Dari Kota ”Buangan” Menuju Kota Aerotropolis
Kota Tangerang sejak awal tidak dipersiapkan menjadi sebuah kota untuk tempat tinggal atau servis orang Belanda (penjajah). Tangerang bahkan menjadi rujukan tempat tahanan. Kini, Kota Tangerang menuju aerotropolis.
Kota Tangerang sejak awal tidak dipersiapkan menjadi sebuah kota untuk tempat tinggal atau servis orang Belanda (penjajah). Sejak zaman kolonial, di kawasan pusat Kota Tangerang sudah terdapat tempat tahanan atau penjara.
Tangerang sebagai kota ”buangan” makin dipertegas dengan kebijakan pemerintah pusat mengalihkan pembangunan penjara ke Tangerang (dulu masih wilayah Kabupaten Tangerang dan kini dimekarkan menjadi Kota Tangerang). Akan tetapi, dalam perkembangannya, Kota Tangerang menjadi kota aerotropolis, sebuah kota yang mengusung konsep dengan tata letak, infrastruktur, dan ekonomi yang berpusat pada bandar udara.
Kesan penjara yang menyeramkan, ruangan sel dengan jeruji besi yang di dalamnya jorok dan kotor, terbantahkan ketika kaki menginjak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Kota Tangerang di Jalan Daan Mogot, Kelurahan Tanah Tinggi, Kota Tangerang, Rabu (4/9/2019) siang.
Sebelumnya, tempat ini dikenal dengan nama Lapas Anak dan Wanita.
Suara alat musik memecahkan keheningan di siang itu. Sekelompok wanita muda yang membentuk grup musik Teralis Band mendendangkan beberapa lagu di sebuah joglo yang berada di sudut kiri lapangan di dalam lapas tersebut.
”Setiap siang, band ini terus berlatih. Mereka memanfaatkan waktu istirahat untuk berlatih. Ada pemain musik dan penyanyinya. Malah, mereka sudah menciptakan sebuah lagu berjudul ’Terima Kasih’,” kata Kepala Lapas Kelas II A Tangerang Prihartati seusai menemani grup band berlatih.
Siang itu, Bupati Temanggung, Jawa Tengah, Muhamad Al Khadziq menjenguk istrinya, Eni Maulani Saragih, yang menjalani hukuman di lapas tersebut. Politisi dari Partai Golkar itu divonis 6 tahun penjara dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1. Ia menghuni lapas itu sejak Maret 2019.
Suasana pada siang itu makin meriah setelah Al Khadziq tampil di panggung (joglo). Tak hanya menampilkan kemahirannya memainkan gitar, ia juga mendendangkan lagu ”Kangen” ciptaan Ahmad Dhani untuk istrinya.
Semua di sekitar tempat ini ikut berdendang dan sesekali bergoyang mengikuti alunan musik. Seketika, suasana menjadi begitu romantis, apalagi setelah Eni, sang istri, duduk mendampingi suaminya yang sedang memetik gitar dan menyanyi.
Saat menikmati pertunjukan musik, warga binaan lainnya, Atut Chosiyah, bekas Gubernur Banten yang terlibat kasus korupsi kepala daerah, melintas di jalan yang berada di tengah lapas.
Suasana kekeluargaan di tempat ini tidak seperti sebuah penjara. Mirip sebuah kafe dengan live music. Padahal, di sekelilingnya berdiri kokoh tembok tinggi dan di atasnya terdapat kawat berduri.
”Di sini tidak terasa seperti berada di dalam penjara. Saya dan warga binaan di sini merasa seperti dalam pondokan, sedang mondok di sini,” cerita Eni sembari tersenyum.
Prihartati mengatakan, lapas ini memiliki luas 66.000 meter persegi. Sebelumnya, lapas ini bernama Lapas Kelas II B Anak dan Wanita Tangerang. Berbeda dengan lapas lainnya, tempat ini terdiri dari bangunan berupa pavilion dan pada bagian tengah dan luar lapas terdapat lapangan luas.
Lapas yang saat ini berpenghuni 600-an ini memiliki luas bangunan 39.560 meter persegi, terdiri dari tujuh pavilion untuk tempat mondok serta masing-masing satu paviliun untuk kegiatan warga binaan, Museum Pemasyarakatan, gedung perkantoran, serta ruangan-ruangan lain.
Selain warga binaan, di dalam lapas ini tinggal sembilan anak balita, anak dari warga binaan yang sedang menjalani masa tahanan.
Paviliun itu diberi nama yang berhubungan dengan bunga, seperti Melati, Mawar, Matahari. Ada juga pavilion karantina Masa Pengenalan Lingkungan (Maspeling) dan Isolasi.
Berbeda dengan lapas lainnya, paviliun-paviliun di tempat ini lebih bersih, tertata dengan baik. Setiap kamar, di beberapa paviliun dihuni sebanyak 14 warga binaan. Ada paviliun yang hanya dihuni tiga orang.
Tempat pengasingan
Bangunan lapas ini adalah peninggalan pemerintah kolonial Belanda dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Dalam sejarahnya, kawasan tersebut didirikan pada 1928 oleh pemerintah Hindia Belanda bukan sebagai penjara, melainkan sebagai tempat mengasingkan anak Indo Belanda yang nakal. Pada 1934, bangunan ini dikelola Yayasan LOG, kemudian oleh Yayasan Pro Juventute.
Pada masa pendudukan Jepang, bangunan tersebut beralih fungsi sebagai tempat tahanan perang.
Di dekat pintu masuk lapas, masih berdiri gagah sebuah menara lonceng dengan tulisan tahun 1877 di bagian puncaknya. Sayangnya, tidak ditemukan catatan mengenai sejarah menara lonceng dan tulisan angka tahun 1877 itu. Menurut keterangan petugas lapas, lonceng tersebut berfungsi sebagai tanda bahaya.
Dalam sejarahnya, pada masa awal kemerdekaan, bangunan tersebut pernah digunakan sebagai Akademi Militer Tangerang meskipun hanya beberapa bulan, yakni 18 November 1945 hingga 22 Maret 1946.
Selain Lapas Kelas II A ini, dua tempat yang berkaitan dengan keberadaan Akademi Militer Indonesia di Tangerang adalah Lapas Anak Pria dan Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna yang lokasinya berdekatan.
Saat itu, Direktur Akademi Militer Tangerang dijabat Mayor Daan Mogot. Ia membuka pendaftaran bagi pemuda berusia 18-25 tahun yang mau mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Daan Mogot, pahlawan asal Manado, Sulawesi Utara, gugur dalam peristiwa Lengkong, 25 Januari 1946. Sepak terjang Mayor Daan Mogot kemudian dilanjutkan oleh Mayor Kemal Idris.
Tahun 1962, kompleks bangunan tersebut diserahkan kepada Departemen Kehakiman sebagai Rumah Pendidikan Negara.
Pada 1964, tempat ini berganti nama menjadi Lapas Anak Wanita Tangerang. Selanjutnya, tahun 1977 berubah menjadi Lapas Anak Negara Wanita dan tahun 1985 berganti lagi menjadi Lapas Kelas II B Anak Wanita Tangerang. Sejak 2017 hingga sekarang, namanya menjadi Lapas Kelas II A Tangerang.
Meski kelam, jangan pernah melupakan sejarah. Dalam sejarahnya, Tangerang tidak dirancang menjadi sebuah kota, tetapi sebagai tempat pembuangan.
Dalam wawancara khusus dengan Wali Kota Tangerang periode 1998-2003, Mochammad Thamrin, beberapa waktu lalu, semasa kecil saat tinggal bersama orangtuanya di Kuningan, Jawa Barat, ia punya kenangan tentang Tangerang.
Setiap kali bandel, kata Thamrin, orangtuanya langsung mengancam akan membuangnya ke Tangerang (Kompas, 26/2/2019).
Sejak zaman penjajahan Belanda, lanjut Thamrin, Tangerang sudah identik dengan tempat pembuangan. Siapa pun dia, termasuk serdadu Belanda, kalau melakukan kejahatan, orang itu bakal dibuang ke Tangerang.
Thamrin membenarkan, pada zaman Belanda, di pusat Kota Tangerang (kawasan Pasar Anyar dan Pasar Lama) terdapat pendopo, masjid, penjara, dan alun-alun.
Pemerhati dan budayawan China di Tangerang, Oey Tjin Eng, menjelaskan, penjara di masa kolonial Belanda berada persis setelah sebuah pos polisi kecil yang disebut pocis. Tempatnya sederetan dengan Pendopo Tangerang, tempat penampungan (amfrag) pasir dan kerikil yang saat ini menjadi Gedung Dharma Wanita.
”Lokasi itu merupakan benteng yang menjadi tempat tanahan,” kata Oey Tjin Eng, Sabtu (7/9/2019).
Sejarah tentang Tangerang sebagai kota ”buangan” dengan banyaknya penjara juga diakui Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar.
Dalam wawancara dengan harian Kompas beberapa waktu lalu di Pendopo Kabupaten Tangerang di Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Zaki menyebutkan, Tangerang harus menerima keputusan dari pemerintah pusat.
Tahun 1970-an, ketika pemerintah pusat tidak mau ada penjara di Jakarta, enam penjara dibangun di wilayah Tangerang. Saat itu, Kota Tangerang masih masuk wilayah Kabupaten Tangerang.
Kelima penjara tersebut terdapat di Kecamatan Tangerang dan satu lainnya saat ini masuk wilayah Kabupaten Tangerang, yakni Lapas Jambe. Penjara-penjara ini menempati bangunan tua peninggalan Belanda.
Seperti Lapas Anak Wanita di Jalan Daan Mogot, hanya berjarak sekitar 900 meter, terdapat Lapas Anak Pria di Jalan Daan Mogot dan TMP Taruna. Berjarak tidak sampai 1 kilometer, di Jalan Lapas terdapat Lapas Pemuda. Dua penjara lainnya adalah Lapas Pria Dewasa di Jalan Veteran dan Lapas Wanita Dewasa di Jalan Mochammad Yamin. Jarak kedua lapas tersebut lebih dari 1 kilometer dari Lapas Pemuda (Kompas, 26/2/2019).
Taman indah dan menyenangkan
Kesan seram sebuah ruang tahanan tidak terlihat di Lapas Kelas II A ini. Justru pemandangan ini mulai dari lapangan dan halaman parkir di luar bangunan yang berada di pinggir Jalan Daan Mogot.
Halaman luas ditata menjadi kebun tanaman obat apotek hidup, buah-buahan, sayuran, dan bunga. Apotek hidup seperti tanaman jahe merah, temulawak, kunyit, kumis kucing, saga, sambiloto, serai, dan handeleum. Bunga berwarna-warni, kuning-putih, jingga, dan merah menghiasi taman tersebut.
Tidak hanya itu. Hewan jenis unggas peliharaan, seperti sejenis ayam dan burung, juga menghiasi taman tersebut. Ada juga kolam budidaya ikan lele di taman itu.
”Yang merawat semua ini adalah para warga binaan. Mereka merawatnya setiap hari,” ujar Hasnah yang mendampingi Kompas melihat kawasan di luar gedung lapas.
Masih di sekitar taman bunga terdapat sebuah kafetaria yang cukup besar dilengkapi dengan meja taman dan payung. Kafetaria itu untuk memfasilitasi keluarga warga binaan yang datang menjenguk.
Lapas tersebut mulai berdandan setelah Prihartati menjadi kepala lapas di tempat ini awal tahun 2017.
”Saya masuk di sini November 2016. Belum tertata seperti ini. Setelah Ibu (Prihartati) menjadi kalapas, baru tertata seperti ini,” ucap Daryanti (35), warga binaan kasus narkotika.
Di sekitar panggung (joglo) tempat pertunjukan musik terbangun tempat duduk dan meja dengan payung dan taman bermain anak, seperti perosotan.
Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Tangerang menemukan dua makam kuno di halaman depan gedung lapas tersebut. Kini, bersama pegiat budaya Kota Tangerang, mereka melakukan penelitian terkait makam tersebut.
Museum Pemasyarakatan
Keunikan Lapas Kelas II A Tangerang adalah memiliki Museum Pemasyarakatan. Museum ini memanfaatkan salah satu paviliun yang berada di kompleks lapas. Museum diresmikan pada 17 Agustus 2017 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Namun, hingga saat ini, museum belum dibuka untuk umum meskipun sudah menerima kunjungan dari lembaga.
”Pengunjung dari lembaga misalnya dari sekolah tinggal menyurat kepada kami, berapa jumlah pesertanya,” kata Desyana, anggota staf umum Lapas II A Tangerang.
Keunikan Lapas Kelas II A Tangerang adalah memiliki Museum Pemasyarakatan.
Museum tersebut menyimpan berbagai benda terkait sejarah lapas sejak era pemerintah kolonial Belanda. Koleksi museum berasal dari sejumlah lapas di Indonesia. Museum menyimpan koleksi antara lain timbangan, mesin cetak, alat tenun, helm sipir, senjata api dan kelewang yang digunakan sipir, lonceng, dan lampu antik. Dua lonceng yang tersimpan di museum berangka tahun 1771 dan 1841.
Menurut Desyana, kedua lonceng itu berasal dari Lapas Kelas I Surabaya. Benda koleksi lainnya seperti buku catatan lapas berasal dari Bandung.
Koleksi foto-foto tua menunjukkan suasana lapas dari zaman kolonial Belanda, zaman Jepang, hingga zaman setelah kemerdekaan. Sebuah foto menunjukkan bagaimana para pesakitan di masa kolonial Belanda menjalani hukuman, mulai dari dicambuk hingga hukuman mati dengan digantung.
Salah satu koleksi unik museum adalah sebuah kursi untuk menghukum pesakitan yang terbuat dari besi. Pada bagian bawah kursi terdapat rongga untuk menyalakan bara sehingga pesakitan yang didudukkan di kursi itu merasa kepanasan.
Sayangnya, benda koleksi Museum Pemasyarakatan belum dilengkapi informasi sehingga pengunjung yang datang tidak mengetahui sejarahnya. Sebagian koleksi foto tampak sudah dilengkapi informasi.
Kota aerotropolis
Dalam perkembangannya, Kota Tangerang terus tertata. Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah memiliki ide untuk menjadikan Kota Tangerang sebagai kota aerotropolis, sebuah kota yang mengusung konsep dengan tata letak, infrastruktur, dan ekonomi yang berpusat pada Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Arief menjelaskan, luas wilayah Kota Tangerang 184 kilometer persegi. Sebesar 10 persen dari luas tersebut merupakan wilayah Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Oleh karena itu, dalam diskusi Forum Ekonomi Nusantara yang digelar Kompas dengan tajuk ”Mempercepat Pembangunan Rumah Sederhana” di Jakarta, Rabu (26/10/2016), Arief menyampaikan gagasan pengembangan Kota Tangerang ke arah aerotropolis karena keberadaan bandara harus menjadi pusat pengembangan kota ke depan.