Perpaduan Pendidikan Modern dan Tradisi bagi Masyarakat Adat
›
Perpaduan Pendidikan Modern...
Iklan
Perpaduan Pendidikan Modern dan Tradisi bagi Masyarakat Adat
Kombinasi pengetahuan modern dan adat menjadi kunci bagi warga adat dalam beradaptasi sekaligus memajukan desa. Salah satu cara yang dilakukan adalah mempelajari aksara Latin dan bahasa Indonesia.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS—Belajar aksara Latin dan bahasa Indonesia tidak mengikis identitas budaya di masyarakat adat. Itu memberikan kesempatan mendapat wawasan tentang dunia luar dan perkembangan baru sebagai pertimbangan warga mengelola desa.
”Sebagai masyarakat adat, kita tak boleh menutup diri dari dunia luar. Pengaruh dunia luar tak bisa dihindari, tapi harus dihadapi lewat pengetahuan modern dan adat,” kata Bandangan, tokoh masyarakat adat Toraja yang meraih penghargaan Tokoh Adat Pendukung Literasi, di Hari Aksara Tingkat Nasional yang diperingati di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (7/9/2019). Ia adalah Kepala Desa Panura, Kecamatan Pana, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Menurut Bandangan, melek huruf Latin dan mampu berbahasa Indonesia memberi warganya kesempatan mendapat pekerjaan lebih variatif sehingga memacu ekonomi desa. Adapun warga berusia di atas 30 tahun didorong mengikuti pendidikan keaksaraan agar bisa berkomunikasi dan menambah wawasan mengelola usaha rumahan seperti kriya.
Melek huruf Latin dan mampu berbahasa Indonesia juga menumbuhkan kesadaran orangtua bahwa sekolah menjadi prioritas bagi anak. Mereka tak minta anaknya putus sekolah demi bekerja, apalagi menikah di usia remaja.
Keputusan anak-anak muda desanya merantau ke kota selepas SMA jadi pintu bagi mereka belajar ilmu baru. Kelak mereka akan kembali ke desa dengan memahami hal positif yang bisa diadaptasi di desa. Di saat sama, warga mengetahui hal yang tak cocok dengan budaya Toraja agar bisa menghindarinya.
”Pendidikan modern menguatkan pemahaman lintas generasi tentang Toraja agar tahu cara orang Toraja ikut perubahan tanpa terseret arus,” kata Bandangan.
Pendidikan modern menguatkan pemahaman lintas generasi tentang Toraja agar tahu cara orang Toraja ikut perubahan tanpa terseret arus.
Promosi budaya
Sementara itu, Wahid, tokoh adat Sunda Wiwitan dari Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mengutarakan literasi Bahasa Indonesia dan digital penting untuk mempromosikan budaya Sunda Wiwitan secara luas. "Menjadi masyarakat adat bukan berarti harus kuper," ucapnya.
Ia menjelaskan, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, masyarakat Sunda Wiwitan harus mengenal negaranya dan berbagai elemen di dalamnya. Pendidikan modern memungkinkan hal itu terjadi. Di saat yang sama, pendidikan modern pula yang bisa mengenalkan kekayaan adat istiadat Sunda Wiwitan kepada masyarakat Indonesia, bahkan global.
"Literasi digital membuat kami bisa membuka diri dan menjadi bagian dari dunia. Harapannya, dengan saling mengenal antara suku bangsa yang berbeda bisa melahirkan toleransi dan saling menghargai," ucap Wahid.
Bukan tertinggal
Direktur Jenderal PAUD dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar menjelaskan, persepsi pendidikan keaksaraan adalah tidak boleh menganggap masyarakat adat sebagai komunitas yang tertinggal. "Mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang dengan kesadaran penuh meninggalkan elemen-elemen yang kita anggap modern guna menjaga tradisinya," katanya.
Pendekatan yang dilakukan ialah memberi informasi mengenai wajib belajar 12 tahun dan manfaat multiliterasi Bahasa Indonesia, numerasi, digital, finansial, dan berkewarganegaraan. Komunitas adat yang menimbang dan memutuskan cara mengadaptasi yang cocok bagi mereka. Oleh sebab itu, program Pendidikan Keaksaraan untuk Komunitas Adat Khusus juga bersifat fleksibel dan praktik lapangannya digarap bersama tokoh adat.