Kebakaran hutan dan lahan meluas dan menyebabkan kualitas udara di beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan memburuk. Padahal musim kemarau dan kekeringan masih akan berlangsung sepanjang September 2019.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan meluas dan menyebabkan kualitas udara di beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan memburuk. Padahal musim kemarau dan kekeringan masih akan berlangsung sepanjang September 2019.
"Ada kenaikan signifikan jumlah titik panas, terutama di Jambi dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Minggu lalu di Jambi 248 titik panas, minggu ini sudah 710 titik panas. Di Kalteng dari 873 pada minggu lalu dan sekarang menjadi 1.036 titik panas," kata Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Siswanto, di Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Peningkatan jumlah titik panas juga terdeteksi di Sumatera Selatan dalam sepekan terakhir, yaitu dari dari 72 menjadi 279. Sedangkan di Riau dari 211 titik panas menjadi 305 titik panas.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) total luas lahan yang terbakar sejak Januari 2019 sudah mencapai 328.724 hektar (ha) dan total titik panas di seluruh wilayah Indonesia mencapai 3.673.
Memburuk
Meluasnya kebakaran menyebabkan kualitas udara di wilayah Sumatera dan Kalimantan cenderung memburuk. Menurut Siswanto, konsentrasi partikulat (PM) 10 di Pekanbaru dan Palembang selama 10 hari terakhir di bulan September memang masih di bawah nilai ambang batas 150 mikron. Namun, tren konsentrasi partikel berbahaya ini terus meningkat hingga pada 10 September di Palembang angkanya melebihi ambang batas hingga sekitar 180 mikron.
Kondisi serupa terjadi di Sampit da Pontianak. Konsentrasi PM 10 di dua kota ini mencapai titik tertinggi pada 10 September hingga mendekati angka 90 mikron. "Hari ini konsetrasi PM 10 di Sampit mendadak sangat tinggi hingga sempat mencapai 600 mikron," kata Siswanto.
Sekalipun kebakaran sebagian besar dipicu ulah manusia, namun dari aspek cuaca menurut Siswanto, musim kemarau kali ini tergolong ekstrem, bahkan terkering sejak 2015 sehingga potensi kemudahan kebakaran juga tinggi. Analisis terbaru hari tanpa hujan menunjukkan banyak lokasi di Sumatera Selatan dan Jambi telah mengalami hari kering hujan kategori panjang hingga sangat panjang, yaitu berkisar 20 - 60 hari.
Sekalipun kebakaran sebagian besar dipicu ulah manusia, namun dari aspek cuaca, musim kemarau kali ini tergolong ekstrem, bahkan terkering sejak 2015.
Potensi kebakaran masih sangat tinggi karena kekeringan diperkirakan masih akan berlanjut sepanjang bulan ini. "Baru pada dasarian 3 September untuk Jambi dan Sumsel berpeluang mendapat sedikit curah hujan, namun belum masuk musim penghujan. Kalimantan juga berpotensi mendapat curah hujan secara umum pada akhir bulan, kecuali daerah pesisir bagian selatan," kata dia.
Asia Tenggara
Berdasarkan hasil pemantauan citra satelit Terra, Aqua, Suomi-NPP, NOAA-20, dan Satelit Himawari-8, titik panas juga terdeteksi di berbagai wilayah Asia Tenggara lainnya. Menurut data BMKG berdasarkan interpretasi citra satelit ini, selama sepuluh hari terakhir teridentifikasi 6.255 titik panas dengan kategori tingkat kepercayaan tinggi di seluruh wilayah Asia Tenggara dengan tren meningkat.
Selain di wilayah Indonesia, titik panas juga terdeteksi di Semenanjung Malaysia dan Serawak (Malaysia) , Thailand, Filipina, Papua Nugini, Vietnam, dan Timor Leste. Pada Rabu (11/9) pagi, terdeteksi adanya asap yang memasuki Selat Malaka dari wilayah Sumatera pada pukul 08.00 WIB, namun pukul 16.00 tidak terdeteksi lagi. Angin secara umum bertiup dari arah tenggara ke arah Barat Laut dengan kecepatan 5 sampai 10 knot.
Selain di wilayah Indonesia, titik panas juga terdeteksi di Semenanjung Malaysia dan Serawak (Malaysia) , Thailand, Filipina, Papua Nugini, Vietnam, dan Timor Leste.
Malaysia telah mengirim nota diplomatik yang mendesak Indonesia untuk mengambil tindakan segera untuk mengatasi kebakaran. Negara tetangga ini menyatakan telah menutup lebih dari 400 sekolah di negara bagian timur Sarawak.
Berdasarkan kajian Miriam E. Marlier dari Universitas Columbia, Amerika Serikat dan tim dalam jurnal GeoHealth yang terbit Juli 2019, paparan asap dari kebakaran hutan di kawasan Asia Tenggara dapat menyebabkan 36.000 kematian prematur per tahun di seluruh Indonesia, Singapura, dan Malaysia selama beberapa dekade mendatang jika trennya terus berlanjut. Potensi kematian dini ini disebabkan cemaran PM 2,5 dari kebakaran hutan tropis dinilai sangat membahayakan kesehatan, mulai dari persoalan pernafasan hingga memicu kanker.