Memerdekakan Warga di Ruang Publik
Tinggal di kota metropolitan, orang tak bisa terhindar dari stres. Beruntung, warga Surabaya, Jawa Timur, dimanjakan dengan ruang publik yang melimpah. Fasilitas itu mampu menyegarkan tubuh dan pikiran.
Matahari baru muncul di ufuk timur ketika puluhan pegawai Balai Monitor Kelas I Surabaya Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jumat (30/8/2019), berolahraga. Mereka melakukan jalan sehat di trotoar Jalan Ahmad Yani. Di jalan raya, ratusan orang dari Surabaya dan kota-kota di sekitarnya lalu lalang menjemput rezeki.
Setiap dua minggu sekali, mereka berjalan di trotoar yang berjarak sekitar 200 meter dari kantor mereka di Ketintang. Selain untuk menjaga kesehatan, berjalan kaki juga menjadi cara untuk mengurangi stres akibat tekanan pekerjaan.
”Trotoarnya lebar, bersih, dan banyak pohon rindang sehingga otak kembali segar,” kata pegawai Balai Monitor Kelas I Surabaya, Dwi Rosiana.
Tak hanya untuk berjalan, Esty Fitria Meirnanthy (30) menjadikan trotoar di Surabaya sebagai lintasan lari. Pelari dari IndoRunners Surabaya ini memanfaatkan trotoar untuk latihan lari empat kali seminggu.
Hampir semua trotoar di Surabaya sepanjang 50 kilometer memiliki lebar rata-rata 6 meter. Trotoar itu tersebar di semua jalan utama, seperti Jalan Ahmad Yani, Jalan Raya Darmo, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Basuki Rahmat, Jalan Pemuda, dan Jalan Tunjungan.
Jalur pedestrian ini steril dari kendaraan bermotor dan pedagang kaki lima. Selain itu, jalur itu dibersihkan rutin pada pagi dan sore hari. Beberapa jalur, seperti di Jalan Pemuda, dipasangi bollard (tiang penghalang) berdesain unik seperti bentuk manusia berlari, berjalan, dan melangkah berwarna-warni.
Selain berlari di trotoar, Esty memanfaatkan Lapangan THOR di Jalan Padmosusastro. Lintasan atletik ini berstandar internasional dan telah mendapat pengakuan Asosiasi Federasi Atletik Internasional (IAAF). Fasilitas itu dapat diakses warga secara gratis.
Esty, yang juga pengusaha konfeksi dan peternakan, menilai ruang publik di Surabaya cukup memadai. Mulai dari trotoar, lapangan olahraga, hingga taman ada di berbagai sudut kota.
Mahasiswi Universitas Negeri Surabaya, Fitria Madia (21), mengatakan, berjalan kaki di trotoar Surabaya sangat berbeda dengan berjalan kaki di kota lain. Selain lebar dan steril, trotoar di Surabaya dilengkapi dengan pengaman berupa bola beton. ”Saya tidak khawatir tertabrak kendaraan saat berjalan karena ada pembatas jalan dan trotoar,” ujarnya.
Hampir semua ruang publik di Surabaya tak pernah sepi pengunjung. Bahkan, setiap akhir pekan sulit menemukan ruang kosong karena semua lokasi penuh pengunjung.
Bagi Andik Setiawan (43), karyawan Telkomsel, ruang publik di Surabaya benar-benar menyenangkan. ”Karena nyaman, hampir setiap hari saya bersama teman-teman lari sepulang kerja,” ujarnya.
Rumah kedua
Ruang publik di Surabaya seakan menjadi rumah kedua untuk menghilangkan kepenatan. Warga tak perlu mengeluarkan biaya untuk menikmati fasilitas ini. Tak jarang ada pentas musik di ruang publik untuk menghibur warga yang bersantai.
Kalaupun ada pedagang di ruang publik, seperti di Taman Bungkul, mereka diatur tempatnya. Dengan demikian, pengunjung dan pedagang sama-sama senang.
Pedagang sate usus, Rondo (47), menuturkan, pengunjung di Taman Bungkul tidak pernah sepi. Dia berjualan sejak sore hingga dini hari dan mendapat keuntungan bersih sekitar Rp 300.000 per hari. Dengan itu ia bisa menyekolahkan dua anaknya hingga lulus perguruan tinggi.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berkomitmen untuk menjaga dan terus menambah ruang publik di kota seluas 350 kilometer persegi ini. Semua taman di Surabaya dijaga oleh petugas satuan polisi pamong praja selama 24 jam setiap hari dan dipasangi kamera pemantau (CCTV).
”Semua ruang publik kami pasangi CCTV untuk memantau keamanan. Jika ada yang melanggar aturan, langsung ditertibkan. Ini untuk mencegah tindak kejahatan,” kata Risma.
Luas total 416 taman di Surabaya mencapai 122 kilometer persegi atau 34 persen dari luas kota. Beberapa taman dibuat bertema, misalnya Taman Lansia, Taman Paliatif, Taman Lalu Lintas, dan Taman Kunang-kunang. Selain menjadi ruang publik, taman juga digunakan untuk lokasi pengobatan gratis, seperti di Taman Lansia dan Taman Paliatif.
Bagi Risma, ruang publik tidak hanya menjadi tempat berkumpul masyarakat. Taman, trotoar, dan lapangan olahraga juga menjadi tempat keluarga melepas penat seusai bekerja.
Ruang publik di Surabaya memiliki beragam fungsi, antara lain pendidikan, sosial, interaksi, menjaga kesetaraan, dan kesehatan. Ada semangat berbagi yang terjadi di taman karena setiap pengunjung mengutamakan toleransi dan semangat berbagi. Hal itu diapresiasi Setara Institute yang menempatkan Surabaya di urutan ke-10 kota toleran di Indonesia.
”Pengunjung tidak ada yang bersitegang karena semua merasa memiliki taman. Kehadiran masyarakat membuat taman terasa hidup,” ujar Risma.
Sikap toleran warga di Surabaya semakin melekat seiring dengan meningkatnya interaksi antarwarga di ruang publik. Hubungan mereka dieratkan satu sama lain di jalur pedestrian, jalur sepeda, dan taman serta kegiatan olahraga.
”Tidak ada seseorang atau sekelompok warga yang merasa paling ’berkuasa’ di wilayah tertentu,” kata Risma yang kini menjadi Presiden Asosiasi Pemerintah Daerah Se-Asia Pasifik (UCLG-ASPAC).