JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pertanahan tidak mencerminkan dan tidak sejalan dengan program pokok pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Rancangan Undang-Undang Pertanahan tersebut masih mengandung banyak pasal problematik yang bertentangan dengan rasa keadilan dan cita-cita reformasi agraria yang dituangkan pemerintah dalam janji Nawacita.
Rancangan itu juga dinilai bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Di berbagai pasal dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) tampak keberpihakan kepada pemodal semakin nyata.
Demikian antara lain benang merah wawancara Kompas dengan sejumlah akademisi dan anggota parlemen, yang dihubungi secara terpisah. Dengan Nawacita, pemerintah mengupayakan adanya keadilan bagi yang terpinggirkan dengan menutup kesenjangan antara mereka yang lemah dengan pemilik modal melalui reforma agraria.
Menurut Wakil Ketua Panitia Kerja RUUP dari Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (15/9/2019), ”Jika RUU itu disahkan dengan substansi seperti sekarang ini, hasilnya akan merugikan masyarakat dan justru lebih banyak menguntungkan pemodal dan pengusaha.”
Jika RUU itu disahkan dengan substansi seperti sekarang ini, hasilnya akan merugikan masyarakat dan justru lebih banyak menguntungkan pemodal dan pengusaha.
Menurut Arif, RUUP tidak layak untuk segera disahkan di periode ini karena bertentangan dengan napas keadilan agraria yang selama ini dicita-citakan pemerintah. Sebagai fraksi pendukung pemerintah, Arif mengatakan, keinginan DPR menunda pengesahan RUUP ini akan segera dikomunikasikan dengan pemerintah.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Achmad Sodiki yang dihubungi pada hari yang sama dari Jakarta mengatakan, ”RUUP ini tidak mencerminkan Nawacita karena Nawacita bertujuan mewujudkan keadilan bagi yang terpinggirkan, untuk menutup kesenjangan, yang dilakukan dengan landreform (reforma agraria).”
Sementara Guru besar Hukum Agraria UGM Maria SW Sumardjono pada Jumat (13/9/2019) menegaskan, ”Apakah ada irisan Nawacita dengan RUUP? Kan, seharusnya RUUP menerjemahkan Nawacita? Rupanya RUUP ini menganggap Nawacita tidak ada karena tidak dijadikan dasar rancangan.”
Achmad yang pada 2010-2013 menjadi Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan, ”Upaya Presiden Jokowi melalui Nawacita itu misinya adalah pemerataan, keadilan. Namun, RUUP itu tidak menunjukkan itu, justru lebih banyak memberi kemudahan untuk investasi tanpa rambu rambu agar tidak menggusur, tidak memiskinkan orang-orang yang sudah miskin.”
Dia menambahkan, selama ini pemodal yang menguasai lahan luas, seperti perkebunan, ternyata belum bisa memberikan kesejahteraan kepada mereka yang hidup di sekitar hutan.
Sementara Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil dalam kunjungan ke Kompas pada Selasa (10/9/2019) menegaskan, justru undang-undang sesuai RUUP tersebut dibuat untuk memastikan bahwa ada tersedia tanah untuk kepentingan rakyat kecil karena tanah yang telantar langsung dikelola oleh Lembaga Pengelolaan Tanah (LPT).
Bank tanah dan HGU
Poin krusial antara lain menyangkut keberadaan bank tanah yang dalam RUUP disebut dengan LPT. Dalam RUUP tersebut LPT adalah lembaga yang menerima tanah-tanah yang telantar, antara lain tanah yang sudah habis izin hak guna usaha (HGU) yang melekat di atasnya.
Hal ini dijelaskan Sofyan Djalil, mengacu pada Pasal 73 RUUP. ”Misal ada HGU ditelantarkan bisa kita ambil bisa kita gunakan untuk kepentingan sosial, pemerataan ekonomi, kepentingan umum, kepentingan pembangunan, konsolidasi lahan, pemerataan agraria.”
Tentang LPT, disebutkan dalam Pasal 72 RUUP yang berbunyi, ”Lembaga Pengelolaan Tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) berfungsi sebagai bank Tanah yang melakukan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian Tanah.”
Pasal 73 selanjutnya berbunyi, bahwa LPT tersebut menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk: kepentingan umum; kepentingan sosial; kepentingan pembangunan; pemerataan ekonomi; konsolidasi lahan; dan Reforma Agraria, dan keadilan Pertanahan.
Menurut Maria, ”Misalkan HGU hapus lantas menjadi lahan yang dikelola LPT, seharusnya tidak demikian. Seharusnya langsung menjadi obyek reforma agraria. Semua tanah yang di atasnya ada pelanggaran adalah jatah reforma agraria. Itu tercantum dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018.”
Dia menegaskan, ”Kalau dikelola LPT, kan, bisa saja dikembalikan (ke pengusaha) kalau Menteri memiliki diskresi yang besar. Tanah-tanah itu seharusnya langsung diredistribusi.”
Menurut Sofyan Djalil, justru dengan pengelolaan tanah oleh LPT, jika negara membutuhkan, sudah ada tanah tersedia. Dia mencontohkan kota-kota yang tidak friendly, tidak ada taman.
”Sekarang kalau ada tanah bisa saya berikan ke TNI, ke polisi, ke pemda, ke IPB. Begitu punya bank tanah, kita tampung dulu, kalau mau bikin rumah rakyat kita berikan gratis itu yang utama, yaitu untuk kepentingan umum,” kata Sofyan.
Konsolidasi lahan dikatakan bisa digunakan juga untuk urban renewal. Yang dilakukan selama ini adalah sukarela dengan mengambil tanah masyarakat. Misalkan, ada daerah kumuh, bisa dikonsolidasi dan yang tidak mau bisa dibeli tanahnya dan ditata ulang.
Tentang reforma agraria dan keadilan pertanahan, Sofyan Djalil mencontohkan, ”Kemarin, ambil 3.700 hektar tanah telantar dari luasan itu 1.800 ha diberikan kepada rakyat, sisanya sungai dan lain-lain kita preserve untuk bakau juga. Selebihnya untuk ladang garam.” Dia menegaskan, di Jawa ada HGU telantar semua dikembalikan ke rakyat.
Jadi, menurut Sofyan, ”Bank Tanah bukan dimaksudkan untuk domein verklaaring, melainkan tanah (HGU) yang nanti setelah 80 tahun kembali ke negara untuk dimanfaatkan.”
Tentang perpanjangan HGU, dalam Pasal 26 RUUP dinyatakan, badan hukum mendapatkan izin selama 35 tahun dan dapat diperpanjang dengan syarat 25 tahun, serta dalam kondisi tertentu bisa diperpanjang lagi 20 tahun.
Ketidakadilan juga muncul dalam hal pelanggaran batas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah. Dalam RUUP, hal itu tidak disertai sanksi yang tegas. Di sana justru membuka opsi untuk menjustifikasi pelanggaran itu, dengan catatan pemilik bersedia membayar pajak yang lebih tinggi atas kelebihan tanahnya.
”Aturan ini diskriminatif karena otomatis menguntungkan orang-orang yang punya uang alias para pemodal,” katanya. Maria senada dengan itu mengatakan, ”Dalam UU Nomor 56 Tahun 1960, petani yang memiliki tanah melebihi batas maksimum wajib melepaskan dan jika tidak akan diberi sanksi, tidak ada pengecualian. Ini jelas peraturan yang unequal (tidak setara).”
Ada pula pasal yang mengatur tentang kewajiban menyediakan 20 persen tanah hak guna usaha (HGU) yang harus dikelola untuk masyarakat sekitar. Menurut Maria dan Arif, dalam pemaparan lebih lanjut, pasal itu justru memberi banyak kelonggaran. ”Kewajiban itu bisa diganti dengan bentuk lain. Padahal, seharusnya diberi sanksi,” ujar Maria.
Arif mengatakan, ”Lagi-lagi, yang dirugikan adalah masyarakat sekitar karena haknya bisa tidak terpenuhi karena ketentuannya tidak tegas dan longgar,” kata Arif.