002, harta kekayaannya Rp 162,9 juta.
Kemudian, pada 3 November 2017, saat awal menjabat sebagai Kapolda Nusa Tenggara Barat, kekayaan Firli mencapai Rp 18,38 miliar. Ia kembali melapor pada 29 Maret 2019 dengan harta mencapai Rp 18,23 miliar.
Terkait dengan 15 tahun Firli tidak melaporkan LHKPN, dirinya mengatakan bukan tidak melaporkan, tetapi sudah sesuai dengan peraturan Kepala Polri. ”Saya punya hak untuk menjelaskan kepada pansel,” katanya.