Dalam lima tahun terakhir, BUMN berkontribusi cukup signifikan dalam berbagai program pemerintah untuk membangun Indonesia.
Oleh
FERRY SANTOSO
·3 menit baca
Dalam lima tahun terakhir, badan usaha milik negara berkontribusi cukup signifikan dalam berbagai program pemerintah untuk membangun Indonesia. BUMN, yang berjumlah 143 perusahaan berdasarkan data 2018, ada di hampir semua sektor.
Kiprah BUMN antara lain membangun infrastruktur, seperti bandara baru, pelabuhan baru, bendungan, jalan-jalan di daerah perbatasan dan terpencil, tol, peningkatan elektrifikasi, dan infrastruktur telekomunikasi. Program lain, misalnya, bahan bakar minyak satu harga, pembinaan keluarga sejahtera, dan rumah kreatif.
Perusahaan BUMN di sektor pertambangan serta minyak dan gas di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo juga mengambil alih kepemilikan saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen dan blok-blok migas yang sebelumnya dikelola perusahaan asing.
BUMN juga turut serta dalam program kewajiban sosial perusahaan dengan dana triliunan rupiah per tahun, baik untuk kegiatan yang bersifat karitatif maupun program pemberdayaan masyarakat.
Namun, tak dapat disangkal pula, kinerja perusahaan BUMN belum seoptimal seperti yang diharapkan banyak kalangan. Beberapa BUMN masih rugi dan menghadapi masalah finansial, seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Fakta perihal sejumlah direksi BUMN yang terjerat kasus korupsi juga menjadi indikator bahwa pengelolaan yang profesional belum sepenuhnya maksimal.
Bagaimana membuat perusahaan BUMN lebih berkontribusi dalam pembangunan ekonomi, lebih mampu dikelola secara profesional seperti perusahaan swasta atau perusahaan global yang memiliki reputasi tinggi? Salah satu gagasan yang sudah lama diwacanakan adalah pembentukan perusahaan induk utama BUMN atau superholding.
Selama ini, pembentukan perusahaan induk BUMN sudah terealisasi sebagian, antara lain PT Indonesia Aluminium (Inalum), PT Pupuk Indonesia, PT Semen Indonesia, dan PT Perkebunan Nusantara.
Meski demikian, pembentukan perusahaan induk tidak mudah. Sejumlah rencana pembentukan perusahaan induk justru jalan di tempat, misalnya perusahaan induk BUMN Karya, perusahaan induk BUMN di sektor pangan, dan perusahaan BUMN di sektor keuangan.
Dengan pembentukan perusahaan induk utama BUMN, diharapkan BUMN memiliki manajemen korporasi yang lebih jelas secara vertikal. Melalui pembentukan perusahaan induk utama BUMN, Kementerian BUMN yang pada mulanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara, yaitu Kementerian Negara BUMN, dihilangkan atau dihapus.
Sebagai gantinya, ada satu korporasi besar yang membawahi perusahaan-perusahaan BUMN. Perusahaan induk utama BUMN berada di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
Meski demikian, upaya merealisasikannya memerlukan keputusan politik. Sebab, mengelola perusahaan negara dengan aset Rp 8.092 triliun pada 2018 bukan perkara mudah. Pengelolaan harus benar-benar independen dan jauh dari kepentingan politik praktis.
Aset perusahaan BUMN itu terus meningkat, setidaknya pada 2015 yang Rp 5.760 triliun menjadi Rp 6.473 triliun pada 2016 dan Rp 7.210 triliun pada 2017. Namun, hal yang jauh lebih penting, ke mana perusahaan BUMN akan diarahkan. Sebab, persaingan global semakin ketat. BUMN juga dibutuhkan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. (FERRY SANTOSO)