Dicap Bahaya, Pakaian Bekas Impor di Pasar Cimol Tetap Didamba
Meski sudah dilarang, impor pakaian bekas masih saja marak. Regulasi tak cukup ampuh menghentikan roda besar bisnisnya. Pakaian bekas tetap didamba walaupun sering dicap berbahaya bagi pemakainya.
Meski sudah dilarang, impor pakaian bekas masih saja marak. Regulasi tak cukup ampuh menghentikan roda besar bisnisnya. Pakaian bekas tetap didamba walaupun sering dicap berbahaya bagi pemakainya.
Truk berbadan hitam terparkir di depan ruko di Jalan Pasar Induk, Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (5/9/2019). Baknya tidak terisi penuh. Hanya terdapat belasan karung pakaian bekas.
Di pintu belakang truk terpasang garis tertib niaga berwarna kuning. Itu pertanda truk dan angkutannya dalam pengawasan Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan.
Truk tiga sumbu itu digunakan untuk mengangkut ratusan bal pakaian bekas, yang diduga diimpor ilegal. Sebagian besar angkutannya sudah dipindahkan ke dua ruko di dekat Pasar Cimol, Gedebage, tersebut. Pakaian bekas dipasok dari Medan, Sumatera Utara. Petugas Direktorat Jenderal PKTN menghentikan truk tersebut sebelum sampai ke tempat penyimpanan di Gedebage, Selasa (3/9).
”Awalnya di bagian belakang ditemukan mainan anak-anak. Namun, ini hanya kamuflase. Setelah dibongkar, ditemukan ratusan bal pakaian bekas impor,” ujar Direktur Jenderal PKTN Veri Anggrijono, saat meninjau ruko tempat penyimpanan pakaian bekas itu, Kamis pagi. Setelah ditelusuri, pakaian bekas itu mengarah pada nama Amir Biki (45). Amir mengaku tidak mengimpornya, melainkan membeli dari pemasok di Medan.
Dengan menggunakan sarung tangan, Veri membongkar beberapa bal yang terbungkus karung plastik berwarna putih hijau. Isinya beragam, dari kaus, kemeja, celana jin, jaket, hingga pakaian bayi. Beberapa pakaian robek dan bau apak. Bahkan, ada juga pakaian bernoda hitam dan kuning.
Seperti ini sudah tidak layak pakai. Dikhawatirkan terdapat bakteri dan jamur yang dapat membahayakan kesehatan.
”Seperti ini sudah tidak layak pakai. Dikhawatirkan terdapat bakteri dan jamur yang dapat membahayakan kesehatan,” ujar Veri, sambil mengangkat celana bayi dengan bercak kuning.
Veri tak bermaksud menakut-nakuti. Kekhawatirannya itu berdasarkan uji laboratorium dua tahun lalu. Ditemukan mikroorganisme patogen dalam pakaian bekas sehingga dapat menimbulkan berbagai penyakit saat bersentuhan dengan tubuh.
”Walaupun sudah dicuci berkali-kali, jamur dan bakterinya tidak hilang. Jadi, masyarakat harus teliti memilih pakaian,” ujarnya.
Dalam penindakan itu, petugas menyita 551 bal pakaian bekas impor. Nilainya ditaksir mencapai Rp 5 miliar. Menurut rencana, pakaian itu akan dijual kepada pedagang di Pasar Cimol serta lokasi lain di Bandung dan sekitarnya. Beberapa pakaian diproduksi di Korea Selatan dan China. Namun, Veri belum dapat memastikan barang ilegal itu diimpor dari kedua negara tersebut.
Baca Juga: Timor Leste Daur Ulang Semua Sampah Plastik
”Masih ditelusuri. Termasuk pihak-pihak lain yang terlibat dalam mengimpor dan menjual pakaian bekas ini,” ucapnya.
Pasar Cimol adalah legenda mode Indonesia. Nama besarnya hadir saat kondisi ekonomi Indonesia tak menentu, pada akhir 1990-an. Barang dari luar negeri cenderung mudah masuk Indonesia, termasuk beragam jenis produk sandang. Merek-mereknya bukan sembarangan, tenar dan ternama.
Dibeli dalam bentuk karungan, semuanya seperti menebak kucing dalam karung. Yang usang dibuang, yang tampan disimpan lalu dijajakan eceran. Salah satu tempat awal yang terkenal adalah Jalan Cibadak di pusat perniagaan lawas Kota Bandung.
Di sana, penjual pakaian bekas itu tak punya toko permanen. Mereka percaya diri menawarkannya di lapak kaki lima. Karena barang yang dijual bermerek terkenal seperti mal ternama, kawasan itu lambat laun dikenal dengan nama Cibadak Mall alias Cimol.
Cocok dengan anak muda Bandung yang modis, Cimol cepat dikenal. Tidak hanya masyarakat umum, kalangan artis ikut memopulerkannya. Bila beli baru dengan merek serupa harga baju bisa selangit. Di Cimol, harganya seperti mengajak konsumen kembali ke bumi. Murah, meski entah sudah berapa kali dipakai pemilik lamanya.
Hanya, kejayaan Cimol di Jalan Cibadak tak lama. Pemkot Bandung meminta pedagang angkat kaki di awal tahun 1998. Sejak itu, penyebaran barang-barang ala Cimol menyebar ke berbagai tempat, mulai dari kawasan Pasar Induk Gedebage, Pasar Induk Caringin, atau menempati banyak titik pasar kaget di Bandung. Tak hanya itu, pasar sandang bekas ini juga bermunculan di Sumatera sampai Papua. Nama besarnya sudah telanjur dikenal orang.
Akan tetapi, aspek kesehatan dan legalitas hukum menyimpan masalah. Pemerintah lantas melarang impor pakaian bekas lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015. Pelaku usaha yang menjual pakaian bekas impor dapat diduga melanggar Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ancaman hukumannya paling lama lima tahun penjara atau denda paling banyak Rp 2 miliar.
Selain itu, pelaku juga dapat dijerat Pasal 35 ayat 1 huruf d, Pasal 36, dan Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara atau denda paling banyak Rp 5 miliar.
Ancaman jeratan hukum tak membuat nyali pengimpor pakaian bekas ciut. Veri mengatakan, pakaian bekas itu masuk melalui sejumlah pelabuhan tikus, seperti di Sumatera Utara dan Riau. Hal itu yang membuatnya sulit diawasi sehingga barangnya masih beredar di pasaran.
”Kami terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar melaporkan peredarannya. Ini harus ditindak tegas. Selain berbahaya bagi kesehatan, juga bisa mengancam industri pakaian dalam negeri,” ujarnya.
Wakil Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Rizal Tanzil menyambut baik tindakan tegas terhadap pengimpor dan penjual pakaian bekas. Menurut dia, dengan harga lebih murah, penjualan pakaian bekas impor dapat menggerus produk tekstil domestik.
”Konsumen dalam negeri cenderung berorientasi pada harga. Padahal, barangnya (pakaian bekas impor) sudah sangat tidak layak dan berbahaya bagi kesehatan. Ini seperti mengimpor sampah,” ujarnya.
Menurut Rizal, omzet bisnis pakaian bekas bisa tiga kali lipat dari nilai barang. Jadi, jika 551 bal pakaian bekas yang disita itu bernilai Rp 5 miliar, perputaran uangnya diprediksi mencapai Rp 15 miliar.
Pasar menggiurkan
Amir Biki, pemilik 551 bal pakaian bekas impor itu, mengakui, bisnis pakaian bekas di Indonesia menggiurkan. Namun, dia menampik jika nilai barangnya ditaksir Rp 5 miliar dan omzetnya mencapai Rp 15 miliar.
Menurut Amir, 1 bal pakaian bekas bernilai Rp 1,5 juta-Rp 3 juta. Dengan memiliki 551 bal, omzetnya diperkirakan Rp 826, 5 juta-Rp 1,65 miliar.
Dia membelinya dari pemasok pakaian bekas di Medan. Barang tersebut kemudian diangkut menggunakan truk selama tujuh hari ke Bandung.
”Waktu pengiriman tidak menentu. Bisa satu, dua, atau tiga bulan. Tergantung laku tidaknya barang dan ketersediannya dari pemasok di Medan,” ujarnya.
Menurut Amir, pakaian bekas impor tidak menggerus produk dalam negeri. Dia menilai kedua produk mempunyai pangsa pasar masing-masing.
”Ibarat mau makan, kalau punya uang banyak pergi ke restoran. Namun, jika uangnya pas-pasan, makan di warung kaki lima,” ujar laki-laki asal Muara Enim, Sumatera Selatan, itu.
Di balik semua pembelaannya, Amir mengakui bisnis yang dijalaninya ”menabrak” regulasi. Namun, dia tidak ingin semua pihak menyalakan pemasok dan padagang dalam bisnis barang ilegal itu.
Bisnis pakaian bekas berjalan terang benderang sehingga diketahui semua pihak, termasuk pemerintah. Pedagang pakaian bekas juga menyewa kios dan membayar retribusi. Jadi, perputaran uangnya ikut mengalir ke kantong pemerintah.
Apalagi, bisnis pakaian bekas berjalan terang benderang sehingga diketahui semua pihak, termasuk pemerintah. Pedagang pakaian bekas juga menyewa kios dan membayar retribusi. Jadi, perputaran uangnya ikut mengalir ke kantong pemerintah.
Baca Juga: Dari Negara Mana Asal Limbah Plastik Indonesia
Harganya yang miring juga membuat pakaian bekas masih diincar masyarakat. Salah satunya Nurhayati (20), mahasiswa perguruan tinggi swasta di Bandung.
”Harganya murah, kualitas juga masih oke. Cocok untuk kantong mahasiswa,” ujarnya.
Dia mencontohkan, di Pasar Cimol, dia membeli celana jin di kisaran harga Rp 50.000–Rp 100.000 per potong. Namun, jika membeli celana baru, rata-rata harganya di atas Rp 200.000 per potong.
Nurhayati tak menampik banyak pakaian bekas impor kotor dan berjamur. Oleh sebab itu, dia selektif memilih pakaian dan selalu merendamnya menggunakan air panas sebelum dicuci.
Amir hanya bisa pasrah saat petugas Direktorat Jenderal PKTN membongkar 551 bal pakaian bekas miliknya. Namun, dia tetap mengapungkan harapan agar pemerintah tidak hanya menindak pemasok dan pedagang, melainkan menemukan solusi atas masalah itu. Sebab, ada ribuan pedagang menyandarkan ekonomi keluarganya pada bisnis penjualan pakaian bekas tersebut.
”Tolong arahkan kami. Kalau tidak diperbolehkan menjual pakaian bekas impor, terus mau jualan apa?” kata Amir.
Produk sandang ala Cimol ini dicaci, tetapi juga dicari. Jalan keluar harus dicari. Legal hukum dan sehat harus jadi kata kunci.