DPR kembali menggelar lomba stand up comedy "Kritik DPR". Lomba untuk menunjukkan DPR tidak antikritik. Namun realitanya, kritik demi kritik dari publik dianggap angin lalu. Yang terakhir, kritik terkait revisi UU KPK.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu dan Dhanang David Aritonang
·4 menit baca
”Selamat datang di Gedung DPR, Dewan Perwakilan Revisi! Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diwacanakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebenarnya bukan untuk melemahkan, melainkan menguatkan KPK. Karena, sejatinya, hubungan antara DPR dan KPK itu simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. KPK memberantas korupsi, sedangkan DPR menyumbang tersangka.”
Sontak kalimat pembuka dari Irwan Chan, salah satu finalis lomba komedi tunggal atau stand up comedy ”Kritik DPR” yang digelar pada Selasa (10/9/2019), membuat hadirin yang memenuhi selasar Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, tertawa terbahak-bahak.
Tidak terkecuali Ketua DPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, dan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang hadir menyaksikan babak final lomba tersebut, sejak awal hingga usai.
Lomba yang diselenggarakan untuk merayakan HUT Ke-74 DPR itu meloloskan 13 peserta dari sejumlah daerah. Mereka berkesempatan untuk ”menertawakan” para wakil rakyat selama 7 menit di hadapan wakil rakyat secara langsung. Komedi yang paling segar diganjar hadiah puluhan juta rupiah dan satu unit sepeda motor.
Ajang yang digagas mulai masa kepemimpinan Bambang Soesatyo pada 2018 itu amat dinanti berbagai kalangan.
Sebagaimana tampak pada Selasa siang, meski ruang dan kursi yang tersedia terbatas, mereka tetap antusias menyaksikan penampilan komedian tunggal. Tanpa ada sekat, seluruh kalangan itu bisa larut dalam tawa selama 2 jam.
Selain Irwan Chan, finalis lainnya, Rio Steven, juga mengangkat materi lawakan soal KPK. ”Anggota DPR itu memang berani, dikritik masyarakat pun berani. Hanya satu yang membuat DPR takut, yaitu KPK!” kelakar Rio, yang disambut gelak tawa seluruh penonton.
Bahasan mengenai KPK memang menjadi sorotan sebagian besar finalis, seiring dengan mengemukanya rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bagi masyarakat, rencana tersebut mengejutkan.
Sebab, tiba-tiba disahkan sebagai rancangan undang-undang inisiatif DPR, padahal tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Apalagi, sejak revisi diputuskan untuk ditunda oleh Presiden Joko Widodo pada 2016, pembahasan regulasi itu tak pernah terdengar. Revisi itu dipermasalahkan lantaran rancangan pengubahannya bisa melemahkan KPK.
”Kerja DPR tidak pernah terdengar, sekalinya bekerja tiba-tiba merevisi UU KPK,” kata Friska, finalis asal Depok, Jawa Barat.
Anggaran
Selain revisi UU KPK yang menghebohkan, persoalan klasik tentang kinerja DPR yang rendah padahal sudah mendapatkan gaji dan tunjangan besar juga jadi sorotan.
Muhammad Al Jufri, finalis lomba, masih ingat betul ketika Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR Anthon Sihombing mengajukan dana Rp 7,2 triliun untuk penataan Kompleks Parlemen.
”Dari anggaran itu, Rp 2 miliar dialokasikan untuk perbaikan toilet yang rusak total. Ada juga Rp 2 miliar untuk pengharum ruangan. Wangi itu dibutuhkan untuk apa sebenarnya? Apa untuk menutupi bau-bau kemunafikan?” kata Jufri terpingkal-pingkal sambil menutup mulutnya di atas panggung.
Finalis lainnya, Ical ”Kate”, mengatakan, anggaran untuk kebutuhan pribadi anggota dewan sebenarnya berlebihan. Ia memetaforkan tubuhnya yang kerdil sebagai rakyat kecil yang tak butuh fasilitas berlebih. Dia lantas mencontohkan, satu jas anggota DPR bisa digunakan untuk tiga orang kecil.
Saking besarnya anggaran yang dialokasikan untuk anggota DPR, kata Fatih Andika, memori mereka mungkin hanya dipenuhi soal uang negara. ”Saya yakin, Pak Bamsoet kalau sakit sudah enggak mau disuntik dokter, maunya suntikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” ujarnya.
Irwan bahkan meledek, besarnya anggaran yang telah dikeluarkan negara tak sebanding dengan kerja mereka.
Pernyataan Irwan ada benarnya. Dari sisi kerja legislasi, misalnya, berdasarkan catatan Kompas, sejak 2014 hingga Masa Persidangan II Tahun Sidang 2018/2019, DPR menyelesaikan pembahasan 66 RUU. Padahal, total terdapat 248 RUU yang ada pada Prolegnas prioritas. Ditambah lagi, banyak RUU yang telah disahkan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena kualitas UU yang buruk.
Keberadaan mereka pun diledek Irwan, hanya diketahui publik saat ada kasus besar menimpa, misalnya penangkapan mantan Ketua DPR Setya Novanto dan mantan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan oleh KPK.
Kritik
Ketua Dewan Juri Lomba Komedi Tunggal ”Kritik DPR” sekaligus pakar komunikasi politik, Effendi Gazali, menjelaskan, perlombaan memang ditujukan agar DPR mendengar kritik dari masyarakat. Ini penting karena penyelenggaraan negara yang sehat membutuhkan kritik.
Mengutip Ronan McDonald dalam buku The Death of Critic, Effendi mengatakan, pihak yang melancarkan kritik bisa saja mati karena keadaan dan kekuasaan. Akan tetapi, konten kritik akan terus hidup dan melahirkan kritik-kritik baru sebagai respons.
Bambang Soesatyo mengatakan, stigma bahwa DPR antikritik dan tidak mau mendengar suara rakyat begitu melekat selama ini. Oleh karena itu, pada masa kepemimpinannya, terobosan ini digagas bahkan tanpa menggunakan dana APBN.
”Kami tidak antikritik, kami justru membutuhkannya karena dari sanalah kami akan memulai perbaikan. Jika DPR-nya baik, publik juga yang akan menikmatinya,” kata Bambang.
Pernyataannya terdengar sejuk. Namun, kalau dilihat selama ini, kritik hanya dianggap angin lalu. Kritik bertubi-tubi dari publik agar DPR memperbaiki diri tak pernah digubris. Terakhir, yang paling fenomenal, DPR mengajukan revisi UU KPK ketika publik dari berbagai penjuru nusantara menentangnya. Jadi, yakin kalau DPR tidak antikritik?