Korupsi di Balik Revisi Undang-Undang Terkait Sumber Daya Alam
›
Korupsi di Balik Revisi...
Iklan
Korupsi di Balik Revisi Undang-Undang Terkait Sumber Daya Alam
Sejumlah rancangan undang-undang terkait sumber daya alam yang disiapkan DPR memiliki napas serupa, yaitu mempermudah keran investasi dengan mengabaikan dinamika sosial dan lingkungan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah rancangan undang-undang terkait sumber daya alam yang disiapkan DPR memiliki napas serupa, yaitu mempermudah keran investasi dengan mengabaikan dinamika sosial dan lingkungan. Selain mempercepat kerusakan lingkungan, hal ini juga berpotensi memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi dan menyuburkan korupsi.
Sejumlah aturan perundangan yang kini dibahas DPR dan ditargetkan bisa disahkan pada September 2019 itu di antaranya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan, RUU Mineral dan Batubara (Minerba), RUU Sumber Daya Air, dan RUU Pertanian.
Hal ini dikemukakan sejumlah akademisi dan pegiat di bidang lingkungan dan antikorupsi dalam diskusi di Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Minggu (15/9/2019). ”Pemerintah telah menyatakan ada 72 peraturan yang akan diselesaikan dalam satu bulan ke depan, di antaranya RUU terkait SDA. Hal ini akan memicu kekacauan regulasi dan sangat mengkhawatirkan bagi indonesia,” kata Ariyanto dari Publish What You Pay (PWYP).
Dia mencontohkan, RUU Minerba sebelumnya dibahas lebih kurang lima tahun terakhir dan sebelumnya mangkrak, tetapi tiba-tiba tanggal 18 Juli DPR sudah punya draf dan pemerintah membahas daftar inventaris masalah (DIM).
”Beberapa poin dalam RUU berupaya menguntungkan perusahaan batubara tertentu. Saat ini ada perusahaan batubara yang asetnya sangat besar mau habis kontraknya lima tahun ke depan, tetapi revisi RUU Minerba akan memperpanjangnya secara otomatis. Padahal, harusnya berhenti dulu dan dievaluasi,” kata Ariyanto.
Beberapa poin dalam RUU Minerba berupaya menguntungkan perusahaan batubara tertentu.
Merah Johansyah dari Jaringan Tambang mengatakan, percepatan RUU sumber daya alam ini juga memiliki kaitan dengan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai bisa melemahkan upaya pemberantasan korupsi. ”Hal itu tidak bisa dilepaskan upaya KPK lima tahun terakhir yang masuk ke pemberantasan korupsi di sektor SDA,” ucapnya.
Terkait korupsi
Guru Besar IPB University Hariadi Kartodihardjo, yang juga terlibat dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNSDA)-KPK, menambahkan, terdapat fakta-fakta kuat yang bisa menunjukkan keterkaitan sejumlah RUU tentang sumber daya alam yang saat ini dikebut dengan upaya pelemahan KPK.
Hariadi mencontohkan, dalam RUU Pertanahan terdapat pasal pemutihan terhadap tanah-tanah yang melebihi hak guna usaha (HGU). Dengan pasal ini, jutaan lahan sawit ilegal karena berada di dalam hutan akan diputihkan. ”Walaupun pasal ini sudah dikritik, hingga draf RUU versi 9 September lalu ternyata masih ada,” katanya.
Dalam RUU Pertanahan terdapat pasal pemutihan terhadap tanah-tanah yang melebihi hak guna usaha. Dengan pasal ini, jutaan lahan sawit ilegal karena berada di dalam hutan akan diputihkan.
Menurut Hariadi, kajian GNSDA-KPK tahun 2017 telah menemukan, lokasi HGU perkebunan yang tumpang tindih dengan izin pertambangan seluas 3,01 juta hektar (ha), dengan izin hutan tanaman seluas 534.000 ha, dengan izin hutan alam seluas 349.000 ha, serta dengan areal dilindungi seluas 801.000 ha.
”Kajian GNSDA-KPK telah mendata nama-nama perusahaan yang memiliki tanah di luar HGU-nya. Namun, pemerintah dan DPR kali ini seperti punya arah yang sama untuk memutihkan lahan bermasalah,” katanya.
Peneliti agraria dan korupsi SDA dari Sajogyo Institut, Eko Cahyono, mengatakan, UU yang saat ini berupaya dipercepat revisinya karena dianggap menghambat percepatan investasi. ”Koridornya ekonomi, tetapi dengan mengabaikan berbagai aspek lain, termasuk lingkungan, ketimpangan sosial, dan kerentanan korupsi,” kata Eko.
Menurut dia, hasil kajian GNSDA, sektor sumber daya alam menjadi ladang utama korupsi yang melibatkan aparat pemerintah dan pengusaha. Kajian ini juga menemukan, lebih dari 70 persen kepala kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan umum didukung oleh korporasi besar dengan kompensasi kemudahan izin dan konsesi. ”Itu kenapa banyak kepala daerah ditangkap karena korupsi,” ucapnya.
Lebih dari 70 persen kepala kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan umum didukung oleh korporasi besar dengan kompensasi kemudahan izin dan konsesi.
Eko khawatir RUU terkait SDA ini justru mencederai kepentingan orang banyak melalui praktik state capture corruption, yaitu korupsi yang dimungkinkan karena perundang-undangan sengaja dibuat untuk menguntungkan sejumlah pihak.