Indonesia Jangan Hanya Jadi Pasar Kendaraan Listrik
›
Indonesia Jangan Hanya Jadi...
Iklan
Indonesia Jangan Hanya Jadi Pasar Kendaraan Listrik
Terbitnya regulasi baru tentang kendaraan listrik semestinya menjadi peluang besar bagi industri otomotif nasional. Pemberian insentif perlu tepat sasaran agar tidak justru mematikan konten lokal dan industri dalam negeri. Jangan hanya jadi pasar.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya regulasi baru tentang kendaraan listrik semestinya menjadi peluang besar bagi industri otomotif nasional. Sejumlah pihak berharap Indonesia tidak hanya menjadi pasar.
Regulasi itu adalah Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Selain meningkatkan efisiensi energi, ketentuan itu diharapkan mendorong penguasaan teknologi dan rancang bangun serta menjadikan Indonesia sebagai basis produksi dan ekspor kendaraan listrik.
Indonesia memiliki cadangan tambang nikel, kobalt, dan mangan yang menjadi sebagian bahan baku baterai.
Indonesia memiliki cadangan tambang nikel, kobalt, dan mangan yang menjadi sebagian bahan baku baterai. Baterai merupakan komponen utama, selain unit kendali tenaga (power control unit/PCU) dan motor listrik, dalam kendaraan listrik. Namun, industri di dalam negeri belum memproduksinya.
”Ada 2-3 langkah lagi yang harus dilakukan (untuk pengembangan industri baterai dalam negeri). Investasi sel baterai harus ada dulu, baru kemudian battery pack,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, di Jakarta, pekan lalu.
Saat ini sudah ada investasi di pertambangan, pengolahan hasil tambang, dan produksi elektrokimia terkait baterai di Morowali, Sulawesi Tengah. Namun, ada tahap yang mesti dilengkapi untuk memproduksi baterai kendaraan bermotor listrik, yakni sel baterai.
Menurut Ketua Komite Tetap Industri Logam, Mesin, dan Alat Transportasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia I Made Dana Tangkas, tantangan saat ini adalah mengajak pihak atau perusahaan pemilik teknologi baterai untuk berinvestasi. Dengan demikian, baterai bisa diproduksi di dalam negeri.
Penasihat Khusus Menteri Bidang Kebijakan Inovasi dan Daya Saing Industri Kementerian Koordinator Kemaritiman Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, Indonesia berpotensi jadi pemain utama industri baterai lithium.
Sebagai gambaran, 48-60 persen komponen baterai berasal dari nikel yang dihasilkan Indonesia, sementara lithium masih berupa potensi dan jauh dari siap. ”Oleh karena itu, kita perlu gandeng mitra di luar yang punya cadangan lithium cukup banyak,” kata Satryo.
Pasar besar
Terkait pengembangan kendaraan listrik merek nasional, sejak tahun 2012 lima perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sebelas Maret, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, telah melakukan penelitian. Hal serupa ditempuh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan melibatkan PT Pertamina (Persero), PT Pindad (Persero), PT PLN (Persero), dan pihak swasta dalam kolaborasi.
”Kondisi (pengembangan kendaraan listrik) Indonesia saat ini ada pada tahap prototipe dan uji coba prototipe. Kita masih berjuang untuk bisa masuk pada lini produksi,” kata Satryo.
Ketidaksiapan industri dalam negeri dikhawatirkan jadi celah impor kendaraan listrik dan atau komponennya. Apalagi, selain populasi yang besar, rasio kepemilikan mobil di Indonesia masih relatif kecil, yakni 87 unit per 1.000 penduduk, dibandingkan dengan Malaysia (439), Thailand (228), atau Singapura (147).
Pemberian insentif perlu tepat sasaran agar tidak justru mematikan konten lokal dan industri dalam negeri.
Sejumlah insentif disiapkan untuk mendorong industri dalam negeri. Namun, regulasi masih membuka peluang impor, komponen ataupun kendaraan utuh. Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis menyatakan, pemberian insentif perlu tepat sasaran agar tidak justru mematikan konten lokal dan industri dalam negeri. Akhirnya, Indonesia tidak mendapatkan nilai tambah secara optimal.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi menyatakan, pihaknya tak ingin industri otomotif di Indonesia mati. Selain mempekerjakan lebih dari 3 juta orang, industri ini menghasilkan devisa nonmigas. ”Sangat bahaya jika Indonesia tak bisa menghasilkan kendaraan masa depan,” ujarnya.
Menurut dia, industri kendaraan listrik harus dikembangkan agar Indonesia tidak dibanjiri mobil listrik dari luar. Terlebih kendaraan berbahan bakar fosil makin ditinggalkan. (CAS/ARN)