Tak semua segmen pasar properti lesu. Ada segmen yang tetap jaya, yakni menengah-bawah. Segmen inilah yang kini jadi favorit pengembang karena permintaannya tak pernah habis di tengah ketidakpastian ekonomi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Tanda-tanda melambatnya sektor properti mulai terasa sejak 2014 seiring dengan memudarnya booming komoditas. Harga rumah yang sebelumnya pernah ”gila-gilaan” dengan kenaikan sampai 40 persen dalam setahun perlahan meredup. Tentu harga rumah tidak pernah turun, tetapi lebih ke stagnan.
Segmen pasar properti yang paling terdampak adalah rumah untuk segmen menengah ke atas. Jika dulu harga rumah miliaran rupiah laris manis, kini segmen tersebut tampak mati suri. Penyebabnya, pembeli rumah di segmen tersebut kebanyakan merupakan investor.
Mereka membeli rumah untuk kepentingan investasi karena sudah memiliki tempat tinggal lain. Ketika investasi di properti dinilai kurang mengilap, mereka dengan mudah beralih ke instrumen investasi lain.
Akibatnya, tidak mudah bagi pengembang untuk menjual rumah baru dengan harga di atas Rp 1 miliar jika tidak memberikan nilai tambah lain, seperti lokasi yang strategis dengan fasilitas umum yang lengkap.
Meski demikian, tidak semua segmen pasar properti lesu. Masih ada segmen pasar yang tetap berjaya, yakni segmen menengah ke bawah. Harga rumah di segmen ini di bawah Rp 1 miliar. Pembelinya adalah kelompok masyarakat yang membutuhkan rumah untuk dihuni, yang sebagian besar merupakan keluarga muda.
Di segmen itu terdapat kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang membeli rumah dengan bantuan subsidi pemerintah. Segmen inilah yang kini menjadi favorit sebagian besar pengembang karena permintaannya tidak pernah habis dan justru terus bertambah.
Besarnya permintaan di segmen masyarakat berpenghasilan rendah ini menjadi harapan bagi pengembang bahwa bisnis properti masih dapat berjalan di tengah situasi ekonomi yang kurang menguntungkan.
Menurut Fitch Ratings Indonesia, pergerakan pasar properti semester II-2019 diperkirakan masih akan didominasi segmen menengah ke bawah atau hunian dengan kisaran harga Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per unit. Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia memberikan arah positif meski dampaknya tak langsung.
Segmen menengah ke bawah kini jadi favorit pengembang karena permintaannya tak pernah habis di tengah ketidakpastian ekonomi.
Di sisi lain, sebagaimana perkembangan digital di semua lini kehidupan, demikian pula di sektor properti. Setidaknya di sisi pemasaran, makin banyak portal pemasaran rumah yang masuk ke pasar primer atau sekunder.
Sebuah pemasar properti daring mengklaim situs mereka dikunjungi sampai 5 juta pengunjung dalam waktu satu bulan. Meski tidak semua berlanjut dengan transaksi, hal itu memperlihatkan bahwa minat membeli rumah masih sangat besar. Yang menarik, kebanyakan pengunjung mencari rumah dengan harga di bawah Rp 500 juta per unit.
Melihat hal itu, pengembang memang dituntut untuk mengambil langkah strategis agar tetap bertahan. Tidak heran jika kemudian ada pengembang besar yang masuk dan semakin serius menggarap pasar menengah ke bawah.
Mereka tidak masuk ke segmen rumah subsidi, tetapi lebih menggarap kelompok pekerja dengan pendapatan nanggung, yakni di atas kelompok berpenghasilan rendah, tetapi dengan upah di bawah Rp 10 juta. Di kelompok ini pula sebagian besar pekerja muda yang termasuk generasi milenial berada.
Bagi kelompok tersebut, membeli rumah yang berada di pinggiran kota masih bisa dimaklumi asalkan dekat dengan angkutan transportasi massal. Itulah sebabnya lokasi hunian yang dekat dengan simpul transportasi, seperti kereta komuter dan kereta ringan, sangat diminati karena memudahkan mobilitas seseorang.
Sektor properti memang lesu. Namun, bukan berarti tidak ada peluang. Masyarakat yang memerlukan rumah masih sangat besar yang ditunjukkan dengan angka kekurangan rumah yang jumlahnya jutaan. Kini tinggal bagaimana menyediakan produk yang tepat bagi segmen tersebut dengan harga terjangkau. Sebab, kebutuhan rumah tidak ada matinya.