Revisi UU KPK Dinilai Bakal Mematikan Pemberantasan Korupsi
›
Revisi UU KPK Dinilai Bakal...
Iklan
Revisi UU KPK Dinilai Bakal Mematikan Pemberantasan Korupsi
Desakan agar pemerintah dan DPR membatalkan rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bermunculan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Desakan agar pemerintah dan DPR membatalkan rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bermunculan. Sebagian pihak berpendapat, revisi UU KPK bukan hanya akan melemahkan KPK secara institusional, tetapi juga bakal mematikan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
”Kalau revisi ini dilanjutkan, menurut saya, akan mengakibatkan pemberantasan korupsi berhenti,” kata mantan Ketua KPK Abraham Samad dalam diskusi ”Mengawal Integritas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi”, Selasa (10/9/2019), di kampus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Daerah Istimewa Yogyakarta.
”Kalau revisi ini dilanjutkan, menurut saya, akan mengakibatkan pemberantasan korupsi berhenti,” kata Abraham Samad
Samad menyatakan, draf revisi UU KPK yang saat ini sangat berpotensi untuk melemahkan KPK. Padahal, selama ini, KPK menjadi lembaga yang berada di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, pelemahan terhadap KPK juga bakal mengganggu atau bahkan mematikan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
”Menurut hemat kami, setelah mempelajari dan mencermati, isi dari revisi itu tidak mencerminkan upaya untuk menguatkan KPK, tetapi justru mengandung unsur-unsur untuk melemahkan,” ujar Samad.
Menurut Samad, salah satu pasal dalam draf revisi yang berpotensi melemahkan KPK adalah usulan untuk membentuk Dewan Pengawas guna mengawasi kerja KPK. Dalam draf itu dinyatakan, KPK harus meminta izin Dewan Pengawas jika akan melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
”Ada hal yang, menurut hemat kami, sebenarnya bukan untuk menguatkan KPK, melainkan justru melemahkan. Ada organ-organ tertentu yang ingin dimasukkan, tetapi organ-organ tersebut justru akan melemahkan, misalnya Dewan Pengawas,” kata Samad.
Menurut Samad, KPK tidak membutuhkan Dewan Pengawas. Sebab, selama ini, kerja-kerja KPK sudah diawasi, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, KPK sudah memiliki Direktorat Pengawasan Internal yang mengawasi semua pihak di KPK, termasuk para unsur pimpinan lembaga tersebut.
Selain itu, apabila Direktorat Pengawasan Internal menemukan indikasi pelanggaran yang dilakukan pimpinan KPK, bisa dibentuk Komite Etik untuk menangani masalah tersebut.
”Dulu, waktu saya jadi pimpinan KPK, sekretaris saya ditengarai melakukan pelanggaran etik dengan membocorkan sprindik (surat perintah penyidikan). Saat itu, saya sebagai Ketua KPK diperiksa oleh Direktorat Pengawasan Internal,” ungkap Samad.
Selain itu, kerja KPK selama ini juga harus tunduk pada berbagai aturan ketat yang telah ditetapkan. Salah satu contohnya, saat KPK hendak melakukan penyadapan, ada berbagai aturan yang mesti dipenuhi lebih dulu sebelum tindakan tersebut bisa dilakukan.
Samad menuturkan, proses penyadapan yang dilakukan KPK harus melalui tahapan berjenjang, dimulai dari kajian yang dilakukan oleh satuan tugas (satgas) yang menangani kasus, lalu dimintakan izin ke Direktorat Penyidikan. Setelah Direktorat Penyidikan memberikan izin, penyadapan yang akan dilakukan itu juga mesti mendapat izin dari Deputi Penindakan.
Sesudah diproses di Deputi Penindakan, rencana penyadapan itu juga mesti disetujui oleh lima unsur pimpinan KPK. ”Ada kontrol dari bawah sampai atas. Jadi betul-betul bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” kata Samad.
Oleh karena itu, Samad menilai, tidak perlu ada Dewan Pengawas untuk mengawasi kinerja KPK. ”Makanya tidak perlu itu Dewan Pengawas. Menurut saya, Dewan Pengawas itu seperti makhluk yang diturunkan dari luar angkasa, tiba-tiba datang dan mau mengatur,” ujarnya.
Di sisi lain, Samad mengingatkan, hingga sekarang belum ada urgensi untuk melakukan revisi terhadap UU KPK. Sebab, UU KPK dinilai masih relevan dengan situasi sekarang dan masih bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi ke depan.
”Memang sebuah undang-undang itu bukan menjadi tabu untuk direvisi atau diubah. Tapi dalam konteks Undang-Undang KPK, sampai saat ini saya melihat masih sangat relevan dan masih sangat ideal untuk mendukung kerja-kerja KPK ke depan dalam memberantas korupsi,” kata Samad.
Oleh karena itu, Samad berharap, Presiden Joko Widodo bisa mengambil keputusan untuk menghentikan upaya revisi undang-undang tersebut. ”Kita selalu berharap, mudah-mudahan saja, Presiden mau menyetop atau paling tidak menangguhkan revisi ini,” katanya.
Kejanggalan
Dosen Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, ada sejumlah kejanggalan dalam proses pengusulan draf revisi UU KPK. Salah satunya, usulan tersebut muncul saat masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 hampir habis.
”Revisi ini didorong ketika masa jabatan anggota DPR tinggal beberapa hari. Coba bayangkan, kualitas macam apa yang mau ditawarkan ketika pembahasannya hanya beberapa hari,” tutur Zainal.
Selain itu, Zainal menambahkan, revisi UU KPK juga tidak pernah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Oleh karena itu, munculnya usulan revisi UU KPK pada masa-masa akhir kerja DPR periode 2014-2019 patut dipertanyakan.
Dengan berbagai kejanggalan itu, Zainal menyatakan, Presiden Joko Widodo tidak memiliki alasan untuk menyetujui usulan revisi UU KPK yang diajukan oleh DPR. Apalagi, menurut Zainal, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Presiden memiliki waktu 60 hari untuk menugasi menteri terkait untuk membahas Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPR.
”Revisi ini didorong ketika masa jabatan anggota DPR tinggal beberapa hari. Coba bayangkan, kualitas macam apa yang mau ditawarkan ketika pembahasannya hanya beberapa hari,” tutur Zainal.
Oleh karena itu, Presiden tidak perlu terburu-buru menugaskan menteri terkait untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR. ”Presiden punya waktu 60 hari untuk berpikir dan membicarakan secara internal di pemerintah tentang substansi undang-undang usulan DPR,” kata Zainal.