Fenomena kusta di Papua ibarat puncak gunung es. Sejumlah perkampungan di pedalaman Papua diduga menjadi kantong kusta.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena kusta di Papua ibarat puncak gunung es. Sejumlah perkampungan di pedalaman Papua diduga menjadi kantong kusta.
Survei lapangan oleh peneliti Litbang Kesehatan Papua, yang dipimpin peneliti Hana Krisnawati pada 12-17 Agustus 2019, menemukan dua kampung di pedalaman Asmat memiliki prevalensi kusta hingga di atas 50 persen.
Kurangnya kesadaran dalam menjaga kebersihan dan berbaurnya penderita yang belum diobati menjadi penyebab tingginya kusta di kampung-kampung terisolasi di Papua. Akses menuju daerah pedalaman yang sulit membuat layanan kesehatan terbatas. Akibatnya, siklus penularan di dalam kampung sangat mungkin terjadi.
Dua daerah yang telah diidentifikasi memiliki penderita kusta dan terduga kusta sangat tinggi itu adalah Kampung Daikot dan Kampung Somnak di Distrik Joutu, masing-masing sekitar enam jam dan tujuh jam dengan perahu cepat dari kota Agats, ibu kota Asmat. Kedua kampung ini masing-masing dihuni sekitar 200 dan 300 jiwa.
”Dua kampung ini termasuk kantong lepra. Dari survei saya, angkanya bisa sampai di atas 75 persen populasi,” kata Hana.
Dua kampung ini termasuk kantong lepra. Dari survei saya, angkanya bisa sampai di atas 75 persen populasi.
Tingginya penderita kusta di Asmat juga pernah ditemukan di Kampung Mumugu, Distrik Sawa Erma, yang berbatasan dengan wilayah Nduga di Pegunungan Tengah.
Menurut Hana, beberapa tahun lalu peneliti Belanda menemukan penduduk di Mumugu yang menderita kusta hingga di atas 70 persen. Saat ini kondisi di Mumugu sudah ditangani. Namun, banyak kampung di pedalaman yang kasusnya serupa Mumugu, seperti di Daikot dan Somnak.
Sebagian besar penderita dan terduga kusta di Daikot dan Somnak adalah anak-anak. Banyak di antara mereka mengalami kecacatan pada kaki dan tangan.
Salah seorang anak usia 12 tahun dari Kampung Somnak, yang baru diidentifikasi positif kusta, mengaku tidak tahu tentang bahaya penyakit ini. Dia hanya mengatakan selama ini sering mengalami sakit di persendian, selain sebagian kulit punggungnya yang telah kebas dan memutih.
Kepala Kampung Somnak Tadius Juto (60) mengatakan, penderita kusta hidup berbaur dengan warga lainnya. Masalahnya, belum semua telah diobati sehingga banyak menularkan ke warga lain, terutama anak-anak.
Identifikasi awal kusta menjadi penting karena kalau ditangani sejak dini, penyakit ini bisa diatasi. Pemberian obat secara teratur juga bisa mencegah penularan ke orang lain.
Untuk mencegah penularan, penderita kusta harus diobati. Obat untuk penyakit kusta harus diminum secara teratur selama 6 bulan untuk penderita kusta kering dan 12 bulan untuk penderita kusta basah. Obat ini pun telah disediakan oleh pemerintah secara gratis.
Masalahnya, berdasarkan kajian Hana, sebagian penderita kusta di Papua ternyata alergi terhadap Dapson, obat kusta yang menjadi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Alergi ini bisa memicu kematian.
Selain pemeriksaan fisik, Hana telah mengambil sampel kulit di belakang telinga dan darah warga di dua kampung ini. Sampel tersebut dikumpulkan dan akan dilakukan berbagai uji laboratorium, termasuk resistensi kuman Mycobacterium lepra terhadap obat kusta.
Selain itu, sampel darah dikumpulkan untuk analisis genetik kompatibilitas terhadap kusta dan potensi alergi Dapson. Semua pemeriksaan sampel dilakukan laboratorium Balai Litbangkes Papua. Hasil pemeriksaan akan segera diinformasikan ke dinas kesehatan kabupaten sehingga intervensi dapat dilakukan secepatnya, terutama yang berkaitan dengan potensi alergi obat.