Menjaga Warisan Sepenggal Masa Cikini
Memasuki Jalan Cikini Raya sekarang, suasana Jakarta tahun 1920-an begitu terasa. Setidaknya di sepenggal pertama ruas jalan itu, para pemilik dan pengelola gedung menjaga keaslian gedung.
Kampung kecil bernama Tjikenie tertera di peta sejak awal 1800-an. Kawasan itu bertahan hingga sekarang menjadi pusat kegiatan seni budaya ketika kampung-kampung di sekitarnya punah tergusur oleh pembangunan Jakarta. Komunitas di sana pun begitu gigih menjaga warisan sepenggal masa itu.
Kampung kecil bernama Tjikenie tertera di peta sejak awal 1800-an. Kawasan itu bertahan hingga sekarang menjadi pusat kegiatan seni budaya ketika kampung-kampung di sekitarnya punah tergusur oleh pembangunan Jakarta. Komunitas di sana pun begitu gigih menjaga warisan sepenggal masa itu.
Di peta Batavia tahun 1874, terlihat beberapa kampung di sekitar Kampung Tjikenie yang tak tersisa lagi setelah 1918, baik namanya ataupun ingatan tentang keberadaannya. Kampung-kampung itu seolah tak pernah ada.
Sebut saja Keboen Beloentas, Poeloe Tjindeng, Pengareng, Poeloe Kambang, dan Parapatan Djamban seperti disebutkan dalam buku Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia, karya Adolf Heuken, SJ dan Grace Pamungkas.
Kampung-kampung yang sebelum 1904 berada di tanah partikelir Menteng dan Gondangdia itu lenyap saat pengembangan Menteng sebagai kota taman pada 1910-1918. Menurut Heuken, salah satu cara penggusuran itu dengan menaikkan tarif sewa lahan hingga ratusan kali lipat.
Tanah garapan Haji Naing Togok, misalnya, dinaikkan dari fl 1,50 menjadi fl 100 dan ladang Pak Maot dari fl 0,50 menjadi fl 124,85 atau 250 kali lipat!
Sementara itu, Tjikenie di peta tahun 1800-1900-an adalah kampung kecil di perbatasan tanah partikelir Gondangdia yang saat itu bernama Kondang Dia. Perkampungan itu dikelilingi lahan yang ditanami padi, kelapa, dan rumput untuk ternak. Tak jauh dari sana, ada Kali Pasir di pinggiran Kali Ciliwung.
Awal perkembangan Cikini dari perkampungan menjadi kawasan pertokoan dimulai saat pelukis kenamaan Raden Saleh membangun rumah istananya pada 1852 setelah 20 tahun melanglang buana di Eropa. Bangunan megah itu kini termasuk bagian kompleks Rumah Sakit PGI Cikini di Jalan Raden Saleh.
Baca juga: Kisah Indonesia di Rumah Museum
Baca juga: Jakarta Bukan Batavia
Rumah itu mempunyai kebun yang memanjang hingga ke Kampung Cikini. Pada 1864, kebun seluas sekitar 10 hektar tersebut dihibahkan menjadi Planten en Dierentuin atau Tanaman dan Kebun Binatang yang dikelola oleh perhimpunan penyayang Flora dan Fauna Batavia (Culture Vereniging Planten en Dierentuin at Batavia).
Ketua Tim Sidang Pemugaran DKI Bambang Eryudhawan mengatakan, berdirinya Planten en Dierentuin itu menjadi daya tarik pertama keramaian di kawasan Cikini. Di sana juga kerap digelar pertunjukan musik ataupun seni hiburan yang membuat orang berdatangan.”Karena keramaian ini, lalu taman kota Menteng mulai dirancang di sekitar sana,” katanya.
Setelah Taman Kebun Binatang Cikini dipindah ke lokasi Taman Margasatwa Ragunan pada 1964, kompleks menjadi Taman Ismail Marzuki seperti yang dikenal sekarang. Dari peta Batavia tahun 1866, Jalan Raya Cikini saat itu hanyalah jalan kampung yang buntu di Bioskop Metropole yang saat itu juga belum terbangun.
Perkembangannya begitu pesat seiring pembangunan kota taman Menteng pada 1910-1918. Dari peta Batavia tahun 1921, kawasan itu sudah menjadi persimpangan jalur trem ke arah Tanah Abang, dari Kali Pasir tembus ke Kramat. Perpotongan jalur trem ini membuat Cikini semakin potensial menjadi kawasan komersial.
Baca juga: Stigma Negatif Betawi dalam Film
Sekitar 1920-an, bangunan-bangunan di Jalan Cikini Raya mulai didirikan, termasuk Kantor Pos di Jalan Cikini Raya Nomor 1. Kantor Pos itu bergaya art deco sederhana sesuai dengan masanya.
Sekitar 1920-an, bangunan-bangunan di Jalan Cikini Raya mulai didirikan, termasuk Kantor Pos di Jalan Cikini Raya Nomor 1. Kantor Pos itu bergaya art deco sederhana sesuai dengan masanya.
Eryudhawan mengatakan, pertokoan itu menjadi penting di kala itu. Sebab, untuk daerah Menteng, pertokoan hanya ada di Jalan HOS Cokroaminoto. ”Kawasan ini tumbuh dengan sendirinya menjadi seperti sekarang, tidak didesain seperti Kota Tua atau Menteng. Orang-orang dengan sendirinya membangun rumah toko di sepanjang jalan ini,” kata Eryudhawan.
Bertahan
Memasuki Jalan Cikini Raya sekarang, suasana Jakarta tahun 1920-an begitu terasa. Setidaknya di sepenggal pertama ruas jalan itu, para pemilik dan pengelola gedung menjaga keaslian gedung. Tanpa bantuan pemerintah, mereka merenovasi dan merawat gedung-gedung tua itu sebagaimana aslinya yang tentunya memakan biaya tak sedikit.
Salah satunya Lin Che Wei yang merenovasi salah satu gedung tertua di sana yang sekarang menjadi kantor Independent Research and Advisory Indonesia. Semua atas biaya pribadinya sendiri.
Di dalam gedung yang diperkirakan dibangun sekitar 1920-an itu, terlihat deretan jendela kaca patri indah bergambar komoditas-komoditas utama Nusantara di abad ke-19, seperti cengkeh dan kopi. Menurut Che Wei, kesadaran menjaga gedung-gedung tua tumbuh secara alami di kalangan warga. ”Ini inisiatif masing-masing pemilik dan pengelola gedung sendiri,” katanya.
Kegigihan menjaga itu tak berhenti di situ. Warga Cikini juga tak segan menyatakan keberatan saat proses pembangunan trotoar oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tak sesuai. Saat itu, belasan pemilik dan pengelola gedung Cikini berkumpul dan berdiskusi dengan pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk meminta perbaikan proses revitalisasi trotoar.
Kegigihan menjaga itu tak berhenti di situ. Warga Cikini juga tak segan menyatakan keberatan saat proses pembangunan trotoar oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tak sesuai. Saat itu, belasan pemilik dan pengelola gedung Cikini berkumpul dan berdiskusi dengan pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk meminta perbaikan proses revitalisasi trotoar.
”Kami bukamnya memprotes perbaikan trotoar, kami mendukungnya. Tapi kami protes prosesnya yang kurang sesuai,” kata Felencia, pengelola Kekini.
Baca juga: Tudung Bambu Primadona yang Meredup
Menurut Felencia, gedung yang ditempati Kekini sekarang dulunya gedung milik maskapai dagang. Gedung itu pun direnovasi beberapa tahun lalu dengan mempertahankan keasliannya.
Permukaan trotoar yang lebih tinggi dari lantai-lantai bangunan tua itu dikhawatirkan membuat gedung-gedung tua itu lebih rentan kebanjiran sehingga lebih mudah rusak. Kegigihan itu membuahkan hasil. Suara mereka didengarkan oleh pemerintah yang menjanjikan akan mencari solusi untuk itu.
Menurut Bambang Eryudhawan, Cikini sangat berpotensi dikembangkan menjadi kawasan wisata budaya. Koridor itu pun sudah sangat hidup. ”Ada TIM, toko-toko dan restoran-restoran yang punya nuansa khas. Pemerintah perlu mendukung dengan turut menjaga koridor itu tetap hidup,” katanya.
Bangunan-bangunan yang dijaga keasliannya itu sekarang menjadi daya tarik kawasan yang begitu hidup. Bahkan, Kantor Pos Cikini buka 24 jam sehari tujuh hari sepekan. ”Sekarang ini, kantor pos ini jadi satu-satunya kantor pos cabang di Indonesia yang buka 24 jam,” kata Kepala Cabang Kantor Pos Cikini Yus Sukirno.
Bangunan-bangunan yang dijaga keasliannya itu sekarang menjadi daya tarik kawasan yang begitu hidup. Bahkan, Kantor Pos Cikini buka 24 jam sehari tujuh hari sepekan.
Yus mengatakan, kantor yang sudah berstatus bangunan cagar budaya itu diketahui dibangun sekitar tahun 1920-an sebagai kantor Jawatan Pos dan Telegraf Belanda. Namun, tak diketahui pasti tepatnya waktu pembangunan. Beberapa turis asing berulang kali datang untuk mengambil foto arsitektur yang masih terjaga asli. ”Bahkan, lampu-lampu gantung ini juga dijaga asli,” kata Yus.
Baca juga: Bogor Kota Pusaka Sain Indonesia
Denyut keramaian Jalan Cikini seolah tiada henti. Malam-malam Cikini kerap diramaikan oleh pertunjukan seni dan teater di panggung-panggung kecil di sana. Sementara, orang-orang menjaga warisan dari sepenggal masa.