Penolakan Revisi UU KPK dari Internal DPR Bertambah
›
Penolakan Revisi UU KPK dari...
Iklan
Penolakan Revisi UU KPK dari Internal DPR Bertambah
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera ikut menolak karena materi revisi, baik yang diusulkan pemerintah ataupun DPR, bakal melemahkan KPK.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penolakan dari internal DPR atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK, terus bertambah. Setelah Fraksi Partai Gerindra, Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera juga menolak revisi tersebut.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Minggu (15/9/2019), mengatakan, revisi UU KPK semestinya dilakukan untuk memperkuat lembaga antirasuah tersebut.
Namun, poin-poin revisi yang diusulkan DPR ataupun pemerintah, justru dilihatnya melemahkan KPK.
“Revisi yang melemahkan peran dan fungsi KPK mesti ditolak,” kata Mardani.
Ia menambahkan, potensi pelemahan KPK setidaknya terlihat pada upaya untuk membatasi penyadapan. Dalam draf revisi UU KPK, penyadapan harus didahului izin dari Dewan Pengawas KPK. Usulan DPR, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR sedangkan usulan pemerintah, Dewan Pengawas dipilih oleh pemerintah.
Pembentukan Dewan Pengawas KPK dinilainya tidak dibutuhkan. Sebab, fungsi pengawasan selama ini sudah dilakukan oleh penasihat KPK.
Selain itu, rencana pengubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) mengancam independensi KPK. Lembaga antirasuah semestinya tidak tergantung pada pihak mana pun dalam mengelola pegawai.
“KPK tidak bisa kuat kecuali bebas dari intervensi baik dalam hal aturan maupun kepegawaian,” ujarnya.
Lebih lanjut dia menilai, selama ini KPK sudah menerapkan tata kelola organisasi yang baik. Tak hanya itu, tidak sedikit pimpinan daerah yang merasakan dampak positif dari fungsi koordinasi, supervisi, dan pencegahan (Korsupgah) KPK pada pemerintah daerah.
Pada Jumat (13/9/2019), Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra yang juga Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad lebih dulu menyuarakan penolakan Fraksi Gerindra atas revisi UU KPK. Ini setelah fraksi melihat poin-poin revisi UU KPK yang diajukan pemerintah.
“Partai Gerindra sedang mengkaji dan mempertimbangkan dengan serius untuk menolak revisi UU KPK,” kata Dasco.
Salah satunya karena Gerindra melihat poin-poin revisi bakal melemahkan KPK. Salah satunya, Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih pemerintah. Ini dianggap bisa menjadi jalan masuk bagi pemerintah untuk mengintervensi KPK.
Gerindra kemudian mengusulkan, agar Dewan Pengawas mewakili seluruh unsur kekuasaan. Terdiri dari dua orang perwakilan legislatif, dua orang perwakilan eksekutif, dan satu orang mewakili yudikatif.
Terburu-buru
Pembahasan revisi UU KPK oleh DPR dan pemerintah telah dua kali dilakukan. Pertama, saat rapat kerja pada Kamis (12/9/2019), kemudian pada rapat panitia kerja (Panja) pada Jumat (13/9/2019). Rapat itu dilaksanakan secara tertutup.
Wakil Ketua Panja RUU KPK sekaligus Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Totok Daryanto mengatakan, pembahasan revisi UU KPK baru akan diumumkan saat rapat kerja berikutnya. Rapat kerja bakal mengumumkan hal-hal yang telah disetujui oleh DPR dan pemerintah. Tidak ada lagi pembahasan substansi.
Hal itu bertentangan dengan janji Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly setelah rapat kerja perdana Kamis lalu, bahwa rapat panja akan dilakukan secara terbuka. Hal itu dilakukan agar tak ada kesan bahwa pembahasan RUU KPK dilakukan secara diam-diam.
Bagi Mardani, di samping masih banyak pasal yang dipermasalahkan, pembahasan RUU yang dilakukan secara tertutup merupakan hal mendasar yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi DPR dan pemerintah untuk terburu-buru membahas RUU KPK.
Ia membenarkan pandangan banyak kalangan, RUU KPK sebaiknya dibahas secara lebih matang oleh DPR periode 2019—2024.
Potensi pembubaran
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Oce Madril, berpendapat, seluruh poin revisi UU KPK problematik. Ide pembentukan Dewan Pengawas, pengubahan status pegawai KPK menjadi ASN, dan perekrutan penyidik dan penyelidik hanya dari kepolisian, mengarah pada pelumpuhan KPK.
“Pada dasarnya seluruh ide tersebut dapat menghilangkan ruh KPK, yaitu independensi. KPK akan menjadi lembaga yang bekerja di bawah pengaruh lembaga lain,” kata Oce.
Ia menengarai, revisi UU KPK menjadi langkah awal dari pembubaran KPK. Setelah KPK kehilangan kewenangan intinya, kinerja KPK menjadi tidak efektif, sehingga pada tahap selanjutnya, akan muncul usulan untuk membubarkannya.
“Sekarang, harapan satu-satunya (untuk mempertahankan KPK) ada pada masyarakat sipil. Masyarakat sipil dapat berperan untuk melawan keinginan DPR dan presiden untuk mengubah UU KPK, karena hal itu dibenarkan oleh konstitusi,” ujarnya.