Riset memiliki risiko kegagalan. Bahkan, tak jarang tingkat kegagalannya cukup tinggi. Sebagian pelaku industri swasta enggan untuk ”jemput bola” karena menimbang risiko kerugian.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, saat berpidato pada Indonesia Electric Motor Show (IEMS) 2019, mengibaratkan periset, perekayasa, atau peneliti seperti gula. Saat tercampur pas di dalam kopi, keluarlah pujian: kopinya nikmat. Si gula tidak disebut.
Sebaliknya, begitu takarannya tidak pas, yang kerap dikeluhkan adalah ”wah, gulanya kurang” atau ”gulanya kebanyakan, nih”. Si gula menjadi sasaran dan disorot saat rasa kopi tidak senikmat yang diharapkan.
Demikian halnya dengan periset, perekayasa, atau peneliti. Mereka kerap tidak disebut-sebut ketika penelitiannya berhasil. Namun, begitu penelitian tersebut gagal, langsung keluar pertanyaan, ”Penelitinya siapa?”
Risiko dalam kegiatan penelitian pun dipaparkan Penasihat Khusus Menteri Bidang Kebijakan Inovasi dan Daya Saing Industri Kementerian Koordinator Kemaritiman Satryo Soemantri Brodjonegoro, beberapa waktu lalu.
Dia menyampaikan hal tersebut pada diskusi kelompok terfokus di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Diskusi tersebut bertajuk ”Kajian Implementasi Kendaraan Elektrifikasi dalam Mendukung Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik sebagai Industri Berkelanjutan Pascaterbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan”.
Salah satu materi paparannya mengilustrasikan ”lembah kematian” yang berada di antara dua tebing. Tebing kiri adalah area riset. Sementara tebing kanan di seberangnya adalah area investasi.
Riset memiliki risiko kegagalan. Bahkan, tak jarang tingkat kegagalan penelitian cukup tinggi. Pelaku industri swasta di tebing kanan tentu enggan apabila disuruh jemput bola karena menimbang risiko kerugian.
Tanpa ada yang menjembatani, kegiatan penelitian—termasuk di dunia kampus—pun akan banyak terhenti di tebing kiri. Sebab, kalau gagal, bahaya terjun bebas ke dasar lembah mengintai mereka.
Sebagai contoh, apabila memakai APBN dan kegiatan penelitian tersebut gagal, pengelolanya dapat dianggap menghabiskan uang negara. Ada ancaman dipenjara di sana.
Padahal, di sejumlah negara—kecuali Indonesia—ada suatu agensi bahkan pendanaan (funding) untuk membiayai kegiatan yang kalau gagal pun dianggap sebagai bagian proses untuk meraih kesuksesan.
Alhasil, muncul pertanyaan ”mungkinkah di Indonesia juga ada skenario pendanaan untuk sesuatu yang belum pasti—dan memiliki kemungkinan gagal—tetapi kegiatan itu dibutuhkan untuk meraih kesuksesan di masa mendatang?”
Pertanyaan ini kiranya patut dipikirkan semua pemangku kepentingan di Indonesia. Sebab, tanpa ada keberanian menempuh risiko, kita tidak akan ke mana-mana. Bahkan, anak kecil pun harus jatuh dan bangkit berkali-kali sebelum akhirnya mampu berjalan dan berlari.
Pemerintah berencana mengalokasikan dana abadi untuk penelitian. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas riset, terutama untuk sektor-sektor yang memiliki potensi dampak yang besar. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Senin, 19/8/2019) menyatakan, lewat dana abadi ini, pemerintah yakin dapat membuat ekosistem penelitian yang kondusif sehingga Indonesia bisa lebih maju melalui terciptanya berbagai sentra inovasi baru. Semoga.