Soal Revisi UU KPK, DPR dan Pemerintah Kini Hanya Perdebatkan Dewan Pengawas
›
Soal Revisi UU KPK, DPR dan...
Iklan
Soal Revisi UU KPK, DPR dan Pemerintah Kini Hanya Perdebatkan Dewan Pengawas
DPR dan Pemerintah menyepakati hampir seluruh perbedaan soal revisi UU KPK dalam waktu cepat. Perdebatan hanya tersisa pada pokok masalah pembentukan Dewan Pengawas.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski berbeda pandangan pada sejumlah pasal revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah menyepakati hampir seluruh perbedaan dalam waktu cepat. Perdebatan hanya tersisa pada pokok masalah pembentukan Dewan Pengawas.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hendrawan Supratikno, mengatakan, pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di tingkat Panitia Kerja (Panja) terus berlangsung. Setelah rapat kerja perdana dengan pemerintah pada Kamis lalu, disusul rapat panja pertama pada Jumat, perkembangan pembahasan sudah signifikan.
“Tinggal pembahasan mengenai pokok masalah Dewan Pengawas (yang belum disepakati),” kata Hendrawan saat ditemui di sela-sela rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/9/2019).
Ia menambahkan, perdebatan itu terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XV/2017 yang menguji kewenangan angket DPR terhadap KPK, menyatakan bahwa KPK merupakan state auxiliary agency yang masuk dalam rumpun eksekutif. Mengacu pada Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD.
Artinya, segala hal yang terkait dengan lembaga eksekutif, penyelenggaraannya merupakan kewenangan presiden. Termasuk pembentukan Dewan Pengawas KPK. “Ada (anggota Baleg) yang berpendapat, agar terbangun tata kelola yang baik di dalam Dewan Pengawas, maka perlu proses seleksi yang melibatkan DPR,” kata Hendrawan.
Secara terpisah, anggota Panja RUU KPK sekaligus anggota Baleg dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, menjelaskan, perbedaan antara pemerintah dan DPR mengenai tata cara pembentukan dan komposisi Dewan Pengawas memang jauh berbeda. Sebagian fraksi di DPR memandang, kewenangan penuh presiden untuk memilih Dewan Pengawas bisa jadi celah intervensi terhadap KPK.
DPR mengusulkan, pemilihan anggota Dewan Pengawas dilakukan serupa dengan pemilihan pimpinan KPK. Presiden membentuk panitia seleksi, yang hasilnya disetujui oleh DPR. Hal itu penting untuk menjamin independensi Dewan Pengawas.
“Tantangan besarnya adalah bagaimana menjaga Dewan Pengawas benar-benar independen. Lembaga itu harus adil dan tidak bisa digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu,” kata Arsul.
Ia menambahkan, kewenangan Dewan Pengawas terhadap lembaga antirasuah juga belum ditentukan. Sejauh ini, baik pemerintah maupun DPR baru merumuskan bahwa lembaga itu berwenang memberikan izin penyadapan serta mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
Tinggal pembahasan mengenai pokok masalah Dewan Pengawas yang belum disepakati
Wakil Ketua KPK terpilih Alexander Marwata mengatakan, pimpinan KPK terpilih juga tengah membicarakan poin revisi UU KPK terutama terkait pasal yang menjadi perhatian masyarakat. Salah satunya soal Dewan Pengawas.
Ia menilai, pembentukan Dewan Pengawas dibutuhkan agar KPK dapat bekerja secara lebih layak. Akan tetapi, fungsi lembaga itu harus diperjelas. Ia tak setuju jika Dewan Pengawas berperan memberikan izin untuk setiap penyadapan.
“Jika pimpinan harus izin pada Dewan Pengawas (setiap kali penyadapan), seolah-olah Dewan Pengawas adalah atasan dari pimpinan KPK. Padahal, dalam UU KPK jelas bahwa penanggung jawab tertinggi di KPK adalah pimpinan,” kata Alexander.
Menurut dia, tugas Dewan Pengawas semestinya tidak menyentuh ranah teknis. Idealnya, lembaga itu bertindak ibarat komisaris di perusahaan, yang mengawasi kinerja direksi.
Dalam dokumen Daftar Invetarisasi Masalah RUU KPK, ihwal Dewan Pengawas yang masih diperdebatkan itu berada pada Pasal 37E yang terdiri dari 13 ayat. Pada pasal tersebut, terdapat 11 poin yang diberi keterangan “ditunda”.
Dikebut
Dari total 286 poin yang diinventarisasi dalam dokumen DIM RUU KPK, ada beberapa poin yang menunjukkan perbedaan pandangan antara pemerintah dan DPR. Meski begitu, sejumlah poin itu disepakati dalam waktu cepat, yaitu dalam sekali rapat panja Jumat lalu.
Arsul mengakui, pembahasan itu memang sengaja dikebut, karena masa jabatan DPR periode 2014-2019 akan habis pada akhir September. “Namanya sudah mau akhir, kalau enggak cepat, nanti enggak sampai dong,” kata dia.
Senada, Hendrawan pun menyampaikan, pembahasan RUU KPK tidak semestinya berhenti. Ia tak menampik bahwa DPR menargetkan untuk mengesahkannya sebelum periode ini berakhir.