Mendesak, Audit Kepatuhan Pemda dan Perusahaan Antisipasi Kebakaran
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat diingatkan untuk menjalankan audit kepatuhan kepada pemerintah daerah maupun korporasi terkait kebakaran yang terus berulang. Ini untuk meningkatkan penyadaran dan kesiapan daerah maupun korporasi agar kebakaran bisa dideteksi dan dipadamkan sedini mungkin.
Kebakaran pada lahan gambut akan sulit dipadamkan apabila api telanjur membesar. Kebakaran pada biomassa gambut ini yang menyebabkan kabut asap pekat berlarut-larut selama berhari-hari di Sumatera dan Kalimantan.
“Tidak sedikit pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi nyaris tidak melakukan tindakan apapun karena nyaris tidak tersedia dana untuk pengendalian kebakaran,” kata Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan yang menjadi saksi ahli kasus kebakaran hutan dan lahan dalam berbagai kasus, Senin (16/9/2019), dihubungi di Riau.
Ia mengatakan anggaran pengendalian kebakaran lahan hanya mencapai Rp 30 juta di kabupaten yang menunjukkan kebakaran hutan bukan prioritas daerah. Padahal, ancaman kebakaran hutan dan lahan selalu terjadi saat musim kemarau dan khusus untuk Riau mengalami anomali cuaca yaitu mengalami musim kemarau dua kali setahun.
Anggaran pengendalian kebakaran lahan hanya mencapai Rp 30 juta di kabupaten yang menunjukkan kebakaran hutan bukan prioritas daerah.
“Pemda tahu pemerintah pusat pasti akan mengendalikan kebakaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Mereka tahu bahwa BNPB dan KLHK pasti akan membantu. Pola seperti ini harus dihentikan,” kata dia.
Bambang menyebutkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, memerintahkan tanggungjawab bupati ketika terjadi kebakaran di wilayah kabupaten. Ketika terjadi asap lintas batas, gubernur turun tangan. Barulah ketika terjadi asap lintas provinsi atau lintas negara, Kementerian Kehutanan (kini KLHK) dan BNPB turun tangan.
Hirarki ini, kata dia, tidak berjalan. “Belum apa-apa sudah teriak-teriak meminta BNPB dan KLHK hadir. Padahal mereka hampir belum melakukan tindakan apapun,” kata dia.
Disengaja
Bambang Hero menemukan “ketidakberdayaan” yang disengaja oleh pemkab itu sejak persiapan pelaksanaan ASEAN GAMES di Jakarta dan Palembang. “Dalam pertemuan, selalu pemda bilang tidak punya anggaran. Rasa kepedulian itu masih rendah karena tidak disediakan budget khusus untuk pengendalian meski kebakaran berulang kali terjadi di situ,” kata dia.
Karena ketiadaan anggaran, kata dia, kecenderungan daerah membiarkan kejadian kebakaran sampai tahapan siaga bencana. Pada saat itulah, bupati/gubernur mencanangkan status siaga bencana dan meminta bantuan KLHK dan BNPB.
Ke depan, kata dia, pemerintah pusat agar mengaudit APBD pemkab dan pemprov yang menjadi langganan kebakaran. Audit tersebut dilakukan menyeluruh oleh Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, KLHK, dan Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan daerah memiliki tanggungjawab penganggaran dalam pengendalian kebakaran.
Ke depan, pemerintah pusat agar mengaudit APBD pemkab dan pemprov yang menjadi langganan kebakaran.
Bambang Hero menyebutkan keluwesan pemanfaatan Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBHDR) yang telah diberikan Menteri Keuangan bagi daerah untuk pembiayaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, belum dimanfaatkan secara baik oleh daerah. Menurut dia, kebijakan ini dipandang pemerintah daerah belum detail sehingga memiliki risiko salah tafsir yang bisa berujung pada penilaian BPK maupun ancaman kriminal.
Ia pun masih menjumpai modus pembakaran hutan dan lahan pada area konsesi untuk tujuan klaim asuransi. Isu sejak 2015 tersebut ditemuinya ketika melihat sawit dan kayu hutan tanaman industri pada lokasi yang terbakar, berkualitas buruk.
Kebakaran dengan menggunakan modus “api merembet” dari lahan masyarakat atau dari lahan yang berkonflik dengan masyarakat tersebut kemudian diklaim ke asuransi. “Ini pernah saya jumpai. Kebun dan kayu HTI terbakar, tapi (pengelola) tidak tampak panik atau stres. Saya lihat kualitas sawit dan kayu sangat buruk,” kata dia. Ia meminta penegak hukum dan penyidik serta pihak asuransi agar kritis mengecek kebakaran hutan dan lahan.
Penegak hukum dan penyidik serta pihak asuransi agar kritis mengecek kebakaran hutan dan lahan.
Terkait dorongan audit kepatuhan tersebut, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Raffles Brotestes Panjaitan mengatakan memang seharusnya pemerintah daerah menjadi pihak awal yang mencegah maupun menangani kebakaran lahan/hutan. “Tapi faktanya pemda yang memiliki teritori dan punya kewajiban menyediakan sarana prasarana dan anggaran, hanya menyediakan anggaran Rp 100 juta - Rp 200 juta,” kata dia.
Ia mendorong agar Kemdagri yang juga memiliki standar operasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan, aktif menggedor kepedulian pemerintah daerah. “Satgas yang dibangun Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan yang dibentuk kemarin sudah mengarah sampai ke sana,” kata dia.
Dalam konteks pencegahan kebakaran hutan dan lahan, kata Raffles, pemerintah daerah seharusnya memetakan kondisi kebutuhan pembukaan lahan tanpa bakar di tingkat desa. Pemetaan jumlah keluarga petani, luas lahan, peruntukan lahan, dan kebutuhan jenis pembukaan lahan tanpa bakar tersebut yang kemudian menjadi program pemerintah daerah.
Restorasi tetap terbakar
Kepala Badan Restorasi (BRG) Gambut Nazir Foead mengakui masih terdapat areal restorasi yang terbakar. Pekerjaan restorasi gambut seluas 2,6 juta hektar tersebut terdapat lahan yang telah dikerjakan BRG bersama mitra maupun kehutanan yang dikerjakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama perusahaan konsesi.
Areal gambut tersebut ada yang telah diintervensi restorasi dengan program infrastruktur pembasahan gambut (IPG) dan ada pula yang belum dikerjakan. Meski sudah direstorasi, gambut setempat masih berisiko kering dan potensial dibakar bila hujan tidak turun selama lebih dari satu bulan. “Tapi gambut tidak akan terbakar kalau tidak ada orang yang membakar,”kata dia.
Dengan Sistem Pemantauan Air Lahan Gambut (Sipalaga), tinggi muka air tanah terus turun sejak bulan Juli. Rata-rata penurunan tinggi muka air tanah mencapai 0,55 sentimeter per hari pada periode 1 Agustus -12 September 2019.
Ia menyebutkan dengan kalkulasi kasar, kondisi ideal gambut tetap basah dan tidak berisiko terbakar apabila penurunan tinggi muka air tanah pada nol sentimeter di pertengahan September 2019. Namun konsekuensinya, air merendam daerah itu setinggi 1,5 meter.
“Dulu waktu gambut masih bagus kondisinya seperti itu (terendam air),” kata dia. Ia mengatakan pembanjiran lahan gambut seperti ini dilakukannya bersama KLHK di wilayah hutan konservasi atau kawasan lindung.
Sekarang dengan perkembangan penggunaan lahan gambut untuk permukiman, pertanian, perkebunan, dan kehutanan, perendaman hingga 1,5 meter tak mungkin dilakukan. Pilihannya, lanjut Nazir, penyekatan kanal agar tidak banjir pada musim hutan dan tetap basah pada musim kemarau.
Dari 2,6 juta hektar itu ada 250.000 di kawasan konservasi, 688.752 ha di kawasan tidak berizin termasuk hutan lindung, dan 1,7 juta ha di areal konsesi kehutanan. Restorsi di kawasan konsesi perkebunan dan kehutanan ini dikerjakan KLHK bersama pemegang izin konsesi.
Nazir mengakui restorasi selama 3,5 tahun terakhir lebih ke model penanganan darurat. Dengan kata lain, kata dia, penyelesaian masalah masih pada spot-spot areal dan belum melakukan restorasi pada satu kesatuan hidrologis gambut atau satu lanskap gambut.
Restorasi selama 3,5 tahun terakhir lebih ke model penanganan darurat.
Restorasi seperti ini membutuhkan waktu bertahun-tahun. Ia menunjukkan restorasi gambut di Jepang yang diklaim menuju kesuksesan setelah berlangsung selama 10 tahun pada lahan seluas 300 ha. “Ini lahan yang direstorasi 2,6 juta ha (di Indonesia) dan selama lima tahun (masa kerja BRG sejak dibentuk 2016),” kata dia.
Selama lima tahun, BRG membangun pondasi agar pekerjaan restorasi gambut berjalan sesuai trek. Selama perjalanan ini, kata dia, mustahil untuk tidak terbakar selama perilaku pembakaran masih ada dan pengelolaan gambut belum satu KHG.
Pakar kebakaran hutan dan lahan IPB University Bambang Hero Saharjo mengatakan masih terbakarnya area-area yang direstorasi menunjukkan agar supervise dan verifikasi pelaksanaan restorasi dievaluasi. “Restorasi yang telah dilakukan perusahaan apa benar-benar sudah dijalankan? Kalau dijalankan apa sudah tepat dan benar?” kata dia.