Teknologi digital memicu keterbukaan, mendongkrak produk lokal, dan menarik anak muda tinggal di desa. Literasi digital tidak bisa menunggu waktu lagi.
Oleh
GESIT ARIYANTO / CORNELIUS HELMY / SAMUEL OKTORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengguna internet terus tumbuh subur, menjangkau dan membuka keterisolasian daerah hingga pelosok. Gelombang perubahan pun muncul dari desa-desa dan menyejahterakan warganya.
Di Desa Gelaranyar, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, misalnya, para perajin gula aren memetik dampak pemasaran produk digital yakni lewat media sosial. Permintaan berdatangan dari Bandung, Sumedang, dan Bekasi, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.
Desa itu berjarak 63 kilometer dari Pusat Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, atau 93 kilometer dari Kota Bandung.
Produk unggulan daerah yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mugilancar sejak 2018 itu pun banyak dicari pasar sejak pemasaran melalui medos. "Pemasukannya sekitar Rp 10 juta per bulan," kata Direktur BUMDes Mugilancar Dadeng Sutaryadi (33), Sabtu (17/8/2019).
BUMDes membeli gula aren petani seharga Rp 10.000 per kg. Sebelumnya, ketika tengkulak masih berkuasa, harga tertingginya hanya Rp 7.000 per kg. Selisih Rp 3.000 per kg sangat berarti.
Pemberdayaan potensi desa itu pada akhirnya mengubah orientasi kerja warga desa. Dua tahun terakhir, jumlah pekerja migran Indonesia dari desa itu berkurang. Tahun 2017, ada 150 pekerja migran dari sana. Saat ini kurang dari 50 orang. Jumlah yang sangat signifikan.
Uyun (40), mantan pekerja migran pun memilih tak kembali ke Timur Tengah. "Lebih enak di desa. Sejak ada BUMDes, gula aren petani dibeli tinggi. Itu sangat membantu perekonomian warga,” kata dia.
Kita harus mulai. Tidak cukup konsep atau gagasan saja
Dari gula aren, ia dan suaminya, Opan (45), setiap bulan mendapat penghasilan Rp 2,46 juta dari sebelumnya sekitar Rp 1 juta per bulan.
Di Situbondo, Jawa Timur, pertanian berbasis teknologi sensorik (pertanian presisi/smart farming) juga menggairahkan desa Battal. Akurasi penanaman padi, seperti pemupukan, penyiraman, dan curah hujan melalui telepon seluler memotong ongkos pemupukan hingga 50 persen dan mendongkrak hasil.
Anak muda juga melihat bertani lebih menyenangkan. “Ada unsur teknologi yang bisa dipelajari. Selama ini pertanian kesannya lumpur, kotor, dan becek,” kata Jayono (22), yang sebelumnya malas-malasan membantu ayahnya menggarap sawah.
Literasi digital
Sesuai analisis data dari 159 unit KKN UGM di 32 provinsi sepanjang Juni-Agustus 2019, faktor teknologi informasi menjadi salah satu faktor pemicu perubahan di desa-desa. Di tangan tokoh pemuda desa yang berjiwa usaha dan punya pengaruh, adaptasi pada produk teknologi digital membawa perubahan nyata.
Di Lembang, Bandung Barat, misalnya, jangkauan pemasaran dan harga sayuran petani desa Suntenjaya jadi stabil tinggi setelah menjadi mitra usaha rintisan dalam jaringan Sayurbox.
Petani menerima order via telepon seluler, lalu mengemas dan mengirim. Di Lembang saja ada 5.100 petani mitra Sayurbox dalam puluhan kelompok tani. "Omset saya sebelumnya Rp 5 juta per hari, sekarang Rp 15 juta per hari," kata Agus Sopian (25), petani sayur.
Melihat ekosistem digital yang membesar didukung penetrasi internet yang terus tumbuh di Nusantara, adaptasi perubahan di seluruh desa tak terelakkan. "Literasi digital harus dilakukan mulai dari sekarang. Tidak bisa menunggu lagi," kata Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi Samsul Widodo.
Dorongan itu, kata Samsul, di antaranya untuk menyongsong koneksi internet di desa-desa yang kian cepat dan luas pada tahun 2020-2021.
Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Polling Indonesia pada 9 Maret-14 April 2019, dari 264,16 juta penduduk Indonesia, 171,17 juta (64,8 persen) di antaranya mengakses internet. Survei Penetrasi Pengguna Internet 2018 itu, dalam setahun, pengguna internet naik 10,2 persen. Survei dilakukan terhadap 5.900 orang melalui wawancara dengan bantuan kuesioner. (Kompas, 31/5/2019)
Di tingkat desa, Samsul sudah membuat nota kesepahaman dengan unicorn Tokopedia untuk membangun pusat-pusat kewirausahaan yang memanfaatkan kantor BUMDes, dua di antaranya sudah ada di Subang dan Cianjur, Jabar.
Di sana, petugas jaga siap membantu warga yang ingin memulai menjual produknya ke jejaring ekonomi digital. Satu orang pun akan dilayani untuk belajar berwirausaha berdasarkan pengalaman langsung.
"Kita harus mulai. Tidak cukup konsep atau gagasan saja," kata dia. Selain dengan desa, nota kesepahaman juga ditandatangani dengan 34 perguruan tinggi di berbagai daerah untuk dibuatkan pojok wirausaha.
Intervensi teknologi juga dibawa ke daerah tertinggal, di antaranya mengenalkan pertanian presisi di Pasaman Barat, Sumatera Barat, yang baru lepas dari status tertinggal. Dijajaki pula ke Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Program kampus
Salah satu cara menyiapkan desa-desa adalah memanfaatkan program KKN. "Program KKN di antaranya harus ditujukan ke sana, internet desa. Bagaimana membuat situs web dan memasarkan potensi desanya," kata Samsul, yang baru pulang meninjau KKN Universitas Jember di Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.
Di sana, tim KKN mengenalkan warga desa kepada teknologi digital, termasuk di antaranya membuatkan laman desa yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal yang produktif.
Program yang sama digelar UGM yang melibatkan 5.372 mahasiswa di 32 provinsi. Tahun lalu, jumlah mahasiswa KKN lebih dari 6.000 mahasiswa. Secara umum, itu program memberdayakan desa.
“Yang marak adalah pengembangan ekowisata. Masyarakat mulai paham bahwa mereka bisa menjual sesuatu tanpa menghabiskan sumber daya alam. Bisa menjual pemandangan alam. Itu jadi tren,” kata Kepala Sub Direktorat KKN UGM Ambar Kusumandari. (TAM/DIA/NCA)