Tantangan Transformasi Partai Demokrat
Partai Demokrat mendapat tantangan serius agar tak hanya bertahan namun juga makin mengokohkan posisinya sebagai salah satu partai politik papan atas di negeri ini. Renungan di hari lahir yang ke-18 tahun.
Kehadiran Partai Demokrat dalam panggung politik di Indonesia tidak lepas dari figur Susilo Bambang Yudhoyono. Menurunnya perolehan suara partai ini di dua pemilu terakhir dapat menjadi salah satu indikasi bahwa Partai Demokrat tak bisa lagi hanya bertumpu pada figur. Transformasi kepartaian menjadi jalan penentu masa depan partai.
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan semakin meredupnya perolehan suara dan kursi Partai Demokrat meskipun penurunannya tidak setajam yang dialami partai ini pada Pemilu 2014. Penurunan apresiasi pemilih pada partai ini seiring dengan berakhirnya masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada Pemilu 2019, suara yang diraih Partai Demokrat mencapai 10,8 juta atau sekitar 7,7 persen suara nasional. Angka ini menurun 14,5 persen dibandingkan pencapaiannya pada Pemilu 2014. Pada pemilu lima tahun lalu itu, partai ini meraih 12,7 juta suara atau 10,2 persen dari total suara sah nasional.
Perolehan suara kala itu tentu tidak lepas dari posisi Yudhoyono yang masih menjabat sebagai presiden di akhir-akhir masa jabatannya. Tentu, jika dibandingkan dengan Pemilu 2009, yang diraih Partai Demokrat di dua pemilu terakhir ini (2014 dan 2019) masih jauh dari apa yang pernah diraih partai ini sepuluh tahun lalu.
Penurunan apresiasi pemilih pada partai ini seiring dengan berakhirnya masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemilu 2009 adalah puncak prestasi Partai Demokrat. Saat itu, Yudhoyono sudah menjabat satu periode kepresidenan dan maju kembali sebagai calon presiden. Dengan kepuasan publik yang relatif positif pada kinerja pemerintah kala itu dan pamor Yudhoyono yang berada dalam puncak popularitas sebagai presiden petahana, Partai Demokrat meraih 21,2 juta suara atau 20,4 persen suara sah nasional. Hasil ini mengantarkan Demokrat sebagai partai politik pemenang pemilu dengan 148 kursi atau setara 26,4 persen dari total kursi DPR.
Pencapaian pada Pemilu 2009 ini menjadi lonjakan signifikan bagi Partai Demokrat yang kala itu baru berumur delapan tahun. Salah satu faktor yang turut mengangkat pamor partai ini sehingga sukses pada Pemilu 2009 adalah posisinya sebagai partai utama pendukung pemerintah. Namun, seiring dengan tidak beradanya Partai Demokrat di pemerintahan sejak akhir 2014, pamor partai ini juga menurun di mata pemilih.
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan, dari 575 kursi DPR yang diperebutkan, Partai Demokrat meraih 54 kursi atau sekitar 9,4 persen. Jika dibandingkan pemilu sebelumnya, jumlah ini menurun 11,5 persen, bahkan jika dibandingkan dengan puncak prestasinya pada Pemilu 2009, raihan kursi di pemilu tahun ini hanya seperempat dari kursi yang pernah diraihnya sepuluh tahun lalu.
Meski perolehan suaranya menurun di dua pemilu terakhir, Partai Demokrat relatif konsisten mempertahankan basis pemilihnya. Hal ini terlihat dengan sumber suara dan kursi terbanyak dari partai itu, yakni relatif tidak jauh berubah sejak partai ini mengikuti pemilu. Di Jawa Timur, misalnya, wilayah Pacitan masih tercatat sebagai wilayah yang identik dengan Partai Demokrat.
Sebagai kota kelahiran Yudhoyono, Pacitan dan sekitarnya berkonstribusi pada dukungan pemilih ke partai ini. Setidaknya hal ini tampak dari perolehan suara Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) di dua pemilu terakhir yang masuk sepuluh besar calon legislatif dengan perolehan suara terbesar.
Pada Pemilu 2014, putra kedua Yudhoyono ini meraih 243.747 suara atau berada di peringkat kelima peraih suara terbanyak secara nasional. Hal yang sama juga terjadi pada Pemilu 2019 dengan meraih 263.510 suara. Ibas berhasil masuk sebagai peringkat keenam calon anggota legislatif peraih suara terbanyak nasional.
Transformasi Figur
Hasil pemilu yang menempatkan Partai Demokrat sebagai partai menengah mau tidak mau harus dilihat sebagai potret kecenderungan mulai memudarnya pamor dan pengaruh Yudhoyono terhadap pemilih partai ini. Meskipun demikian, harus juga diakui ada sejumlah hal lain yang juga turut menyumbang penurunan apresiasi pemilih terhadap partai ini. Hal lain itu misalnya kasus korupsi yang menjerat sebagian elite partai ini dan sosok Yudhoyono yang tidak ada dalam pemerintahan.
Kecenderungan menurunnya pamor Yudhoyono di mata pemilih bukan berarti tidak dibaca oleh Demokrat. Munculnya figur Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang dimulai sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu sedikit banyak menjadi gambaran partai ini tengah menyiapkan transformasi figur dari Yudhoyono ke AHY.
Sejumlah ajang pertemuan politik setelah Pemilu 2019 menunjukkan, AHY yang ditunjuk sebagai Ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat telah mewakili partai untuk melakukan komunikasi politik dengan Jokowi sebagai presiden terpilih.
Dalam waktu dua tahun sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, sosok AHY mampu bertengger di panggung politik nasional, sejajar dengan tokoh-tokoh politik nasional lainnya. Hal ini tampak dari hasil sejumlah survei Kompas menjelang pemilu yang memunculkan nama AHY baik dalam bursa bakal calon presiden maupun calon wakil presiden meski angka elektabilitasnya masih kalah jauh dari sejumlah nama yang ketika itu mendominasi bursa calon presiden ataupun calon wakil presiden. AHY pun menjadi nama kedua yang paling populer setelah Yudhoyono di internal Partai Demokrat.
Tidak heran jika kemudian banyak pihak memandang Yudhoyono tengah menyiapkan regenerasi kepemimpinan di Partai Demokrat. Upaya pertemuan AHY dengan Jokowi, misalnya, dipandang sebagai langkah partai ini untuk bergabung dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam lima tahun ke depan.
Jika nantinya Partai Demokrat tidak bergabung dalam pemerintahan, tentu tantangan yang dihadapi partai ini adalah bagaimana sosok AHY mampu menyedot perhatian publik tanpa dibarengi adanya panggung politik sebagai media branding buat dirinya.
Tidak heran jika kemudian banyak pihak memandang Yudhoyono tengah menyiapkan regenerasi kepemimpinan di Partai Demokrat.
Tentu, memang tidak selamanya masa depan partai ditentukan oleh figur. Apalagi, hal ini juga pernah diakui Yudhoyono. Hal ini ia sampaikan ketika terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres Luar Biasa di Bali 2013. ”Partai modern harus berangkat dari platform dan mesin partai. Jangan bergantung pada figur,” kata Yudhoyono dalam pidato keterpilihannya ketika itu (Kompas, 30/3/2013).
Meski demikian, terpilihnya Yudhoyono ketika itu sedikit banyak juga menjadi bukti bahwa dia menjadi figur utama di Partai Demokrat. Sebelum menjadi ketua umum, Yudhoyono sudah menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Boleh jadi hal itu memang dibutuhkan bagi soliditas Partai Demokrat, terutama untuk kepentingan pemilu lalu.
Setidaknya hal ini pernah terkonfirmasi melalui jajak pendapat Kompas pada Mei 2015. Sebanyak 87,7 persen responden pemilih partai ini menyebut Yudhoyono masih dibutuhkan demi kelangsungan partai, bahkan tiga dari empat responden memandang Yudhoyono adalah Partai Demokrat itu sendiri (Kompas, 12/5/2015).
Tentu, hasil Pemilu 2019 menjadi konfirmasi bahwa bertahan dengan figur Yudhoyono tidak selamanya mampu menopang kebutuhan Partai Demokrat mempertahankan dukungan dari pemilih. Tren penurunan suara dan kursi adalah potret bahwa partai ini tidak bisa lagi sekadar mengandalkan figur Yudhoyono.
Tantangan Partai Demokrat ke depan adalah bagaimana melakukan transformasi partai guna meraih kembali dukungan politik dari pemilih. Pemilihan model transformasi partai tentu akan menjadi ujian tersendiri bagi Partai Demokrat. Apakah transformasi dari sosok ke sosok, artinya dari Yudhoyono ke AHY, atau dari sosok ke ideologi, platform dan program partai, yang tentu harus dirumuskan dan dikuatkan.
Tentu, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi partai yang selama 18 tahun sejak lahir selalu bertumpu pada sosok Yudhoyono. Namun, terlepas dari itu semua, ujian pertama adalah menentukan sikap politik, apakah bergabung ke pemerintahan Jokowi-Amin atau tetap bertahan di luar pemerintahan sebagai kekuatan penyeimbang. (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)