KPK Sokong Stabilitas, Efisiensi, dan Transparansi Ekonomi
›
KPK Sokong Stabilitas,...
Iklan
KPK Sokong Stabilitas, Efisiensi, dan Transparansi Ekonomi
Komisi Pemberantasan Korupsi berperan esensial mendukung stabilitas, efisiensi, dan transparansi ekonomi. Hal itu mulai dari peningkatan kualitas layanan publik, perbaikan iklim investasi, dan transparansi anggaran.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam perspektif ekonomi, Komisi Pemberantasan Korupsi berperan esensial mendukung stabilitas, efisiensi, dan transparansi ekonomi dalam negeri. Hal itu mulai dari peningkatan kualitas layanan publik, perbaikan iklim investasi, serta perwujudan transparansi anggaran pemerintah pusat dan daerah.
Untuk itu, kedudukan dan kewenangan KPK perlu dipertahankan guna meningkatkan tata kelola dan transparansi di sektor publik. Efisiensi ekonomi juga akan semakin baik dan pemanfaatan transfer dana juga tepat sasaran.
Kepala Ekonom PT Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro menilai, keberadaan dan kinerja KPK memberangus korupsi berimplikasi pada peningkatkan kualitas layanan publik. Hal itu juga berimbas pada perbaikan iklim investasi Tanah Air.
”Upaya agresif KPK memerangi korupsi telah menciptakan efek jera yang signifikan terhadap sektor layanan publik sehingga mendorong transparansi pemerintah yang lebih baik dan meningkatkan efisiensi ekonomi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Upaya agresif KPK memerangi korupsi telah menciptakan efek jera yang signifikan terhadap sektor layanan publik sehingga mendorong transparansi pemerintah yang lebih baik dan meningkatkan efisiensi ekonomi.
Satria mencontohkan, investigasi korupsi yang tengah berlangsung di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk melaksanakan reformasi struktural terkait dengan tata kelola dalam proses tender dan pengadaan.
Sayangnya, di sisi lain, DPR kembali menggulirkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Rancangan legislasi yang dibahas DPR secara tertutup dari publik itu akan mengubah kedudukan dan kewenangan lembaga KPK.
Satria tidak menampik bahwa di antara poin revisi itu terdapat indikasi upaya pelemahan lembaga antikorupsi secara sistematis. Pelemahan itu, di antaranya munculnya usulan aturan agar KPK dapat menghentikan perkara, pembentukan Dewan Pengawas KPK, hingga penyadapan yang perlu izin Dewan Pengawas.
Dalam menjalankan fungsinya, lanjut Satria, KPK dilengkapi dengan berbagai otoritas. Dua hal di antaranya adalah keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dan kebebasan untuk menyadap percakapan telepon calon tersangka korupsi.
Melalui sejumlah wewenang yang ditunjang juga dengan anggaran hingga Rp 1,2 triliun per tahun, KPK selalu berhasil membuktikan bahwa para tersangka yang tengah mereka tangani melakukan tindak pidana korupsi.
Satria pun berharap KPK memperkuat mekanisme pencegahan korupsi di sektor perdagangan strategis terkait ekspor dan impor yang dapat memengaruhi keseimbangan eksternal Indonesia dalam jangka panjang.
”Di masa lalu, KPK telah membongkar kasus korupsi impor daging sapi. Bisa saja selanjutnya KPK kembali membongkar kasus korupsi komoditas yang lebih strategis, seperti minyak kelapa sawit dan beras,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto tetap mendukung upaya KPK memberantas korupsi di tingkat pemerintahan daerah. Hal ini penting mengingat pemimpin daerah saat ini diberi kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar untuk menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sejak penerapan desentralisasi fiskal pada 2001, pemerintah pusat perlahan-lahan mewariskan wewenangnya kepada pemerintah daerah. Hal itu terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi daerah.
Sejalan dengan visi tersebut, APBN meningkatkan alokasi dana untuk transfer daerah selama beberapa tahun terakhir. Carmelia memperkirakan, alokasi untuk transfer daerah akan sebanyak Rp 835 triliun pada 2019 atau 34 persen dari total pengeluaran pemerintah sebesar Rp 2.461 triliun.
”Penyerapan anggaran sebesar ini membutuhkan pengawasan yang lebih ketat terhadap proyek-proyek pemerintah daerah, baik level kabupaten/kota maupun provinsi,” ujar Carmelita.
Penyerapan anggaran sebesar ini membutuhkan pengawasan yang lebih ketat terhadap proyek-proyek pemerintah daerah, baik level kabupaten/kota maupun provinsi.
Tak ingin rencana revisi UU KPK ini memengaruhi iklim usaha, Wakil Bendahara Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani menilai pemerintah seharusnya tidak menjadikan agenda revisi tersebut sebagai prioritas.
Revisi UU KPK dapat memicu polemik di kalangan publik yang berimbas pada ketidakstabilan ekonomi. ”Padahal, banyak hal yang mesti dilakukan pemerintah agar ekonomi kita membaik, termasuk dalam hal menjaga stabilitas ekonomi,” ujar Ajib.
Dia berharap pemerintah dan DPR mengkaji kembali langkah penerbitan atau pembahasan aturan yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat agar tidak berimbas ke sektor ekonomi.
Revisi beleid yang substansinya dianggap bakal melemahkan kewenangan KPK ini, menurut Ajib, berpotensi mendapat penolakan secara masif sehingga memicu aksi di berbagai titik dari penggiat antikorupsi dan elemen masyarakat.
”Pengusaha khawatir jika penolakan berujung pada unjuk rasa. Unjuk rasa itu akan memengaruhi kelancaran bisnis baik langsung maupun tak langsung,” kata Ajib.