Indonesia Perlu Bertransformasi ke Perekonomian Berbasis Pengetahuan dan Teknologi
›
Indonesia Perlu...
Iklan
Indonesia Perlu Bertransformasi ke Perekonomian Berbasis Pengetahuan dan Teknologi
Transformasi perekonomian Indonesia dari berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi mendesak dilakukan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu bertransformasi ke perekonomian berbasis pengetahuan dan teknologi. Untuk mewujudkan itu, riset akademik harus sejalan dengan kebutuhan dunia industri yang kemudian menciptakan pasar baru.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Pembangunan Ranah Material-Teknologikal” yang digagas Aliansi Kebangsaan bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia di Jakarta, Jumat (13/9/2019). Diskusi dihadiri Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Ketua Forum Rektor Indonesia Yos Johan Utama, anggota Forum Rektor Indonesia Asep Saefuddin, dan pengurus Aliansi Kebangsaan Yudi Latif. Selain itu, hadir pula delapan pembicara dari unsur akademisi dan industri.
Pontjo menjelaskan, transformasi perekonomian Indonesia dari berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi mendesak dilakukan. Sejumlah hal menjadi alasan. Pertama, tidak ada negara yang bisa makmur berkelanjutan dengan hanya mengandalkan sumber daya alam.
Selanjutnya, lanjut Pontjo, perekonomian Indonesia belum banyak beranjak dari gambaran Bung Karno tentang ciri-ciri perekonomian negara terjajah, yakni menjadi sumber bahan baku murah negara industri, menjadi pasar untuk menjual produk dari negara industri, dan menjadi tempat untuk memutar kelebihan kapital industri maju.
Ditambah lagi, katanya, menguatnya wacana publik tentang hambatan kemakmuran yang ditimbulkan oleh gejala deindustrialisasi, defisit perdagangan dan pembayaran, perangkap pendapatan menengah, serta jebakan ekonomi ekstraktif.
”Namun, nyaris tak ada perhatian politik dan kebijakan strategis untuk melakukan transformasi perekonomian serta prioritas pengembangan industri,” katanya.
Oleh sebab itu, katanya, Indonesia harus memprioritaskan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberi nilai tambah terhadap potensi Indonesia. ”Lautan yang luas, menunggu sentuhan pengembangan teknologi dan industri kemaritiman. Tanah yang relatif subur, perlu bioteknologi dan agroindustri. Tanaman pangan yang beragam perlu rekayasa teknologi pangan dan industri pengolahan bahan makanan. Jiwa estetik yang kuat, perlu teknologi dan industri kesenian, dan seterusnya,” kata Pontjo.
Yos menyatakan, hasil riset di perguruan tinggi yang menelan biaya hingga triliunan rupiah, masih belum jelas hasilnya. Dalam beberapa kali berkunjung ke pameran hasil riset, yang ia lihat adalah pengulangan.
”Mungkin yang bikin pameran tidak sadar bahwa yang melihat riset itu adalah orang yang sama,” katanya.
Dari infrastruktur riset, kata Yos, banyak peralatan laboratorium di perguruan tinggi yang usia alatnya lebih tua dari usia dosen. Ditambah lagi, pengelolaan dana riset yang belum ramah. Peneliti bukannya sibuk dengan penelitian, malah dihebohkan oleh surat pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, butuh suatu lompatan terkait kebijakan riset.
”Pendek kata, jangan sampai kita terjatuh karena sarung kita sendiri. Harus berani untuk tak hanya think out of the box, tetapi juga think there is no box,” katanya.
Rektor Universitas Paramadina Firmanzah menjelaskan, Indonesia membutuhkan tata kelola kelembagaan yang mengatur hubungan antara industri, perguruan tinggi, dan peneliti agar tercipta rasa saling percaya. Industri paling mengetahui potensi pasar dari hasil riset tersebut. Tidak menutup kemungkinan industri menjadi donatur riset sekaligus menjadi penguji proposal riset yang diajukan.
”Aspek kelembagaan antara dunia industri kampus dan peneliti harus diatur untuk kebaikan bersama. Tanpa itu tak ada kepercayaan antarpihak. Menghabiskan duit saja,” katanya.
Bagian organik
Mewakili industri, Manajer Program Tank Medium PT Pindad (Persero) Windu Paramarta mengakui, pengembangan riset dan teknologi di industri memang sedikit terabaikan. Ini disebabkan anggaran untuk riset hanya dialokasikan sekitar 10 persen dari keuntungan yang diperoleh.
”Untuk mencapai pengembangan teknologi atas solusi terkini, kami di industri harus bekerja sangat keras,” katanya. Ditambah lagi, industri terus dipaksa untuk memberikan solusi cepat dengan dana minim dan sumber daya manusia yang terbatas.
Yudi Latif menambahkan, inovasi teknologi harus menjadi bagian organik dari dunia industri. Di Indonesia, inovasi masih sebatas inovasi untuk menjaga pasar yang sudah ada dan inovasi untuk efisiensi.
Padahal, lanjutnya, yang paling dibutuhkan adalah inovasi untuk menciptakan pasar baru. Pasar baru ini lah yang akan mendorong Indonesia menuju kemakmuran. ”Ada kecenderungan pebisnis di Indonesia sibuk menjaga konsumen, tetapi tidak berusaha menciptakan konsumen baru yang tidak terbayangkan,” katanya.