Isi draf Rancangan Undang-Undang Pertanahan dinilai menimbulkan masalah sehingga harus dikaji ulang. Pengesahan aturan perundangan itu diminta ditunda.
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR kembali didesak tak terburu-buru mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Isi substansi perundangan tersebut dinilai bermasalah dan dapat menimbulkan berbagai permasalahan baru.
Persoalan itu meliputi antara lain ”kesewenang-wenangan” dalam Pasal 141 Ayat (5) yang memberi ruang menteri dapat menentukan kebijakan terkait hak pengelolaan dalam keadaan tertentu. ”Bagaimana penjelasan ’keadaan tertentu’ ini tidak dijumpai,” kata Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, Selasa (3/9/2019), di Jakarta.
Ia bersama Pengurus Pusat Muhammadiyah dan organisasi masyarakat sipil memberikan keterangan pers terkait RUU Pertanahan. Mereka mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat RI menunda rencana pengesahan RUU Pertanahan pada Sidang Paripurna 24 September mendatang.
Hariadi mengatakan Pasal 141 Ayat (5) terlalu memberi diskresi sangat besar bagi menteri. Ini membuka celah lebar bagi penyalahgunaan wewenang yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Catatan lain, draf RUU Pertanahan per 1 September 2019, masih memberikan pemutihan bagi hak guna usaha khususnya perkebunan yang berada di kawasan hutan. Meski berulang kali diprotes dan draf RUU mengalami perubahan versi, pengaturan terkait hal ini tak berubah. ”Ini menimbulkan prasangka tertentu terkait RUU Pertanahan,” ujarnya.
Meski berulang kali diprotes dan draf RUU mengalami perubahan versi, pengaturan terkait hal ini tak berubah.
Padahal, Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit 2016 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan tumpang tindih perizinan hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit dengan izin pertambangan (3,01 juta hektar), izin hutan tanaman industri (534.000 hektar), izin logging (349.000 hektar), dan kubah gambut (801.000 hektar).
Catatan lain, Pasal 60 Ayat (3) terkait sistem integrasi pertanahan terpadu untuk mengatasi kesan dualisme pengelolaan lahan, yaitu kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta area nonhutan atau area penggunaan lain oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Meski semangat sistem tunggal ini didukung, ia mendapati RUU Pertanahan memberi kewenangan mutlak kepada Kementerian ATR apabila terdapat tumpang tindih atau ketidaksesuaian data ataupun peta.
”Sistem tunggal pertanahan itu baik dalam konstelasi sistem tunggal pertanahan. Tapi secara detail bagaimana pasal berbunyi tidak satu pun menunjang kebaikan sistem tunggal pertanahan itu,” tutur Hariadi.
Bank tanah
Sementara Kepala Pusat Studi Agraria IPB University Rina Mardiana menyoroti persoalan ”bank tanah” yang masih dimunculkan dalam draf terakhir RUU Pertanahan. Meski dalam draf terakhir itu, istilah ”bank tanah” telah digantikan dengan ”Lembaga Pengelolaan Tanah”, substansinya masih sama.
Keberadaan lembaga itu masih menempatkan tanah sebagai komoditas dan bisa dikomersialkan. Ia melihat kepentingan kapitalis sangat besar dalam lembaga tersebut.
Di sisi lain, reforma agraria yang bertujuan mengatasi ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia hanya sedikit disebutkan dalam RUU Pertanahan. ”Reforma agraria kulitnya saja, hanya bicara akses dan aset. Namun, bank tanah ini dipreteli lebih detail bagaimana pendanaan, pengagunan, dan hal lainnya,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menambahkan, niat RUU Pertanahan untuk menata ulang ketimpangan agar lebih adil justru memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. ”Banyak kemudahan bagi korporasi, tetapi masyarakat kecil dibatasi,” katanya.
Ia mendesak DPR agar tidak memberikan kado buruk saat Sidang Paripurna pada 24 September 2019 yang bertepatan dengan Hari Tani Nasional.