Para pelaku usaha berharap pemerintah memprioritaskan revisi regulasi penghambat investasi. Eksekusinya perlu cepat seiring perkembangan situasi.
Oleh
FERRY SANTOSO/NINA SUSILO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku usaha berharap pemerintah memprioritaskan revisi regulasi penghambat investasi. Eksekusinya perlu cepat seiring perkembangan situasi.
Sedikitnya 70 undang-undang dinilai menghambat investasi dan menyebabkan ketidakpastian berbisnis. Sejumlah undang-undang terkait dengan investasi diproduksi pada 1980-1990, sebagian bahkan sudah ada sejak zaman kolonial dan belum diperbarui, sehingga dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Sejauh ini, pemerintah mengidentifikasi 70 undang-undang yang dinilai menghambat investasi. Regulasi yang rumit dan berbelit menjadi alasan utama investor tidak memilih berinvestasi di Indonesia.
Wakil Presiden Komisaris PT Adaro Energy Tbk Teddy Rachmat di Jakarta, Jumat (13/9/2019), berpendapat, undang-undang yang menghambat investasi harus dibereskan satu per satu. Namun, butuh waktu yang lama untuk merevisi undang-undang, sementara pelaku usaha ingin perbaikan iklim investasi berlangsung lebih cepat.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menentukan prioritas dalam revisi regulasi. Ketika sudah mendiagnosis produk perundang-undangan yang menghambat investasi, pemerintah perlu segera memperbaiki atau merevisinya. ”Kalau perlu, pemerintah mengeluarkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) terkait hal-hal yang perlu direvisi, baru membahas revisi undang-undang,” katanya.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, ada sejumlah produk perundang-undangan yang menyulitkan pelaku usaha dan menghambat investasi. Dia mencontohkan undang-undang tentang ketenagakerjaan serta tentang produk halal.
”Undang-undang tentang jaminan produk halal menyulitkan pengusaha karena semua (produk) harus disertifikasi. Padahal, sebelumnya, ketentuan mengenai produk halal itu bersifat sukarela atau voluntary,” ujarnya.
Kendala
Selain regulasi, reformasi perizinan juga dinilai berjalan sesuai harapan sehingga turut menghambat investasi. Hasil studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menemukan tiga aspek yang masih menjadi masalah, yaitu regulasi, sistem, dan tata laksana.
Perizinan masih jadi masalah yang membebani pelaku usaha. Pada Juli 2018, pemerintah meluncurkan sistem pelayanan perizinan terintegrasi berbasis elektronik (online single submission/OSS) untuk mempermudah perizinan dan mendorong kepastian memulai usaha. Namun, tujuan itu belum berhasil.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong seusai rapat terbatas di Istana Merdeka, Rabu (11/9/2019), menyebutkan, ada lima kendala utama yang dikeluhkan investor. Pertama, regulasi yang tidak jelas, tumpang tindih, dan berubah-ubah secara mendadak, serta perizinan yang bertele-tele dan dibuat-buat.
Kedua, perpajakan yang masih jadi masalah, baik dari sisi pemberlakuan pajak maupun perlakuan kantor pajak ke investor. Ketiga, urusan lahan. Banyak sengketa lahan, kesulitan pembebasan lahan, dan pengurusan izin bangunan serta sertifikat layak fungsi yang perlu waktu berbulan-bulan dan biaya besar.
Kendala keempat, urusan ketenagakerjaan. Kelima, dominasi BUMN dan hubungan antara sektor swasta dan BUMN yang kurang kondusif.
Terkait itu, Presiden Joko Widodo meminta agar rapat terbatas lintas kementerian/lembaga digelar maraton untuk memperbaiki ekosistem investasi.