Sebelum Menjadi Presiden, Habibie Telah Berpikir Indonesia Harus Demokratis
›
Sebelum Menjadi Presiden,...
Iklan
Sebelum Menjadi Presiden, Habibie Telah Berpikir Indonesia Harus Demokratis
Pada 20 Mei 1998 malam, Presiden Soeharto memanggil Wakil Presiden BJ Habibie ke kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta. Malam itu Soeharto menyampaikan keinginannya untuk mundur sebagai Presiden Indonesia.
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
Pada 20 Mei 1998, Presiden Soeharto memanggil Wakil Presiden BJ Habibie ke kediamannya di Jalan Cendana, Jakarta. Pukul 19.30, Habibie tiba di Cendana. Soeharto hendak membahas nama-nama menteri Kabinet Reformasi yang akan dilantik keesokan harinya, 21 Mei.
Malam itu, Soeharto juga menyampaikan berencana mengundang pimpinan DPR/MPR ke Istana Merdeka pada 23 Mei. Kepada Habibie, Soeharto menyatakan bermaksud menyampaikan kepada pimpinan DPR/MPR untuk mengundurkan diri sebagai presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik.
Benak Habibie berkecamuk malam itu. Dalam buku yang menceritakan masa-masa peralihan Orde Baru ke Era Reformasi, Detik-detik yang Menentukan, Habibie menulis, ”Namun yang menjadi pertanyaan saya saat itu adalah, Pak Harto sama sekali tidak menyampaikan alasan mengapa beliau mundur. Padahal baru saja disusun Kabinet Reformasi, bahkan setelah melalui dialog yang cukup seru. Demikian pula Pak Harto sama sekali tidak menyinggung mengenai kedudukan Wakil Presiden selanjutnya.”
Bagi Habibie, saat Soeharto menyampaikan keinginan mundur sebagai presiden tetapi tak membahas posisi wakil presiden menimbulkan banyak pertanyaan. Habibie berpikir, Soeharto mungkin ingin dirinya ikut mundur. Terlebih seperti ditulis dalam buku Detik-detik yang Menentukan, menurut Habibie, saat Soeharto bertemu sejumlah tokoh masyarakat pada 19 Mei, pernyataan Soeharto seolah meragukan kemampuannya.
Dalam pertemuan malam itu, Habibie terdiam di hadapan Soeharto. Namun, pikirannya yang tetap berkecamuk akhirnya tak bisa menahan untuk bertanya. ”Pak Harto, kedudukan saya sebagai wakil presiden bagaimana?” tanya Habibie.
Pak Harto spontan menjawab, ”Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden.” (Detik-detik yang Menentukan, halaman 37)
Jawaban tersebut ternyata memang justru menimbulkan lagi banyak kecamuk di benak Habibie. Dia berpikir, mengapa Soeharto ingin terjadi kevakuman kekuasaan setelah mengundurkan diri.
Kembali ke rumahnya di Kuningan, Habibie semakin tak tenang. Pada 21 Mei dini hari, sekitar pukul 01.00, Habibie masih belum kunjung beristirahat. Dia masih mengikuti perkembangan gerakan massa melalui TV dan internet di ruang kerjanya. Saat itu, Ainun muncul dan mengingatkan agar Habibie segera tidur.
Mengikuti saran Ainun, Habibie berganti baju tidur. Namun, matanya tak bisa terpejam. Obrolan anggota pasukan pengamanan yang berjaga di bawah jendela kamar tidur terdengar oleh Habibie.
Tak ingin mengganggu istrinya, Habibie pelan-pelan beranjak dari tempat tidur. Dia menutup guling dengan selimut agar istrinya menganggap Habibie masih berbaring di sampingnya.
Dari kamar tidur, Habibie menuju ruang kerja dan menyusun catatan mengenai langkah-langkah awal dan kebijakan dasar serta prinsip yang harus segera diambil. Beberapa catatan yang dipikirkan malam itu mengantarkan Habibie menjadi presiden yang mengantar Indonesia menuju alam demokrasi.
Sebagaimana ditulis Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan, langkah-langkah tersebut antara lain:
Saya mewarisi bentuk institusi kepresidenan yang sangat berkuasa dalam lingkungan dan budaya feodal. Hal ini harus segera saya akhiri, tanpa memberi kesan yang dapat disimpulkan sebagai ”penguasa” yang lemah dan takut.
Tahanan politik harus segera saya lepaskan dan tidak boleh lagi terjadi bahwa orang yang bertentangan dengan pendapat atau rencana Presiden harus dimasukkan ke dalam penjara.
Kebebasan berbicara, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, dan kebebasan unjuk rasa harus segera dilaksanakan.
DPR dan MPR harus diberi legitimasi yang kuat berdasarkan pemilu yang demokratis. Dan kesempatan terbuka untuk mendirikan partai politik asal saja tidak melanggar UUD ’45 dan Ketetapan MPR.
Sidang Istimewa MPR harus segera diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya untuk memberi dasar hukum bagi reformasi dan pemilu yang dibutuhkan. Hanya dengan demikian, suatu revolusi dan khaos, yang bisa memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat dicegah.
Beberapa catatan tersebut akhirnya mengantarkan Habibie menjadi Presiden Indonesia yang membawa negara ini ke era demokrasi. Habibie membuka peluang bagi terselenggaranya pemilu demokratis yang diikuti secara bebas oleh partai politik. Habibie membuka keran kebebasan pers. Habibie pula yang memberikan amnesti dan pembebasan bagi tahanan politik di masa Orde Baru.