Jalan Perjuangan RRI
Radio awalnya diramalkan akan mati, kalah dengan televisi dan media daring yang bergerak cepat dan lebih variatif. Namun, nyatanya Radio tetap punya penggemarnya sendiri. Demikian pula RRI, stasiun radio penuh sejarah.
Radio saat ini nyaris tenggelam dalam pergulatan dunia informasi. Kalah dengan televisi serta media online dan digital yang terus bergerak cepat setiap saat dengan sajian yang lebih variatif.
Namun, bukan berarti radio sudah habis. Radio tetap punya penggemar. Tetap memiliki tempat di hati masyarakat.
Begitu juga Radio Republik Indonesia milik negara. Meski kondisinya tidak lagi berjaya seperti dulu, peran besar RRI selalu dinanti. Apalagi, RRI menjadi satu-satunya media yang mewartakan kemerdekaan Indonesia pada Jumat 17 Agustus 1945 ke seluruh penjuru dunia.
Peran pentingBerdasarkan catatan Kompas sejak edisi 13 Agustus 1970, peran RRI terjadi pada Jumat menjelang siang. Joesoef Ronodipoero (ejaan baru Yusuf Ronodipuro) yang saat itu sebagai penyiar radio Hoso Kyoku, radio milik Jepang di Jakarta, berada di kantornya. Dia bersama Bachtiar Lubis dan para wartawan lainnya dilarang meninggalkan gedung studio.
Tiba-tiba datanglah Syahruddin, sesama wartawan radio. Dia menyerahkan secarik kertas dari Adam Malik, pimpinan gerakan pemuda di Jakarta. Surat itu berisi coretan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Soekarno-Hatta atas nama rakyat Indonesia pada sekitar pukul 10.00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Kedatangan Syahruddin ditemani tokoh pemuda, seperti Soekarni Kartodiwirjo dan Shigetada Nishijima, ajudan Laksamana Muda Maeda Tadashi. Nishijima dan Maeda adalah orang Jepang yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Syahruddin menemui Yusuf, sedangkan pemuda lainnya berada di luar gedung untuk berjaga-jaga serta mengamati situasi sebab penjagaan tentara Jepang sangat ketat. Seperti sudah kontak batin, Yusuf pun langsung memahami kedatangan Syahruddin.
Seolah dia diminta segera menyiarkan kabar proklamasi kemerdekaan melalui radio. Namun, situasi di studio yang tidak kondusif saat itu membuat Yusuf tidak langsung menyiarkan. Momentum bersejarah itu baru muncul sekitar pukul 19.00. Kebetulan ada bekas studio untuk siaran berita luar negeri yang tidak terpakai. Di situlah disiarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Saat memasuki ruang itu ternyata studio yang ada tidak tersambung lagi dengan pemancar. Yusuf pun tidak hilang akal. Dia segera menyambungkan pemancar siaran dari studio lain.
Malam itu, suara Yusuf pun menggema mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia telah merdeka. Saat yang sama pula, rekan Yusuf bernama Soeprapto menyiarkan proklamasi versi bahasa Inggris sehingga radio-radio dari negara lain, seperti Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat, ikut meneruskan siaran tersebut.
Sekejap Jepang bereaksi. Pukul 21.00, Yusuf bersama Bachtiar diinterogasi dan dihajar habis-habisan oleh polisi Dai Nippon. Sekujur tubuh mereka babak belur dan berdarah. Keduanya nyaris mati dihunus pedang. Beberapa detik sebelum pedang menyentuh leher Yusuf dan Bachtiar, datang seorang perwira Jepang yang mengenal keduanya dan memerintahkan eksekusi itu dihentikan.
Selepas dari siksaan tentara Jepang, semangat Yusuf semakin membara. Dia pun terlibat dalam gerakan bersama barisan pemuda ”Menteng 31” Jakarta. Dalam organisasi ini, dia dibantu Abdurahman Saleh, dokter yang merawatnya setelah disiksa Jepang, merakit pemancar radio dari barang bekas.
Mereka berhasil. Lahirlah radio pertama milik orang Indonesia yang diberi nama Radio Suara Indonesia Merdeka atau The Voice of Free Indonesia.
Pada 25 Agustus 1945, untuk pertama kalinya pidato Soekarno sebagai Presiden RI disiarkan langsung oleh radio. Begitu pula pidato Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 29 Agustus 1945.
Sejak 1925
Bagi masyarakat Indonesia, radio sesungguhnya bukan hal baru. Sejak 16 Juni 1925, radio mulai pertama kali mengudara melalui radio Bataviase Radio Vereniging (BRV) pada masa penjajahan Belanda.
Ini hanya berjarak lima tahun dari Amerika Serikat, serta di Inggris dan Uni Soviet tahun 1922. Mulai tahun 1925, lahir banyak radio di sejumlah kota di Indonesa, seperti Bandung, Surabaya, Semarang, dan Medan. Namun, semuanya dalam kendali penjajah.
Seusai kemerdekaan, Yusuf bersama sejumlah pegiat radio, antara lain Abdulrahman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Hadi, dan Maladi, melakukan konsolidasi. Mereka terus meyakinkan pemerintah tentang pentingnya kehadiran radio milik negara yang dapat digunakan untuk meningkatkan hubungan yang luas dan cepat dengan seluruh masyarakat Indonesia dan dunia.
Berbagai langkah dilakukan, termasuk keinginan mengambil alih radio Hoso Kyoku dan kantor berita Domel dari Jepang. Rencana ini ditentang Jepang dengan alasan, sesuai perjanjian, semua asetnya di Indonesia wajib diserahkan kepada sekutu sebagai pemenang perang.
Para pemuda itu tetap gigih berjuang. Maka, 11 September 1945, mereka berhasil merebut radio Hoso Kyoku dan Kantor Berita Domei. Seperti diungkapkan Kustiniyati Mochtar dalam Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Zaman Singapura 1945-1950, Hoso Kyoku kemudian menjadi Radio Republik Indonesia (RRI) dan Domei menjadi Kantor Berita Antara. Lalu, 11 September 1945 ditetapkan menjadi hari lahir RRI.
Yusuf kemudian dipercaya memimpin RRI dan melahirkan jargon ”Sekali di Udara Tetap di Udara” yang terus bergema hingga saat ini. Sementara kepemimpinan Kantor Berita Antara yang pertama kali dipercayakan kepada Adam Malik yang beberapa waktu setelahnya menjadi Menteri Luar Negeri dan Wakil Presiden RI.
Seusai masa perjuangan, RRI pun terus berbenah agar selalu dekat dengan masyarakat. Tradisi mendengar di kalangan masyarakat Indonesia yang begitu kuat menjadikan radio, terutama RRI, terus eksis.
Pada masa Orde Baru, misalnya, selain menginformasikan berita nasional dan internasional, RRI juga setiap hari mewartakan soal perkembangan harga kebutuhan pokok yang di sejumlah pasar induk di berbagai kota besar.
Informasi tentang harga ini sungguh dibutuhkan masyarakat di berbagai pelosok Nusantara. Termasuk para petani, peternak, dan nelayan. Mereka mengetahui dengan pasti perkembangan harga komoditas, hewan, dan ikan hasil budidaya. Di luar itu, RRI juga selalu menggelar pemilihan bintang radio sebagai upaya mendekatkan diri dengan masyarakat.
Kini, tantangan yang dihadapi RRI semakin rumit dan sengit. Sebagai radio milik negara, RRI pun tidak luput dari tuntutan inovasi, kreativitas, kerja keras, serta profesionalitas. Dirgahayu ke-74 Radio Republik Indonesia...
Sumber:
1. Kompas, Kamis, 13 Agustus 1970, halaman 9, Kompas, Rabu, 13 September 1972, halaman 4, Kompas, Sabtu, 16 Agustus 1975, halaman 1, Kompas, Minggu, 14 September 1980, halaman 6, Kompas, Rabu, 16 Agustus 1995, halaman 21, Kompas, Jumat, 13 September 1996, halaman 10, Kompas, Senin, 11 September 2006, halaman 2.