Tim nasional sepak bola Indonesia perlu segera mengatasi masalah kronis, yaitu buruknya kualitas fisik para pemain, jika ingin bertahan di kualifikasi Piala Dunia 2022.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tim nasional sepak bola Indonesia berpacu dengan waktu untuk memperbaiki penampilannya seusai kekalahan menyakitkan dari Malaysia di laga pertama penyisihan grup G kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia. Mereka telah dinanti Thailand, salah satu tim terbaik di Asia Tenggara yang akan menguji lebih berat mental maupun fisik tim “Garuda”, Selasa (10/9/2019) mendatang.
Timnas Indonesia, yang kini diasuh pelatih kepala Simon Mcmenemy, dihujani kritik seusai kekalahan 2-3 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (5/9). Untuk kali pertama dalam 15 tahun, tim Garuda dibekap “Harimau Malaya” di Tanah Air. Kekalahan itu juga membuat Indonesia terpuruk sebagai juru kunci di grup K kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia yang dihuni lima tim.
Padahal, Indonesia sempat tampil menjanjikan dan unggul dua kali di babak pertama laga yang diwarnai kericuhan menyusul ulah oleh suporter tuan rumah itu. Namun, intensitas permainan Garuda anjlok drastis di pertengahan laga. Mereka bak kehabisan napas maupun energi sehingga kehilangan konsentrasi dan tidak sanggup mengimbangi permainan Malaysia di babak kedua.
“Orang awam pun bisa melihat, stamina mereka anjlok dan tidak lagi sanggup berlari di babak kedua. Lari mereka bahkan mungkin sama seperti saya saat ini, bukan ketika muda dulu. Mereka pun tampil tidak terorganisir, tercerai-berai,” tutur Kas Hartadi (48), mantan pemain timnas di era 1990-an, mengomentari permainan Indonesia kontra Malaysia.
Hartadi merupakan salah satu mantan pemain timnas yang pernah digembleng Anatoli Polosin, mantan pelatih timnas yang dikenal “kejam” dalam menggembleng fisik dan stamina para pemain. Pelatih asal Rusia itu memiliki metode latihan ekstra keras yang disebut “sepak bola bayangan”. Menyadari buruknya stamina mayoritas pemain Indonesia, yang menurutnya “hanya bisa bermain satu babak”, ia menggenjot fisik para pemain dengan latihan ala militer.
Selain sentuhan bola hingga 150 kali di tiap sesi latihan, ia juga memaksa pemainnya rutin berlari 4 kilometer dalam waktu hanya 15 menit. Gemblengen Polosin, pelatih terakhir yang membawa Garuda meraih medali emas di SEA Games, bertujuan mendorong stamina pemain agar setara para pemain Eropa yang ditunjukkan nilai V02 Max sebesar 62 hingga 64. Saat ini, rata-rata V02 Max para pemain timnas adalah di bawah 50.
Hartadi tidaklah menganjurkan timnas meniru metoda Polosin yang terlalu berlebihan dan kurang relevan dengan perkembangan sepak bola modern yang kini juga mengedepankan aspek teknik dan taktik. Hanya saja, ada sisi positif Polosin lainnya yang patut dicontoh, yaitu keberanian mencoret pemain-pemain mapan dan lebih banyak memberikan ruang untuk para pemain muda yang energik.
“Disiplin taktik menjadi kuncinya. Meskipun lelah, rasanya tidak lagi sanggup, kami masih bisa berlari berkat hal yang disebut Polosin sebagai second line, yaitu tenaga lini kedua yang muncul dari semangat dan kemauan tinggi para pemain. Inilah yang tidak ada pada laga kemarin,” ujar Hartadi dihubungi di Jakarta.
Tenaga muda
Semangat serupa juga dibawa Luis Milla. Mantan pelatih Indonesia asal Spanyol itu lebih senang menurunkan pemain-pemain muda, yaitu U-23, di tim senior. Ini sedikit berbeda dengan gaya McMenemy, pelatih saat ini. Ia mengakomodasi lebih banyak pemain berumur serta naturalisasi yang dianggapnya punya pengalaman dan semangat. “Kenyataannya, tim ini (Indonesia) kalah segalanya dari Malaysia yang turun dengan banyak pemain muda,” ujar Dede Supriadi, mantan penyerang timnas Indonesia di era 1980-an.
Mayoritas pemain inti Malaysia pada laga kontra Indonesia berusia di bawah 25 tahun seperti duet penyerang M. Syafiq Ahmad (24) dan Safawi Rasid (22). Sebaliknya, Indonesia diperkuat sejumlah pemain berusia di atas 35 tahun, seperti bek Yustinus Pae (36) dan striker Beto Goncalves (38).
“Tidaklah salah memainkan Beto atau Stefano Lilipaly. Namun, Simon semestinya mengganti mereka di babak kedua karena kenyataannya mereka tidak bisa main terus hingga 90 menit. Saya berharap Simon mengubah skuadnya, menurunkan pemain yang lebih segar dan muda di laga melawan Thailand yang kualitasnya di atas kita. Saat menjadi pemain dulu, saya tidak pernah memaksakan diri tampil penuh ketika sudah berusia hampir 30 tahun,” ujar Dede yang nyaris membawa Indonesia lolos ke Piala Dunia 1986 di Meksiko.
Danurwindo, Direktur Teknik PSSI yang kerap mendampingi McMenemy memantau timnas Indonesia, mengakui masalah fisik yang kurang optimal dari para pemain tim Garuda. Padat dan tidak sinkronnya jadwal Liga Indonesia dengan agenda timnas mengakibatkan para pemain mudah lelah. Sebaliknya, liga di Malaysia telah berakhir, adapun liga di Thailand dan Vietnam ditunda hingga tiga pekan.’
“Saya sudah pernah membahas masalah ini dengan PT Liga (Indonesia Baru). Mereka terpaksa memutar liga seperti saat ini karena tertundanya kick off Liga 1 akibat Pemilu, bulan Ramadhan, dan sebagainya. Jika liga diputar Maret atau April lalu (bukan Mei), semestinya pekan-pekan ini bisa diliburkan dulu,” tuturnya.
Menurutnya, meningkatkan kualitas fisik atau stamina pemain merupakan tanggung jawab klub, bukan timnas. Pelatih timnas, ungkapnya, bertugas mengasah kekompakkan dan taktik timnya. Terkait laga kontra Thailand, ia berkata, McMenemy semestinya telah punya gambaran untuk memperbaiki kelemahan Indonesia sekaligus mencari titik lemah Thailand. “Saat ini, yang terbaik adalah pemulihan dulu, baik fisik maupun mental,” tuturnya.