Pasar saham, pasar modal, dan pasar uang telah menyandera bank sentral. Menambah runyam masalah adalah politisi yang lebih mendengar keinginan pasar ketimbang menghargai independensi bank-bank sentral.
Oleh
Simon Saragih
·4 menit baca
Pasar telah menyandera bank sentral. Pasar yang dimaksudkan adalah bursa saham, pasar modal, dan pasar uang. Ini adalah sebutan sarana untuk investasi berjangka pendek dan sarat spekulasi. Pasar jenis ini tidak luput dari praktik tipu muslihat yang ditandai dengan pengenaan berbagai denda yang mengemuka sejak krisis besar di Amerika Serikat pada 2008.
Keinginan pasar inilah yang kini menyebabkan bank-bank sentral tertekan. Menambah runyam masalah adalah politisi yang lebih mendengar keinginan pasar ketimbang menghargai independensi bank-bank sentral. Hal itu menjadi keprihatinan besar karena tekanan ini tidak membuat perekonomian membaik, seperti dituliskan ekonom kondang Raghuram G Rajan.
Rajan adalah mantan Gubernur Bank Sentral India (2013-2016) dan mantan penasihat ekonomi untuk Dana Moneter Internasional (IMF). Rajan kini profesor di University of Chicago Booth School of Business. Dia menyatakan keprihatinan itu lewat artikelnya yang berjudul ”Central Banks Are the Fall Guys” pada 31 Juli 2019 di situs Project Syndicate.
Rajan menuliskan itu dengan merujuk pada bank sentral AS yang terus ditekan Presiden Donald Trump karena menginginkan penurunan suku bunga. Hal itu juga dihadapi Bank Sentral Turki yang ditekan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Akan tetapi, India juga menjadi negara yang menekan Bank Sentral India, seperti dikatakan penasihat ekonomi senior untuk Allianz, Mohamed el-Erian.
Hal serupa terjadi untuk zona euro, pengguna mata uang tunggal euro, seperti dituliskan ekonom Dr Daniel Lacalle, yang juga seorang pengelola dana-dana investasi dan penulis buku laris Life In The Financial Markets.
Tekanan pasar dan politis terhadap bank sentral, menurut Lacalle, khususnya untuk zona euro, adalah karena perekonomian tidak bergerak sehingga otoritas mencoba mengharapkan nasib mujur lewat kebijakan bank sentral.
Hanya mendorong indeks
Hanya saja tekanan yang membuat bank sentral menurunkan suku bunga dan mendorong penambahan jumlah uang beredar tidak menyelamatkan perekonomian. Pada 2015, Stephen D Williamson, penasihat ekonomi Federal Reserve Bank of Richmond (1998-2014), menuliskan kebijakan uang mudah oleh bank sentral tidak memiliki korelasi kuat dengan perbaikan ekonomi.
Pasokan uang dari bank sentral tidak mengalir ke sektor perekonomian. Pasokan uang murah, karena berbunga rendah, mengalir ke pasar yang menjadi ajang investasi portofolio, seperti dikatakan Jerome Haegeli, ekonom Swiss Re’s. Uang murah hanya berhasil menaikkan indeks-indeks saham di bursa internasional. ”Indeks Standard & Poor’s 500 naik empat kali lipat sejak 2009, sementara pertumbuhan ekonomi tidak mencapai level pemulihan seperti yang pernah dicapai sebelum resesi besar 2009,” kata Haegeli.
Indeks Dow Jones juga sama, melejit pesat, yang bertengger di kisaran 28.000 poin. Ini kontras dengan pertumbuhan di zona euro dan Amerika Serikat yang sulit tumbuh konstan di atas 2 persen per tahun. ”Saya kini lebih prihatin dengan bank-bank sentral yang menjadi sandera pasar uang,” kata Haegeli.
Jebakan likuiditas
Menambah runyam keadaan adalah perusakan ekonomi dengan bertahannya perang dagang, khususnya antara AS dan China serta AS dengan banyak negara di dunia. Pada 22 Agustus 2019, ekonom kondang AS, Dr Nouriel Roubini, yang pernah meramalkan secara akurat krisis besar ekonomi AS 2008, juga menuliskan artikel di Project Sydicate.
Roubini menyatakan, anatomi resesi berikutnya berpotensi muncul dari perang dagang. Hal ini menyebabkan jaringan produksi global terganggu. Oleh karena itu, penggelontoran uang mudah dan uang murah oleh bank-bank sentral ke pasar bukan solusi yang tepat. Masalahnya aktivitas ekonomi terganggu bukan karena uang yang tidak memadai, melainkan karena gangguan ekonomi akibat perdagangan terpukul perang tarif.
Uang mudah tidak memberikan kemakmuran bagi semua warga, tetapi hanya memakmurkan pasar dan para pelakunya.
Dalam teori ekonomi, hal itu disebut sebagai jebakan likuiditas (liquidity traps). Disebut demikian karena uang mudah dan murah tidak berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi. Uang mudah tidak memberikan kemakmuran bagi semua warga, tetapi hanya memakmurkan pasar dan para pelakunya.
Oleh sebab itu, khusus untuk Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell, mantan Presiden Bank Sentral AS Wilayah New York William Dudley menyatakan agar Powell jangan tunduk pada tekanan Trump.
Rajan berpendapat senada dengan Dudley bahwa pasokan uang beredar justru membawa perekonomian makin runyam. Uang-uang mengalir ke produk-produk spekulatif. Uang mudah dimainkan di pasar uang yang berjangka pendek. Begitu uang mudah ini ditarik, antara lain dengan kenaikan suku bunga, hal itu mudah menjungkalkan indeks-indeks pasar. Kepanikan pasar menakutkan politisi yang tidak mau terganggu karier politiknya.
Akan tetapi, di balik tekanan pasar dan politisi terhadap bank-bank sentral ini, fenomena titik jenuh perekonomian AS dan zona euro memang turut menjadi masalah. Penduduk menua yang tidak begitu produktif menjadi hambatan untuk menggerakkan perekonomian.
Asas persuasi
Ada seruan seperti yang sudah berkali-kali dilakukan Kanselir Jerman Angela Merkel, khususnya untuk zona euro. Jerman yang juga mengalami penuaan penduduk tetap bisa melejit secara ekonomi. Hal ini disebabkan seruannya pada inovasi perekonomian serta pengurangan program jaminan sosial yang memberatkan keuangan pemerintah.
Hanya saja seperti dikatakan Dr Daniel Lacalle, hal itu tidak menjadi fokus pemerintahan. ”Pemerintahan zona euro meneruskan program pengeluaran tinggi dengan konsekuensi defisit keuangan negara, ditambah peringanan tingkat pajak dan zona euro tidak memiliki kepemimpinan dalam inovasi teknologi.”
Inilah masalah yang dihadapi bank-bank sentral dunia, khususnya AS, zona euro, dan sejumlah negara lainnya. Isu bank sentral menjadi sandera pasar sedang menjadi pembicaraan di kalangan pengamat moneter internasional.
Sebenarnya masih ada solusi atas kemelut ini. Politisi diharapkan bisa mengingatkan warga untuk menabung dan bekerja keras. Adalah hal biasa dalam pandangan ekonom, warga diminta menelan pil pahit demi perbaikan fundamental perekonomian, yang disebut sebagai asas persuasi. Ini agar ekonomi tumbuh dan rakyat diminta tidak berharap pada program sosial pemerintah, seperti subdisi. Indonesia, misalnya, menjalankan hal tersebut.
Hanya saja masalahnya, seperti dituliskan Rajan, politisi enggan mengambil langkah ini karena takut tidak populer dan takut tidak dipilih lagi. Politisi kadang lebih gembira dengan menyenangkan para donatur politik yang sebagian berasal dari para pelaku pasar.
Untungnya kawasan Asia tidak masuk kategori itu, dalam arti, potensi pertumbuhan masih tinggi dan para penduduk usia muda masih besar sebagai pilar ekonomi masa depan. Asia masih memiliki wilayah yang belum tersentuh pembangunan dan ini menjadi potensi pertumbuhan, antara lain lewat pengembangan infrastruktur.