Kepala suku memegang peran besar dalam tatanan sosial masyarakat di Papua Barat. Salah satu peran kepala suku yang penting adalah meredam gejolak saat Manokwari dilanda kerusuhan beberapa waktu lalu.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·6 menit baca
Pesan berantai dari para tetua suku Arfak di Manokwari, ibu kota Papua Barat, beredar melalui layanan pesan singkat sejak Sabtu (31/8/2019) pagi. Dalam pesan itu, semua pemimpin dan tokoh suku Arfak diminta menghadiri pertemuan dengan Kepala Suku Besar Arfak Dominggus Mandacan pada Minggu (1/9) petang. Pertemuan itu membahas kerusuhan yang melanda Manokwari sepekan sebelumnya, yang berpotensi terulang lagi.
Minggu petang, sekitar 500 orang telah tiba di tempat pertemuan di Manokwari, menunggu kedatangan Dominggus. Delapan pria yang mengenakan cawat, kain ikat kepala warna merah, dan topi adat berhiaskan bulu burung, keluar dari kerumunan itu. Sambil berangkulan membentuk setengah lingkaran, mereka mengentak-entakkan kaki sambil bergeser ke kiri dan kanan.
Entakan itu diiringi nyanyian dalam bahasa Atam, satu dari empat bahasa lokal suku Arfak. Tiga bahasa lain adalah Sougb, Meyah, dan Moyle. Nyanyian bernada melankolis yang mengisahkan tentang persatuan suku Arfak itu tanpa diiringi alat musik. Atraksi itu dikenal dengan sebutan Tari Tumbuk Tanah.
Sebagai penguasa adat daerah ini, suku Arfak harus bertanggung jawab menjaga kedamaian di kota Manokwari.
Dinamakan Tari Tumbuk Tanah karena gerakan berupa entakan dan lompatan di tempat itu seolah sedang menumbuk tanah atau bumi tempat manusia berpijak. Itulah tarian khas suku Arfak untuk menyambut tamu, syukuran, dan juga penghormatan bagi kepala suku atau tetua adat sebagai simbol ketaatan rakyat kepada pemimpinnya. Mereka terus menari hingga Dominggus bersama beberapa kepala suku tiba.
Setelah disambut dengan sapaan adat, dua perempuan dengan baju adat membawa nampan berisi tas noken dan kalung manik-manik menghampiri Dominggus. Seorang pria lalu mengambil noken itu dan mengalungkannya ke leher Dominggus sambil mempersilakannya masuk ke dalam ruangan untuk menemui rakyat. Dominggus disambut gembira dengan sorak-sorai.
Tiba saatnya Dominggus dipersilakan berbicara. Ia meraih pengeras suara dan dengan lantang menyatakan, ”Sebagai penguasa adat daerah ini, suku Arfak harus bertanggung jawab menjaga kedamaian di kota Manokwari. Sampaikan kepada semua masyarakat suku Arfak bahwa ini perintah dari kalian punya Kepala Suku Besar.”
Dominggus lalu menunjuk para tokoh yang memegang kendali di beberapa kampung. Ia memerintahkan mereka agar secepatnya menyebarkan informasi itu kepada masyarakat langsung dari mulut mereka sendiri. Pesan itu harus disampaikan lewat tatap muka.
”Jangan percaya kabar yang dapat memecah belah persatuan kita sebagai tuan rumah di sini ataupun kita dengan para pendatang di kota ini. Pendatang juga harus kita lindungi,” kata Dominggus.
Kerusuhan yang melanda Manokwari hampir dua pekan sebelumnya, tepatnya 19 Agustus 2019, telah melukai hati banyak orang. Kantor DPRD Papua Barat sebagai rumah rakyat dan Kantor Majelis Rakyat Papua Barat sebagai simbol kultur orang Papua pun dibakar. Belum lagi warung-warung di pinggir jalan milik pedagang dari luar Papua ikut dirusak dan dibakar massa.
Saya minta kabar-kabar bohong itu langsung diklarifikasi.
Kemarahan massa itu dipicu ujaran kebencian bernada rasisme yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan dan anggota sebuah organisasi kemasyarakatan terhadap mahasiswa asal Papua di Jawa Timur, pertengahan Agustus lalu. Ketersinggungan itu kemudian memuncak menjadi kemarahan besar setelah disulut provokasi dan kabar bohong yang beredar di media sosial.
Kejadian itu membuat Manokwari sempat mencekam. Warga pendatang atau yang dinamakan masyarakat Nusantara banyak yang belum berani jualan. Beberapa hari menjelang digelarnya pertemuan suku Arfak itu, kembali beredar kabar bahwa akan ada aksi lagi di Manokwari pada Senin, 2 September. Aksi itu dikhawatirkan akan berujung rusuh.
Penggalangan aksi memanfaatkan layanan pesan singkat setelah jaringan internet diputus pemerintah. Provokasi pun beredar kencang seolah membenturkan orang asli Papua dan masyarakat Nusantara. ”Saya minta kabar-kabar bohong itu langsung diklarifikasi. Suku Arfak harus berdiri paling depan untuk melindungi masyarakat pendatang,” kata Dominggus.
Betul saja. Pada 2 September, tak ada pergerakan massa seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. Masyarakat suku Arfak sebagai tuan rumah di Manokwari mematuhi pesan Dominggus. Kondisi Manokwari pun aman hingga saat ini.
”Kalau kepala suku yang berbicara, kami dengar karena itu perintah yang harus kami laksanakan. Kami tidak mau demo dan rusuh,” kata Lodwik, warga Manokwari keturunan suku Arfak.
Rohaniwan Katolik Pater Yohanes Damasenus Satu SVD mengatakan, bagi masyarakat adat, apa yang dikatakan kepala suku itu semacam ”sabda” dari Tuhan. Dalam konteks di Manokwari, Dominggus tidak dipandang sebagai Gubernur Papua Barat, tetapi lebih dilihat sebagai Kepala Suku Besar Arfak.
”Kalau Dominggus bukan kepala suku, belum tentu suara dia didengar masyarakat adat,” kata Damasenus yang sudah bertugas di Papua Barat selama 12 tahun.
Ketaatan terhadap perintah kepala suku itu adalah mutlak serta menembus jarak dan waktu. ”Biar sekolah tinggi-tinggi tapi kalau kepala suku kami bicara, kami akan dengar dan ikut. Setelah Bapak Dominggus Mandacan bicara itu, keluarga saya di Manokwari menelepon saya dan menyampaikan hal itu. Mereka minta saya tetap tenang,” kata Ikson Meidodga.
Ikson adalah mahasiswa asal Pegunungan Arfak yang sedang belajar di Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon, Maluku. Kendati banyak teman yang membujuknya untuk meninggalkan kampus dan melakukan aksi solidaritas di Ambon, ia menolak. Ia khawatir aksi itu akan berujung ricuh.
”Kalau saya terlibat ricuh, meski di tanah orang, saya sudah melanggar perintah kepala suku. Saya telah membuat malu nama kampung halaman saya di sana,” kata Ikson.
Ikson juga menolak pulang kampung sebagaimana yang dilakukan ratusan mahasiswa asal tanah Papua di sejumlah kota di Indonesia. Ia masih berpegangan pada perintah kepala suku bahwa mahasiswa asal Arfak tetap kuliah seperti biasa. Meski begitu, Ikson mengaku sedikit terganggu dengan perilaku aparat intelijen yang selalu mengintai aktivitasnya dan teman-teman di Ambon.
Kabar bohong
Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam rilisnya mencatat, banyak kabar bohong atau hoaks yang sengaja disebar untuk membuat kerusuhan di tanah Papua. Lima hari setelah kerusuhan 19 Agustus, teridentifikasi 33 konten dan 849 URL yang berisi provokasi dan kabar bohong. Informasi bohong itu dibagikan melalui media sosial. Pihak kementerian akhirnya memblokir layanan data internet selama tiga pekan terhitung sejak 19 Agustus.
Kendati internet diputus, penyebaran hoaks dapat dilakukan lewat pesan singkat, selebaran, dan beberapa metode lain. Banyak cara untuk menyebarkan hoaks. Sebagaimana catatan Litbang Kompas, hoaks sudah ada sejak zaman Romawi Kuno (abad ke-44 sebelum Masehi).
Oktavianus menyebarkan hoaks untuk menjatuhkan Mark Antonius dalam perebutan takhta Kekaisaran Romawi. Oktavianus memanfaatkan momentum pertemuan antara Mark dan Cleopatra, pemimpin Mesir kala itu, untuk menyebarkan hoaks.
Seiring waktu, penyebar hoaks menemukan banyak metode, terutama memanfaatkan media internet yang dapat mengantar pesan dalam waktu cepat ke seluruh dunia. Metode itu sulit dibendung. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan saat itu adalah membangun kesadaran orang agar tidak mudah percaya pada isu dan melakukan verifikasi.
Di tengah simpang siur informasi itulah, suara para tokoh sangat diperlukan. Di kalangan masyarakat Papua, suara kepala suku lebih mendapat tempat di hati rakyatnya. Lewat ”sabda”-nya yang bernuansa damai dan sejuk, hoaks tak lagi mendapat tempat di hati masyarakat.